Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Kebijakan: Sulitnya Menjadi Warga +62

19 Juni 2020   06:17 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:07 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Misalkan kebijakan lockdown diambil, akan diprotes karena keuangan negara akan kocar-kacir tidak mampu membiayai. Seandainya lockdown diberlakukan dan kebutuhan masyarakat dipenuhi pemerintah, tentu akan ada pos belanja negara yang dialihkan besar-besaran sedangkan aktivitas bisnis dan produksi dalam negeri terhenti. 

Begitu mengetahui ekonomi Indonesia ambruk, inflasi besar-besaran, pemerintah akan disalahkan lagi karena dianggap tidak mampu menjaga stabilitas ekonomi. Atau sebagian warga yang gajinya dipotong untuk menutupi pembiayaan penanganan wabah akan protes keras. Dianggap tidak adil.

Himbauan untuk menyampaikan informasi yang baik-baik saja ketimbang terus-menerus memberitakan korban yang berjatuhan, kesengsaraan dan informasi negatif lainnya juga dihujat. Padahal tujuannya menjaga psikologis masyarakat agar tetap optimis dan tidak panik serta mampu memberikan dukungan moril positif kepada semua. 

Pemerintah dianggap menutupi informasi korban Covid19 sehingga masyarakat tidak bisa waspada terhadap daerahnya karena tidak mengetahui siapa saja korbannya dan berasal dari mana saja. Pemerintah juga dianggap tidak menghargai jasa para tenaga medis yang gugur akibat wabah ini. 

Padahal, di belakang ini, ada upaya-upaya penghargaan dan penghormatan dengan pemberian santunan, peningkatan tunjangan dan bahkan di beberapa daerah mendapat fasilitas tidur di hotel dengan nyaman bagi para tenaga kesehatan yang menangani Covid19. Belum lagi dukungan dan uluran tangan dari masyarakat secara swadaya.

Sebaliknya, saat pemerintah mempublikasikan terus menerus korban dan mungkin menginformasikan identitas serta wilayah tinggalnya, ini akan dihujat. Langkah ini dianggap melanggar privasi pasien. Selain itu juga akan menimbulkan kegaduhan dan penolakan masyarakat sekitar tempat tinggal pasien atau korban. Dan ini terjadi.
 
Kasus 4.
Kemacetan parah menjadi persoalan serius di Jakarta. Pemerintah membuat strategi kebijakan dengan membangun moda transportasi masal untuk mengurangi kemacetan. Keputusan ini diprotes dan dihujat karena dianggap pemborosan anggaran dan dicurigai sebagai akal-akalan proyek saja. Membuka celah korupsi yang besar.
 
Muncul rencana kebijakan pembatasan impor kendaraan, menaikkan suku bunga kredit kendaraan serta tarif pajak kendaraan untuk membatasi jumlah kendaraan. Keputusan ini akan dianggap salah dan dihujat karena akan menyulitkan bisnis otomotif. Otomatis investor akan pergi, harga kendaraan akan mahal dan sulitnya penjualan. Akibatnya akan ada PHK masal di industri ini. Pemerintah harus bertanggungjawab. Termasuk dunia perbankan juga akan terdampak karena menurunnya kredit kendaraan bermotor.
 
Mari kita buat kebijakan pelebaran jalan agar mampu menampung volume kendaraan. Ini akan diprotes, dicibir,  dihujat karena dianggap salah telah melakukan penggusuran. Selain itu juga akan mengurangi ruang terbuka hijau. Kota hanya dipenuhi aspal dan beton.

Kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara yang diharapkan juga mampu mengurangi kepadatan Jakarta karena akan otomatis sebaran penduduk terpecah dan bergeser, juga dihujat. Lompatan kebijakan ini dianggap tidak peka dengan kondisi bangsa yang sedang sulit. Padahal pemindahan ibukota dilakukan dengan skema jangka panjang dan bertahap. Anggaran pembangunannya pun hanya sekitar 30-40% saja yang akan dibiayai negara. Sisanya dengan kerjasama.
 
Kasus 5.
Harga-harga kebutuhan di luar Jawa jauh lebih mahal, hal ini dikarenakan mahalnya transportasi dan sulitnya distribusi barang. Pembangunan di daerah luar Jawa pun dianggap kurang perhatian. Untuk mengatasi ketimpangan ini, pemerintah mulai gencar membuat proyek infrastruktur. 

Kebijakan ini diprotes dan dihujat oleh sebagian orang karena dinilai pemborosan APBN dan keuntungan yang didapat tidak bisa cepat. Ada juga yang mengatakan kalau pembangunan besar-besaran di sana belum begitu perlu. Padahal sudah berapa lama penduduk di sana kesulitan akses, kesulitan mendapatkan kebutuhan? Sudah berapa lama kebijakan pemerintah Jawa sentris? Sementara kita di Jawa begitu mudahnya menjangkau wilayah lain dan mudahnya mengakses kebutuhan.

Contoh kasus tersebut hanya sebagian kecil saja. Masih banyak kasus lain, atau mungkin nyaris semua kebijakan yang selalu mengalami penolakan, pertentangan, hujatan, cemooh. Semua perdebatan dan resistensi ini begitu kentara akibat mudahnya mengakses informasi. Bukan hanya mengakses, tetapi juga memproduksi "informasi" sendiri serta menyebarkannya. 

Suara lantang bergemuruh sahut-sahutan di jagat maya. Mengalahkan gegap gempita hari raya dan hari kemerdekaan. Nyaris tidak ada celah yang tidak diisi dengan perdebatan tiada akhir, caci maki, nyinyir, kritikan yang cenderung mengolok-olok.

Begitu sulitnya menjadi warga +62, mau begini salah, begitu salah. Hidup penuh tekanan, bahkan tekanan terhadap hal yang tidak penting. Korban sudah banyak berjatuhan akibat wabah virus kebencian ini. Mulai dari korban bunuh diri karena tidak tahan dirundung atau dibully. Korban yang dikucilkan lingkungan karena perbedaan pandangan dan perbedaan kaos. Korban perkelahian, perceraian karena perbedaan pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun