" Puas kamu mengadu pada anakku heh..?", sindir ibu Rey sambil meonton tv di ruang keluarga.
" Maaf bu, apa maksud  ucapan ibu ?" dengan senyuman Gisya menghampiri ibu mertuanya.
"Halah...berlagak pilon lagi ,percuma kamu bilang apapun pada anakku...dia pasti akan lebih mempercayaiku dari pada kamu....hahhahahah ", bentak ibunya dengan keras sambil menepuk - nepuk dada.
Gisya diam ... dia hanya mampu tersenyum getir, jauh di dalam hatinya terbesit suatu luka yang dia simpan rapat - rapat.
" Permisi bu, saya harus membuat pesanan roti dulu..jika ibu perlu sesuatu saya ada di dapur ", pamit Gisya sopan.
"hahahah...sana pergi, aku juga muak dengan senyum palsumu ", umpat ibu Rey.
Gisya meninggalkan ibu mertuanya menuju ke dapur dengan tangis tertahan . Diambilnya bahan - bahan pembuat roti, di campurnya bahan- bahan tersebut secara perlahan . lamunan pun tak dapat ia tolak, masih terekam jelas bagaimana mertuanya sering sekali mengasarinya entah dengan perkataan ataupun tindakannya, mulai dari panggilan babu,menantu tak tahu diuntung bahkan yang lebih menyakitkan lagi si munafik.bahkan tak jarang tangan si ibu sering melayang kepipinya, menjambak jilbab dan melemparkan piring bekas makan, jika beliau sedang kesal.
Tanpa terasa butiran- butiran bening dari sudut matanya mengalir, membentuk anak sungai di kedua pipinya. Lirih di bergumam " Ya Allah...ampunilah segala kekhilafanq,aku tak ingin mengotoriku hatiku dengan segala macam kebencian ibu mertuaku , berikanlah yang terbaik untuk kami...bagaimana pun aku menyayangi beliau seperti aku menyayangi orang tua kandungku..."
" Braaakkkkk...aaaa...aaaa " , terdengar suara jeritan dari kamar mandi.
" Astagfirullahhaladzim...ibu...", berlarilah Gisya ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi tubuh ibu Rey  sudah tergeletak dan disisinya darah segar sudah banyak membanjiri lantai,setengah sadar mata ibu rey menatap Gisya .
Satu jam kemudian Rey sudah sampai di rumah sakit dengan wajah yang kusut berantakan. Dia berjalan tergopoh menemu Gisya.