Mohon tunggu...
wahyu 'wepe' pramudya
wahyu 'wepe' pramudya Mohon Tunggu... -

full time sinner, full time pastor, full time husband and father. unresolved mystery about grace. Kontak di bejanaretak at gmail dot com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Gaya Pengasuhan Anak yang Mendatangkan Masalah

23 Juli 2015   16:24 Diperbarui: 23 Juli 2015   16:24 7801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nah, ini adalah gaya pengasuhan di kota besar dengan pelbagai kesibukan yang ada. Ayah dan ibu sibuk bekerja sehingga praktis pengasuhan anak dilakukan oleh pembantu, baby sitter atau anggota keluarga lain (seperti kakek, nenek, oom atau tante). Ringkasnya, orang tua menyerahkan urusan anak-anaknya kepada orang lain. Mirip dengan praktik alih daya alias outsourching di pabrik. Ayah dan ibu bisa menjalankan aktivitas bisnis secara optimal, nyaris tak terganggu urusan anak. Pada akhir pekan pun seringkali orang tua tak menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan anak. Salah satu akibat dari pola pengasuhan ini adalah kurang optimalnya transfer nilai-nilai kehidupan dari orang tua kepada anak. Yang terjadi secara optimal adalah transfer nilai-nilai dari pihak yang mengasuh kepada anak-anak. Nilai-nilai yang bisa saja bukan hanya berbeda, namun bertentangan dengan nila-nilai orang tua. Tak jarang anak-anak menjadi manja, karena para pengasuh anak itu cenderung tidak ingin ribut dengan anak dan mudah memberikan apa saja yang diminta oleh anak-anak tersebut.

 

Melayani Raja Kecil

Dalam gaya pengasuhan ini anak-anak menjadi pusat hidup orang tua. Segala kebutuhan anak-anak dilayani, sama seperti melayani seorang raja. Anak dimanjakan dengan pelbagai fasilitas yang ada, dilindungi secara maksimal dari kesulitan yang muncul akibat perilakunya, dan dituruti apa pun yang menjadi keinginan hatinya. Akibatnya jelas, anak-anak dapat segera merasakan kalau mereka ditempatkan dalam posisi yang sangat istimewa. Bisa menjadi sangat penuntut terhadap pihak lain, mudah menyerah, dan tidak sabaran. Kadangkala pola ini dilakukan oleh orang tua dengan anak tunggal walau tak menuntup kemungkinan orang tua dengan beberapa anak. Yang tanpa sadar mendorong orang tua untuk menggunakan gaya pengasuhan anak seperti ini adalah rasa bersalah.

 

Banjiri dengan Kata-kata Positif

Saya mengamati gaya pengasuhan ini lewat sebuah pengalaman sehari-hari. Ada orang tua yang sangat menghindari pemakaian kata-kata negatif dalam pengasuhan anak. Anak memecahkan vas di ruang tamu gara-gara bermain bola, sang ibu hanya berkomentar, ”Tendanganmu kuat sekali ya. Nah, jika sudah sekuat itu, mainnya di luar.” Saya menikmati jawaban yang seperti ini. Namun, jika pola jawaban ini adalah satu-satunya cara berkomunikasi, maka anak akan sulit mengerti kata “tidak” yang memang jarang sekali ia dengarkan. Memilih menggunakan kata-kata positif tentu saja adalah hal yang baik. Namun, kata-kata “tidak” dan “jangan” juga tak boleh tak terdengar sama sekali oleh anak-anak. Ada dua alasan tentang hal ini. Pertama, kata tidak atau jangan menegaskan dimensi otoritas orang tua yang perlu terkomunikasikan dengan anak. Anak-anak perlu belajar menghargai otoritas orang tua. Kedua, dalam kenyataan hidup, anak-anak akan mendegar orang lain mengatakan kata-kata ini. Jika anak-anak sama sekali tak terlatih menerima penolakan atau larangan dengan kata-kata seperti tidak atau jangan, maka ia akan menjadi terlalu sensitif apabila mendengar ini dari orang lain.

***

Berhentilah sejenak membaca artikel ini. Mari menengok cara kita mendidik anak-anak di masa kini, dan mari kita ingat kembali bagaimana orang tua mendidik kita terdahulu. Apakah kita dapat menemukan persamaan-persamaan yang ada? Persamaan dalam bentuk cara atau bahkan kata. Atau sebaliknya: kita dapat menemukan perbedaan corak yang secara sengaja kita lakukan karena pengalaman buruk di masa lalu. 

Mengapa kita cenderung mewarisi pola pendidikan anak dari dari orang tua kita? Jawaban sederhana untuk pertanyaan ini adalah karena tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Kita jatuh-bangun belajar untuk mendidik anak. Acuan utama kita apalagi selain pengalaman sebagai anak di masa lalu?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun