Malam itu, sebuah rapat berlangsung di sebuah ruangan. Topiknya agenda rutin rapat organisasi. Namun, dari awal diskusi, tampak ada anggota rapat yang punya pendapat saling berlawanan. Semua peserta rapat mulai merasa frustasi sebab setiap kali rapat pasti akan seperti ini. Argumen-argumen tak berdasar terus disampaikan. Bahkan ketika data dan fakta dihadirkan, diabaikan. Bersikeras bahwa pengalaman lebih relevan. Rapat pun berputar-putar, seperti roda yang terjebak dalam lumpur, tanpa arah dan tanpa hasil.
Di akhir rapat, seorang peserta rapat hanya menghela napas. Ia menyadari satu hal: diskusi dengan orang yang menolak mendengarkan, apalagi memahami, adalah perjuangan yang tak berujung. Seperti berbicara pada cermin yang hanya memantulkan kebisingan, bukan pantulan akal sehat. Dan malam itu, ia memutuskan untuk tidak lagi membuang waktu pada perdebatan yang hanya melelahkan, tanpa membawa manfaat bagi siapa pun.
Ia teringat sebuah nasehat dari Imam Syafii, “Setiap kali berdebat dengan kaum intelektual, aku selalu menang. Namun, anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tak berdaya.”
Imam Syafi’i mengakui sulitnya berargumentasi dengan orang jahil, “Aku mampu berhujah dengan 10 orang berilmu, tapi aku pasti tak menang dengan seorang yang jahil, karena orang jahil tak pernah paham landasan ilmu.”
Kemudian, ujarnya, “Berkatalah sekehendakmu ‘tuk menghina kehormatanku, diamku dari orang bodoh adalah suatu jawaban. Bukan berarti aku tak punya jawaban, tetapi tak pantas bagi singa meladeni anjing.”
Malam itu, ia meninggalkan rapat dengan langkah mantap, tetapi pikirannya masih dipenuhi kegaduhan yang tak kunjung usai. “Mengapa,” batinnya, “beberapa orang memilih menggonggong lebih keras daripada mendengar dengan tenang?” Mereka seperti anjing-anjing liar di jalan, selalu merasa perlu menyuarakan pendapat mereka, meski tak satu pun membawa arah atau manfaat. Gonggongan mereka mungkin keras, tapi tak lebih dari sekadar polusi suara yang mengganggu.
Ia mengingat kembali salah satu argumen konyol yang disampaikan di rapat tadi. Argumen itu bahkan tak punya dasar, apalagi logika. Sama seperti seekor anjing yang menggonggong pada bayangannya sendiri, mereka membuang energi untuk sesuatu yang bahkan tidak nyata. Sayangnya, mereka tidak pernah menyadari bahwa menggonggong tidak akan membuat mereka menjadi raja hutan.
Singa, pikirnya, tetaplah singa. Ia tidak perlu menundukkan kepala untuk meladeni anjing-anjing yang hanya tahu membuat kegaduhan. "Aku memilih untuk diam bukan karena tak mampu menjawab," gumamnya dalam hati, "Tetapi karena waktuku terlalu berharga untuk dihabiskan bersama mereka yang bahkan tak paham apa yang mereka perdebatkan."
Lalu, ia teringat perumpamaan yang pernah ia baca, “Anjing mungkin bisa menggonggong sekeras mungkin, tetapi kereta tetap melaju tanpa terganggu.” Dan ia tahu, dalam kehidupan ini, selalu ada mereka yang hanya bisa menggonggong tanpa menghasilkan apa pun.
Malam itu, langkahnya semakin jauh meninggalkan ruangan, deru ular besi membawanya ke ibukota untuk urusan yang lebih besar. Pikirannya tetap memutar ulang kejadian tadi. Ia tersenyum kecil, bukan karena senang, tetapi karena ironi yang terlalu nyata. Anjing-anjing yang menggonggong tadi, ternyata bukan bergerak bebas. Mereka dikekang oleh seorang “pemilik”. Seseorang yang dengan penuh percaya diri merasa dirinya singa, meski kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Pemilik anjing-anjing, mungkin penderita NPD (Narcissistic personality disorder). Gangguan jiwa yang merasa bahwa dirinya yang menjadi paling penting dibandingkan orang lain. Sering bertingkah manifulatif, terlalu percaya diri, dan “haus” akan perhatian dan kekaguman. Ia lebih sering sibuk mengendalikan anjing-anjingnya untuk menyerang sana-sini tanpa arah. Bahkan dalam hal sederhana, seperti membaca pedoman atau memahami dasar aturan organisasi, ia tidak mampu. Namun, ia selalu berbicara dengan nada otoritatif, seolah segala ucapannya adalah “hukum yang tak terbantahkan”.
“Lucu sekali,” gumamnya dalam hati. “Pemilik anjing merasa dirinya singa, tapi di padang-padang lain ia gagal total”. Singa yang sesungguhnya tidak akan sibuk mengatur kawanan anjing, tetapi memimpin dengan wibawa, membuat semua tunduk tanpa perlu banyak bicara.”
Ironinya, anjing-anjing itu pun bukan tanpa ambisi. Mereka terlalu rakus untuk mengelola organisasi, tetapi terlalu bodoh untuk melaksanakan aturan yang sudah ada. Mereka menggonggong tentang kekuasaan, mengklaim diri mereka sebagai yang berkuasa, tetapi tak paham sedikit pun tentang bagaimana cara mengelola tanggung jawab atau menghormati ketentuan yang ada.
Singa sejati tak perlu menundukkan kepalanya untuk melayani anjing-anjing yang hanya tahu menggonggong tanpa arah. Diam bukan berarti tak memiliki jawaban, tetapi karena itulah jalan terbaik untuk menjaga waktu, martabat, dan energi. Ia tersenyum pahit, menyadari bahwa singa tidak perlu repot-repot meladeni anjing. Biarkan saja anjing-anjing itu terus menggonggong, sementara singa tetap melangkah dengan kepala tegak, tak terpengaruh oleh kebisingan yang tak ada artinya.
Dan malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: tidak ada lagi waktu yang akan ia buang untuk perdebatan tanpa ujung, untuk anjing-anjing yang hanya tahu menggonggong, atau untuk pemilik yang merasa dirinya singa padahal tak mampu apa-apa. Mereka yang lebih suka berbicara daripada mendengar, lebih suka menggonggong daripada bertindak, akan tetap menjadi gonggongan yang hilang di tengah malam.
Singa tetap berjalan di jalannya, tak terhentikan oleh kebisingan yang tak berharga. Mengikuti petunjuk firman Allah SWT dalam QS. Al-A'raf ayat 199, "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."
"Jika engkau duduk bersama orang bodoh, maka diamlah. Jika engkau duduk bersama ulama, maka diamlah. Sesungguhnya diammu di hadapan orang bodoh, akan menambah kebijaksanaanmu, dan diammu di hadapan ulama akan menambah ilmumu," Pesan Imam Hasan Al Basri.
Nashrum minallâhi wa fat-ḫung qarîb, wa basysyiril-mu'minîn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H