Epilog
Masih adakah ruang di hati kita untuk saling menerima? Masih adakah celah di gelanggang media sosial kita untuk diskusi tanpa menghina, menjatuhkan, dan ngotot paling benar sendiri? Apalagi harus menghina temanmu sendiri yang berbeda pandangan. Yang kau kritik pemerintah, tapi yang kau maki kawanmu sendiri. Seolah kawanmu adalah representasi dari pemerintah.
Masih adakah ruang jernih di sudut pemikiran kita? Masih tersimpankan tabungan maaf dalam relung hati kita? Semua itu agar tak ada lagi permusuhan di antara kita, tak ada lagi pengkafir-kafiran di antara kita, tak ada lagi membodoh-bodohi sesama kita.
Tidakkah engkau rindu akan sunyinya hati kita dari prasangka terhadap orang lain, yang bahkan kita tidak mengenal dan tidak tahu wujud rupanya? Jika semua itu masih ada, mari perangi wabah virus kebencian ini bersama dengan saling TIDAK MENJAGA JARAK. Kita harus saling bergandengan. Tataplah wajah kawanmu saat terbesit rasa ingin memakinya karena perbedaan pendapat. Perbedaan yang sebenarnya tidak ada untungnya sama sekali di antara kalian.Â
Semua ini agar Bumi Pertiwi tak lagi tercerai berai. Susah payah nenek moyang kita menyatukan ini semua, janganlah kita nodai dan kita rusak. Terlalu banyak perbedaan yang bisa disebutkan di antara kita. Apakah tidak ada satupun persamaan yang bisa kita jadikan alasan bergandengan tangan? Jangan mau kita diadu domba seperti nenek moyang kita dahulu. Semoga Indonesia bisa tegak berdiri di bawah kebinekaan pikiran kita.
__
Jumat, 10/4/2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI