Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya terpecah di tangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh Sultan Haji.
Sampai akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal pengamanan. Â Selain itu, keruntuhan Cirebon pun dikarenakan para Sultan yang memerintah tidak mengetahui kondisi Cirebon sebelumnya saat mendapat ancaman dari Mataram dan VOC selama kekosongan pemerintahan, karena pada saat itu kedua Putra Mahkota ditahan oleh Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegal Arum di Mataram.
Seperti awal pendiriannya, sistem kekuasaan yang digunakan oleh Keraton Kasepuhan adalah sistem kesultanan. Pada sistem kesultanan ini, keraton tidak hanya memiliki otoritas atau kekuasaan di bidang "keduniawian" saja, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, tetapi juga memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Yang memegang otoritas atau kekuasaan itu adalah Sultan selaku pemimpin pemerintahan atau pemimpin negara pada saat itu. Walaupun demikian, otoritas agama secara khusus dipegang oleh kaum masjid di bawah koordinasi kyai penghulu dan ketib agung.
Sistem Kesultanan Kasepuhan dalam sejarahnya tidak berjalan normal. Sejak awal kepemimpinan hingga sekarang, kekuasaan Keraton Kasepuhan telah kehilangan otoritas politiknya seperti yang diceritakan di atas. Sistem kekuasaan yang diterapkan hingga saat ini merupakan sistem kesultanan yang telah diadaptasi dengan situasi dan kondisi di sekitarnya.
Ketika masuknya Belanda dengan VOC sebagai kongsi dagangnya, Kesultanan Cirebon mulai diintervensi. Sekitar tahun 1678-1679, atas intervensi Mataram dan VOC serta Banten, akhirnya Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Kanoman dibentuk sekitar  tahun 1679, dan kemudian tahun berikutnya berdiri Keraton Kasepuhan.[2] Ketika itu pihak kesultanan membuat perjanjian dengan VOC yang akhirnya berimplikasi pada demiliterisasi dan depolitisasi. Sejak saat itulah Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa adat.
Sebagai sebuah institusi Negara, kesultanan tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal pengelolaan sumberdaya yang ada karena sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh VOC. Untuk menjalankan rumah tangga keraton, pihak VOC yang memberikan gaji. Termasuk juga dalam hal pengelolaan pelabuhan, langsung ditangani Pemerintah Kolonial. Atas hal ini, keraton mendapatkan persentase atau semacam bagi hasil yang diberikan per bulan atau per tahun.[3]
Akibat situasi seperti itu, orang-orang VOC ditempatkan sedemikian rupa dan mendapat penghormatan dari keraton. Berdasarkan penuturan beberapa informan dan juga beberapa hasil penelitian, menceritakan bahwa pada saat itu, setiap kali suksesi, yang mengukuhkan seorang Sultan adalah dari pihak Belanda, yaitu Gubernur Jenderal atau pemerintah kolonial. Setiap kali Sultan meninggal, mahkotanya akan diambil oleh VOC ataupun Pemerintah Kolonial. Mau tidak mau, pihak keraton harus menjaga hubungan baik dan memanjakan orang-orang VOC.
Menurut Sulistiyono,[4] setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton Cirebon baik terhadap hinterland maupun Kota Cirebon diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda. Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi.
Contoh lain yang terjadi pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V oleh Belanda karena kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda. Sebagai penggantinya ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI.[5] Ini memperlihatkan intervensi dan kontrol Belanda terhadap kehidupan internal kesultanan. Sharon Siddiq menggambarkan kondisi seperti ini makin diperparah dengan adanya dominasi ekonomi oleh VOC sejak tahun 1681.[6]
Mulai pada tahun itu, dimulailah sebuah perjanjian perekonomian yang menempatkan kompeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu, gula, beras, dan produk lain apapun yang dikehendaki yang semuanya itu bebas dari bea impor, yang sebelumnya pernah dikenakan oleh keraton sebesar 2% dari nilai barang.
Perjanjian itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Implikasi dari semua itu adalah bahwa secara politis maupun militer, Cirebon telah berada di bawah perlindungan langsung dari kompeni. Kontrol terhadap pelabuhan juga dipegang oleh Belanda. Bahkan menurut Imron Heriyanto dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, pada tahun 1800-an, Sultan Cirebon menjadi pegawai pemerintah, dianggap sebagai bagian pemerintah dan para Sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur serta kekuasaan politik yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda.[7]