Demikian pula dengan teh dan kopi yang selalu ada. Â Saya selalu mengingatkan rekan-rekan untuk menghabiskan teh atau kopi di gelas, karena untuk menyediakan ini, penduduk setempat mesti berjalan kurang lebih 4-5 kilometer untuk mengambil air dengan jirigen plastik.
Mereka hidup dalam kemiskinan, tapi selalu punya hati untuk berbagi. Â Tak jarang mereka memberikan kami ayam hidup untuk nanti kami oleh di tempat kami menginap. Â Saya masih mengingat benar apa yang dikatakan dalam penyambutan kedatangan kami. Â Pemimpin masyarakat selalu berbicara dalam bahasa daerah, dan kami memahaminya lewat penerjemah yang ada.
"Mereka ini bukan saudara kita. Â Mereka datang melintasi lautan untuk menengok dan membantu kita. Â Mari kita perlakukan mereka sebagai saudara." Begitulah kurang lebih terjemahan dari ungkapan yang ada setiap kali penyambutan terjadi.
Lihatlah senyum ceria anak-anak ini. Â Senyuman yang sama selalu menyambut saya dan tim.
Kami ingin berbagi pengharapan. Â Bahwa kondisi hidup bukan hanya untuk diterima begitu saja. Â Lewat bantuan dan pelatihan penanaman sayur-mayur, kami ingin menunjukkan bahwa kerja keras pun akan menumbuhkan harapan bahkan di tengah lahan yang penuh cadas.
Kami berbagi hati untuk menerimanya kembali. Â Penyambutan yang menggetarkan hati itu selalu mengingatkan kami. Â Ada satu hal yang menyatukan di tengah banyak perbedaan yang ada: cinta kami untuk Indonesia!
Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H