Jika politik korupsi ini sudah meracuni sistem politik di negara kita, maka produk-produk kebijakan dan tatanan pemerintahan yang dihasilkan pun akan cenderung koruptif. Kita sebagai masyarakat akan selalu menjadi korban kebijakan para aktor kejahatan kerah putih. Peraturan akan mudah dibuat oleh mereka untuk memuluskan korupsi politik. Hukum akan dibuat lemah dan tumpul. Lembaga-lembaga peradilan dan penyidik akan dengan mudah diintervensi dan dibeli oleh kekuasaan.
Berdasarkan laporan ICW, secara umum, pelaku korupsi, mendapatkan putusan pemidanaan berwujud pidana penjara yang ringan oleh hakim pengadilan. Mencermati kondisi ini, seharusnya pelaku korupsi politik dijatuhkan pidana penjara dan denda yang maksimal. Serta menerapkan pidana tambahan, berupa pembayaran ganti rugi dan pencabutan hak politik. Dalam prakteknya penerapan pidana tambahan sangat bergantung pada hakim. Dalam laporan KPK sepanjang tahun 2004-2017 pelaku korupsi politik yang mendapatkan hukuman tambahan dari hakim berupa pencabutan hak politik hanya berjumlah 23 orang.
Sehubungan dengan data ini, dapat ditemukan fakta bahwa tidak semua pelaku korupsi politik mendapatkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Apabila hakim tidak memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik maka pelaku korupsi politik yang telah menjalani hukuman berupa pidana penjara akan ikut mencalonkan dirinya dalam proses pemilu. Dan korupsi politik ini akan sangat mungkin kembali terulang, bahkan bisa jadi dengan strategi yang lebih jitu, mengingat kegagalan sebelumnya.
Jika korupsi politik tidak segera ditangani dengan baik, maka bukan tidak mungkin bahwa nanti korupsi akan menjadi sesuatu yang wajar dan dilindungi undang-undang. Di tangan pemimpin-pemimpin negara inilah masa depan korupsi berada. Di tangan pejabat-pejabat politik itu juga nasib pemberantasan korupsi bekerja. Tentu, Â selain itu, kontribusi kita sebagai rakyat biasa perlu dalam hal menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang dapat memicu terjadinya korupsi, bahkan kemungkinan korupsi oleh kita sendiri kelak dikemudian hari. Agar tidak menjadi budaya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H