Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi Politik dan Politik Korupsi

3 Juli 2020   07:21 Diperbarui: 3 Juli 2020   08:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Bambang Wibiono
_

Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi ketika sebuah peraturan dibuat malah memberikan celah bahkan perlindungan terhadap tindakan yang kita yakini secara norma itu salah? Misal: sebuah undang-undang dibuat dengan menyatakan bahwa penyelewengan uang negara kurang dari 100 juta bukan kategori korupsi. Maka pelakunya tidak dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi yang mana hukuman minimalnya adalah 4 tahun penjara. Dampak lebih jauhnya, pelaku korupsi tidak akan takut, bahkan praktik-praktik korupsi dalam skala kecil dalam tubuh birokrasi atau institusi bisa tumbuh subur.

Seperti kita ketahui bersama, korupsi menjangkiti tubuh setiap institusi negara, dari atas sampai bawah. Bahkan sampai yang hanya level pungli puluhan ribu untuk sebuah pelayanan marak terjadi di lembaga pelayanan publik.

Bagaimana kita akan mampu membasmi korupsi jika para pelaku ini sudah menyusup ke dalam sel-sel hukum negara. Mereka-mereka juga yang memformulasikan aturan dan kebijakannya. Aktor-aktor politik, pemimpin birokrasi, penegak hukum masuk dalam pusaran korupsi. Gambaran tersebut sebagai pengantar untuk menjelaskan mengenai korupsi politik dan juga kaitannya dengan politik korupsi.

Secara sederhana, korupsi politik dimaknai sebagai penyelewengan, penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh para aktor politik, pejabat pemerintahan atau pejabat birokrasi untuk kepentingan pribadi, golongan, kerabat, kelompok atau partainya. Korupsi politik ini tidak akan bekerja sendirian. Biasanya, demi kepentingan politiknya, sang aktor politik akan bertindak secara terencana, terstruktur dan terorganisasi serta bekerjasama dengan aktor politik lain yang memiliki kepentingan yang sama. Maka tidak heran jika kasus korupsi yang dilakukan aktor politik ini selalu melibatkan banyak pihak, lintas lembaga, bahkan bisa jadi lintas partai.

Ada beberapa dugaan mengenai motif korupsi politik. Pertama, pengembalian ongkos politik yang dikeluarkan selama kontestasi, mulai dari pencalonan sampai biaya kampanye. Kedua, sumbangan atau "upeti" kepada partai politik pengusungnya. Ketiga, upaya mempertahankan kekuasaan. Keempat, melanjutkan pekerjaan kotor yang dilakukan oleh rekan politiknya yang menjabat sebelumnya. Atau kelima, upaya menutupi kejahatan yang dilakukan oleh pejabat/aktor politik sebelumnya.

Karena korupsi politik ini kejahatan yang terorganisir, biasanya dilakukan secara berkelanjutan dan diteruskan oleh pejabat berikutnya. Tidak heran jika pejabat politik ini telah habis masa jabatannya, akan berusaha memasukkan sanak saudaranya atau koleganya ke dalam pemerintahan untuk menggantikannya. Begitupun dengan partai politik. Ia akan berusaha mencalonkan kader penggantinya untuk duduk di posisi tersebut agar "tambang rupiah" bisa terus beroperasi dan aman terkendali.

Untuk mengamankan kegiatan kejahatannya, para aktor politik ini akan mencoba masuk ke dalam setiap posisi di pemerintahan. Semakin banyak sektor yang dikuasai, maka kejahatan korupsi politik ini makin sulit diendus. Mereka akan memasukan kader-kadernya atau menempatkan orang-orangnya pada bidang strategis dalam pemerintahan, mulai dari legislatif selaku pengontrol pemerintah, pembuat undang-undang, dan pembuat anggaran, eksekutif dari mulai presiden sampai staf-staf ahli menteri, bahkan tak segan juga menyusup ke lembaga-lembaga penegak hukum, mulai dari Mahkamah Agung, kepolisian, sampai KPK.

Cara-cara demikian saya sebut sebagai politik korupsi. Sebagaimana definisi umum tentang politik, bahwa politik merupakan upaya untuk memperoleh, memperluas, dan mempertahankan kekuasaan. Atau seperti yang pernah disampaikan salah satu tokoh ilmu politik, Harold Laswell, yang mengatakan "siapa mendapatkan apa,  kapan dan bagaimana." Maka pengertian politik korupsi pun mengambil terminologi yang sama, yaitu bagaimana korupsi bekerja untuk mendapatkan, mempertahankan atau melanggengkan kekuasaannya dan melanggengkan kejahatannya.

Saat korupsi politik terjadi, tentu di saat yang bersamaan pula akan terjadi korupsi birokrasi karena korupsi politik juga akan bekerja melalui birokrasi pemerintahan. Seorang menteri yang akan melakukan korupsi anggaran kementerian misalnya, tentu akan melibatkan para staf birokrasi yang ada di bawah kendalinya. Tentu ini akan terjadi efek domino sampai pada level birokrasi di bawah.

Secara lebih sederhana, jika korupsi politik adalah mengenai tindakan kejahatannya dalam politik atau pemerintahan, sementara politik korupsi adalah mengenai cara, langkah, atau strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan korupsi. Dari penjelasan di atas, korupsi politik dan politik korupsi merupakan rantai yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya berputar, berjalan seirama.

Jika politik korupsi ini sudah meracuni sistem politik di negara kita, maka produk-produk kebijakan dan tatanan pemerintahan yang dihasilkan pun akan cenderung koruptif. Kita sebagai masyarakat akan selalu menjadi korban kebijakan para aktor kejahatan kerah putih. Peraturan akan mudah dibuat oleh mereka untuk memuluskan korupsi politik. Hukum akan dibuat lemah dan tumpul. Lembaga-lembaga peradilan dan penyidik akan dengan mudah diintervensi dan dibeli oleh kekuasaan.

Berdasarkan laporan ICW, secara umum, pelaku korupsi, mendapatkan putusan pemidanaan berwujud pidana penjara yang ringan oleh hakim pengadilan. Mencermati kondisi ini, seharusnya pelaku korupsi politik dijatuhkan pidana penjara dan denda yang maksimal. Serta menerapkan pidana tambahan, berupa pembayaran ganti rugi dan pencabutan hak politik. Dalam prakteknya penerapan pidana tambahan sangat bergantung pada hakim. Dalam laporan KPK sepanjang tahun 2004-2017 pelaku korupsi politik yang mendapatkan hukuman tambahan dari hakim berupa pencabutan hak politik hanya berjumlah 23 orang.

Sehubungan dengan data ini, dapat ditemukan fakta bahwa tidak semua pelaku korupsi politik mendapatkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Apabila hakim tidak memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik maka pelaku korupsi politik yang telah menjalani hukuman berupa pidana penjara akan ikut mencalonkan dirinya dalam proses pemilu. Dan korupsi politik ini akan sangat mungkin kembali terulang, bahkan bisa jadi dengan strategi yang lebih jitu, mengingat kegagalan sebelumnya.

Jika korupsi politik tidak segera ditangani dengan baik, maka bukan tidak mungkin bahwa nanti korupsi akan menjadi sesuatu yang wajar dan dilindungi undang-undang. Di tangan pemimpin-pemimpin negara inilah masa depan korupsi berada. Di tangan pejabat-pejabat politik itu juga nasib pemberantasan korupsi bekerja. Tentu,  selain itu, kontribusi kita sebagai rakyat biasa perlu dalam hal menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang dapat memicu terjadinya korupsi, bahkan kemungkinan korupsi oleh kita sendiri kelak dikemudian hari. Agar tidak menjadi budaya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun