Sore itu, sudah dari siang radio di mobil mengabarkan bahwa pintu air Katulampa sudah di level waspada. Air kiriman dari katulampa siap mengarah ke jakarta. Ditambah lagi berita tentang ambrolnya talud jalan tol di bandara.Â
Dan waktu sudah menunjukkan jam pulang kantor; kemacetan adalah hal yang sangat biasa, hadapi saja, hindari kalau bisa.
Seorang perempuan menunjuk satu kantor sebagai lokasi penjemputan. Setelah berusaha cukup keras akhirnya saya sampai. Cukup keras karena lokasi itu sangat saya kenal beberapa tahun lalu. Tetapi perubahannya setelah itu sangat berbeda, dan kantor itu dulu belum ada.Â
GPS yang saya ikuti mengarahkan saja. Tetapi ternyata tidak bisa karena main gate kantor itu berada di sebelah kiri pembatas jalan, sedangkan saya ada di kanan pembatas.Â
Waduh. Ya, GPS tidak tahu ada separator itu. Meski tanpa tahu dimana akan putar balik, saya coba memutar sekali lagi menjauh dari gerbang supaya bisa di kiri separator. Kalau kejauhan, ya, nasib paling-paling dicancel. Dan syukurlah, ternyata putaran balik tak jauh-jauh amat. Selamat di penjemputan.
Singkat cerita beliau meminta mengarah lewat jalan TOL. Tetapi ada yang aneh karena GPS menunjuk arah yang lain.
"Saya males sekali buka medsos, tidak tahu sudah banjir apa belum," katanya.
"Ya, kalau dari radio sepertinya sudah ada yang kena. Tambah lagi, kalau ibu ada jadwal ke bandara, mesti cek jadwal. Takutnya kena imbas talud ambrol," kata saya memberinya info.
"Nah, ternyata daerah-daerah yang langganan sudah kena. Sudah default, kalau tempat-tempat itu terkena," katanya membaca apdetan medsos.
 "Kok GPS bilang kanan, Ibu? Kemana kalau kanan?" tanya saya mencoba mencari tahu.
 "Itu berarti lewat jalan biasa, bukan TOL," katanya.
Sepertinya beliaunya cukup sibuk dengan pekerjaannya. Mendengar kata-kata saya, beliau seperti tak ambil pusing, yang penting lewat TOL semua beres. Beliau sedikit tahu, bahwa siang tadi memang ada kabar Katulampa siaga tetapi tidak tahu apdet lanjutannya.Â
Dan beliau, karena masih muda cukup tahu arti GPS. Setelah sedikit memaksa mau lewat mana, akhirnya saya minggir supaya beliau cek GPS.
"Kok, aneh. TOL lumayan lancar, tetapi kok jalan biasa lebih lancar?" katanya sedikit bingung.
Setelah saya persilakan memilih jalan, akhirnya beliau pilih jalan biasa.
Sore menjelang malam yang amat sangat tidak biasa. Demi GPS, akhirnya beliau memilih, "Lewat jalan biasa, ya, berarti putar balik!"
Ya, memang aneh. Jalur biasa itu sejak dari saya tahu, sebenarnya jalur yang normalnya macet, bahkan membuat ngap-ngapan. Tetapi kemacetan pertama tidak terjadi. Nihil.
Sampailah di jalur macet yang kedua.
"Di sini biasanya sudah pada ngantri, lho. Sebelum  tanjakan saja biasanya sudah macet. Kok, ini jalan seperti milik kakek saya; cucunya baru lewat, jadi dibuat lancar semua?"  tanyanya.
Saya tersenyum heran dengan kondisi jalan yang ditunjukkan oleh GPS berwarna biru tua sepanjang jalan. Padahal, jalan itu jalan satu arah, dan satu-satunya jalan yang bisa dilewati dari kawasan itu menuju tujuan beliau, dan macet adalah kepastian.
Hingga lewatlah jalur macet kedua dengan lancar plus rasa heran.
Jalur macet ketiga semakin membuat heran karena tak ada mobil atau motor yang antri rebutan jalan.
"Ini orang-orang pada kemana, ya? Jam segini mosok belum macet?" kata beliau.
"Tidak tahu ibu. Mungkin mereka ketahan banjir," kata saya berusaha cepat mumpung tidak macet.
Akhirnya selamat sampai tujuan, tanpa macet pada jam pulang kantor selepas magrib.
Untung ada GPS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H