Jadi otomatis kedudukannya di bawah Gubernur Jenderal. Ini menyebabkan kedudukan para penguasa Cirebon hanya sebagai perantara antara Belanda dengan masyarakat desa di pedalaman. Namun posisi ini juga lambat laun dirampas oleh Belanda yang membuat posisi kesultanan semakin memprihatinkan. Kehadiran VOC di Cirebon telah mengganggu stabilitas kekuasaan para Sultan.
Menurut Suleiman,[8] disebutkan bahwa pada tahun 1681 Sultan-Sultan Cirebon terpaksa menandatangani perjanjian dengan VOC. Substansi perjanjian tersebut telah menempatkan Cirebon di bawah perlindungan langsung VOC, baik dalam urusan dalam maupun luar Kesultanan Cirebon. Materi perjanjian tersebut antara lain tentang pencabutan gelar Sultan dengan mengembalikannya menjadi panembahan; menetapkan wilayah VOC yang meliputi Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon sendiri; dan VOC mempunyai hak untuk membangun benteng-benteng di Cirebon dan Cirebon diharuskan untuk membantu VOC dalam berperang menghadapi musuh-musuhnya. Â
Pada masa pendudukan Inggris di bawah kekuasaan Raffles yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, kondisi kesultanan di Cirebon baik Kasepuhan maupun Kanoman tidak jauh berbeda. Kedudukan Sultan secara politis telah dihapuskan. Walaupun secara politis kekuasaan Sultan dihapuskan, namun Sultan mendapat gaji sebesar 18.000 gulden setahun, dan pada masa Raffles mendapat 8000 rupee.
Perubahan politik seperti itu berjalan seiring dengan perkembangan eksploitasi ekonomi yang sangat pesat di daerah pedalaman Cirebon. Penghapusan kekuasaan politik para Sultan sejak penguasaan oleh Belanda, memungkinkan kesultanan untuk mencurahkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan, atau lebih berorientasi ke dalam (inward orientation).
Aktivitas keraton mulai mengembangkan aspek kebudayaan, kesenian, kerohanian dan gaya hidup keraton yang adiluhung dengan landasan ekonomi agraris yang berpusat di keraton, yang walaupun basis ekonomi ini makin lama makin dirampas lagi. Akibat dari campur tangan VOC dan intensitas hubungan VOC dengan keraton yang seperti ini, akhirnya gaya hidup di dalam keraton pun mengikuti gaya-gaya londo,[9] misalnya mabuk-mabukan sambil tayuban.[10] Bahkan dahulu Keraton Kasepuhan memiliki sekolah ronggeng.
Pengembangan aspek-aspek budaya ini terlihat dalam upacara-upacara tradisi dan keagamaan yang diadakan keraton. Misalnya saja upacara panjang jimat yang diselenggarakan secara besar-besaran adalah untuk membuktikan bahwa Sultan masih memiliki kharisma di mata masyarakatnya dengan dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang ingin bersilaturahmi dengan Sultan. Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol upacara tradisi tidak hanya memiliki makna religius, namun juga memiliki makna politis. Selain pengembangan kebudayaan istana, tetapi juga mendorong munculnya kebudayaan di desa-desa penggarap tanah keraton. Pada aspek inilah yang mampu mengembalikan sebagian pengaruh dan kewibawaan keluarga keraton di mata masyarakat.
Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, eksistensi kekuasaan politik Keraton Kasepuhan dan keraton-keraton yang ada di Cirebon pada umumnya tetap saja stagnan. Berdasarkan faktor historis dan sumber-sumber yang ada serta membandingkan dengan dinamika politik keraton lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, dapat disimpulkan bahwa hilangnya kekuasaan politik keraton pada masa setelah kemerdekaan dikarenakan hubungan keraton-keraton dengan kolonial.
Keraton-keraton yang kurang dan bahkan tidak mendukung terhadap perjuangan kemerdekaan umumnya tidak mendapatkan kekuasaan politik berupa hak istimewa setelah NKRI terbentuk. Dapat dibenarkan alasan ini, mengingat sejarah Kesultanan Cirebon, khususnya setelah terpecah, keraton-keraton yang ada menjalin hubungan dengan VOC dan Belanda seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini.
Perlawanan-perlawanan terhadap penjajah lebih gencar dilakukan oleh orang-orang di luar keraton, meskipun itu dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan dengan keraton. Hal ini memberikan implikasi pencabutan hak politik dan juga "nasionalisasi" aset berupa tanah keraton oleh negara.
Selain karena faktor tersebut, hilangnya kekuasaan ini dikarenakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah RI adalah kebijakan politik negara kesatuan. Sempat ada keinginan dari keraton untuk mengembalikan kekuasaan politiknya seperti masa lalunya. Namun keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki serta beberapa sumber ekonomi keraton seperti tanah mulai menipis didorong kuatnya kebijakan politik pemerintahan RI, mengakibatkan posisi keraton tidak berdaya.