Waktu berputar begitu cepat, setiap hal berlalu tanpa jeda. Manusia bersaing dengan keadaan, menunjukan keangkuhan karena mampu berlari tanpa istirahat.
Zaman ini, manusia lebih berfokus pada kepuasan diri, bahwa aktivitasnya terasa baik apabila semuanya dapat dilewati begitu saja. Hal terpenting adalah saya mampu mengikuti ritme sebuah aktivitas dan mencapai sebuah standar kehadiran di absensi.
Sebagai guru saya melihat pemikiran ini yang sedang berkembang selama pembelajaran daring.
Benar adanya, pengertian, pemahaman mendalam dan pemahaman sepanjang hayat adalah poin akhir dari daftar panjang di pemikiran pembelajar. Alhasil, banyak dari kita yang mengartikan belajar hanya terhenti pada hasil dan tidak memperhitungkan proses di dalamnya.
Seorang doctor yang memulai karir sebagai filsuf di tahun 1879 sudah memprediksi pemikiran pembelajar di zaman ini sejak dahulu. John Dewey yang dikenal sebagai bapak Pendidikan Amerika, mengerti betul tentang pemikiran manusia di abad ini dan penerapannya di lingkungan Sekolah. Menilik pada pertumbuhan anak, Dewey mengerti sekali.
Guru terkadang tidak pernah benar- benar mengajarkan kepada anak didik untuk tenang dan memikirkan hal yang sudah terjadi sepanjang waktu belajar, hingga semua hal berlalu seperti rutinitas biasa. Mereka akan bersahabat dengan kesalahan yang sama kemudian tidak akan pernah mampu membuat konklusi terbaik.
Seperti dewey, saya percaya bahwa letak kehidupan itu sendiri bersumber dari Pendidikan. Dalam Pendidikan, manusia secara sadar mengenal kehidupannya, mengelola diri, hingga menentukan diri dan kehidupannya kepada nilai.
Di mana pengalaman dan pengetahuan manusia berporos pada keterampilan reflektif yang dapat menggerakan manusia kepada kehidupan sejati.
Maka, salah satu cara terbaik agar anak didik dapat mengejar pemahaman sepanjang hayat, menerapkan " Experiential Learning" yang merupakan buah pemikiran Dewey, sangat baik.
Proyek kecil yang pernah saya lakukan di kelas sosiologi adalah kegiatan observasi. Mereka mampu melakukannya di tengah situasi pandemi ini tapi tidak terhalang sekat dan fasilitas yang kurang memadai.
Saya bersyukur, ilmu pengetahuan sosial memiliki laboratorium terbesar di bumi yang mana bahan kajiannya adalah manusia itu sendiri.
Interaksi anak didik dengan orang tua, saudara dan mungkin komunikasi jarak jauh akan menjadi objek nyata.
Mereka yang perlu belajar banyak kata baru dan maknanya dalam pola interaksi seperti; Akulturasi, Akomodasi, Asimilasi dan lain- lain dapat diamati dan dikerjakan pada lembar kerja yang sudah diberikan pertanyaan penting.
Awalnya sulit memulainya, terlebih anak didik di jenjang SMP, guru perlu memberikan waktu dan memaksimalkan kemampuan berpikir kritis mereka.
Khusus untuk materi sosiologi ini mereka dapat menarik kesimpulan tentang perilaku yang positif dan negatif dalam bermasyarakat kemudian dapat mengidentifikasi perilaku diri sendiri saat berinteraksi dengan kelompok terkecil, yaitu keluarganya.
Mari guru, jangan hanya memberikan mentah- mentah ilmu kepada anak didik tanpa mengasah pemikiran kritis dan memberikan waktu bagi mereka untuk duduk berefleksi.
Sebagai guru kita wajib memberikan anak pengalaman belajar dari lingkungan sekitarnya agar rutinitas yang berlalu tanpa makna dapat menjadi moment berharga untuk pembelajaran dalam hidup anak didik kita.
Hal ini dapat mengubah perilaku, pola pikir kemudian memperbaiki kesalahan serta solusi terbaik yang merupakan buah pikiran mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H