Oleh: Bambang Wibiono
_
Lockdown salah, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga salah. Social distancing salah, pembiaranpun salah. Memberitakan korban salah, tidak memberitakan salah. Peringatan banjir salah, tanpa peringatan banjir juga salah. Normalisasi sungai salah, naturalisasi sungai juga salah.Â
Pembatasan kendaraan untuk mengurangi kemacetan salah, dibebaskan juga salah. Memberi pajak kendaraan tinggi salah, keringanan pajak kendaraan juga salah. Boleh mudik salah, dilarang mudik juga salah. Sanksi tegas salah, sekedar himbauan juga salah. Memberi bantuan salah, tidak memberi pun salah. Ada Ujian Nasional salah, UN dihapuskan juga salah. Semuanya selalu salah, kaya laki-laki yang selalu dianggap salah oleh perempuan, terlebih sedang PMS.
Hidup di negara demokrasi semacam Indonesia ini memang dilematis. Apalagi didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang membuat arus informasi begitu cepatnya menyebar melebihi wabah Covid19. Kalau penyebaran wabah Corona bisa dicegah dengan social distancing atau physical distancing, berbeda dengan arus informasi.Â
Informasi mampu menjamah dimensi ruang yang tak terlihat sekalipun. Hanya butuh waktu sepersekian detik, informasi sudah dapat diterima oleh orang lain di belahan dunia lain. Bahkan bisa langsung diterima oleh banyak orang sekaligus.
Â
Sebagai warga di negara demokrasi, kita bebas berbicara, berpendapat, berserikat, berkumpul bahkan melakukan kritik terhadap apapun. Termasuk kritik terhadap sistem atau kebijakan pemerintah. Ini yang dibutuhkan dalam sistem demokrasi: input berupa kritik, masukan, protes, tuntutan, dukungan dari masyarakatnya.Â
Dari input inilah nanti akan diformulasikan menjadi regulasi atau kebijakan-kebijakan yang kemudian nanti outputnya menjadi kebijakan yang akan kita laksanakan bersama. Output ini juga nantinya akan mendapat masukan, kritikan, tuntutan dan dukungan lagi dan kemudian akan diformulasikan menjadi kebijakan lagi. Begitu seterusnya.
Â
Wabah Itu Bernama Kebencian
Dimanakah letak dilema dan permasalahannya? Ada pada kebebasan berbicara yang didukung oleh media sosial. Oh, tidak! Bukan ini permasalahannya. Masalahnya adalah budaya mengumpat kita. Kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat kita yang terkadang ngotot tanpa mengetahui ilmunya secara komprehensif dan menyeluruh.Â
Setelah itu, kita akan mengumpat, bahkan sumpah serapah jika tidak sesuai dengan pendapat atau angan kita. Nyinyiran, umpatan, sumpah serapah kita ini kemudian tersebar, atau bahkan sengaja disebar untuk menularkan kebencian serupa. Lebih parahnya lagi, virus kebencian ini bukan lagi vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, tetapi juga horizontal sesama warga masyarakat. Ini adalah wabah yang sulit dibendung.
Tak semudah dengan social distancing untuk mencegah wabah ini, karena tiap individu terkoneksi. Namun jika memutus koneksi ini juga akan berbahaya karena dianggap bertentangan dengan sistem demokrasi. Pemerintah Telah Membungkam Suara Rakyat, Pemerintah Menutup Informasi Publik, Pemerintah Indonesia Antidemokrasi, kira-kira begitulah sebuah judul berita akan tersebar ke penjuru dunia.
Saat kita membuat keputusan untuk diri kita sendiri tentu tidak akan bermasalah besar karena yang akan melaksanakan dan resikonya juga kita tanggung sendiri. Saat keputusan diambil pada level keluarga, mulai ada kritikan penolakan sebagian anggota keluarga. Saat keputusan itu salah atau berdampak buruk pada sebagian atau keseluruhan anggota keluarga, tentu ada suara sinis menyalahkan seperti: "tuh kan, apa Mamah bilang ...."