Mohon tunggu...
Weny Rachma
Weny Rachma Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Yogyakarta

Sebuah pengetahuan akan pudar jika tak kau tuangkan dalam tulisan. Maka, menulislah sampai kau tiada tulisan tetap merdeka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenali Aku

8 September 2019   07:00 Diperbarui: 8 September 2019   07:08 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang-pun tahu...
Makna dari pepatah ini
"Tak kenal maka tak sayang"
Maka... "Mendekat.. dan kau akan terpikat"

Wajahnya layu. Matanya lesu. Setiap orang yang melihat pasti akan mempunyai rasa kasihan. Bukan masalah fisik, tapi ini lebih parah. Orang tak mampu menterjemahkan keadaannya. Ia mengalami konflik batin yang mendalam. Bahkan orang tuanya pun tidak memahaminya. 

Tubuhnya terlihat tak mempunyai daya. Duduk bersandar di atas ranjang, kini telah menjadi hobinya. Di depan pintu ibu memandangi, mendekat duduk di sebelah Syifa. Ibu hanya diam, air matanya keluar tanpa dipinta Syifa tetap saja tanpa respon, seolah-olah tidak tau ada ibu di sampingnya.

Saat ini Ibu mencoba mengerti keadaanya. Ibu hanya tau bahwa anaknya sedang sakit dan tidak mau dibawa ke dokter. Sikap Syifa dibiarkan seperti ini, sampai dia benar-benar kembali dalam dirinya. Hari sudah semakin malam. Ibu mengusap kepala Syifa sampai tertidur pulas. Garis senyumnya masih belum nampak. Tujuan Ibu saat ini merubah Syifa menjadi seperti dulu.

Jalanan masih tertutup embun, adzan shubuh mulai terdengar. Ibu sudah mulai bangun dan melakukan aktivitas sehari-hari. Pandangannya ke arah kiblat. "Subhanallah" ujar ibu dalam hati. Mata ibu tanpa berkedip, bahkan tubuhnya terdiam layaknya patung. 

Terkejut bukan main, melihat Syifa yang khusuk berdoa di hadapan Sang Kholiq. Ia baru usai melakukan shalat tahajud. Air mata ibu menetes pelan. Kali ini bukan air mata kecewa ataupun sedih. Tapi, ini air mata kebahagiaan melihat putrinya yang berubah secara tiba-tiba. 

Duduk di belakang Syifa seraya memanjatkan puji syukur atas semua ini. Ibu berharap semoga Syifa senantiasa istiqomah di jalan yang benar.

Usai berdoa Syifa menolehkan kepala kebelakang. Ia memeluk Ibu dengan erat seraya meminta maaf atas perbuatan konyolnya yang dibuat beberapa hari ini. Mendengar adzan yang berkumandangn, Syifa dan Ibu pergi ke mushola yang berada di sebelah rumah begitu juga dengan bapaknya. 

Keadaan kembali seperti sediakala, dimana keharominasan kembali dirasakan. Puji syukur atas nikmat sang pencipta, keajaiban yang datang secara tiba-tiba.

Pagi yang berwarna dengan aroma kebahagiaan. Bahkan burung-burung di ranting ikut bersiul riang menyambut Syifa yang sedang menyapu halaman depan rumah. Warga yang berprofesi sebagai petani berlalu-lalang. Garis senyum Syifa mulai diperlihatkan setiap ada orang yang menyapa lewat depan rumahnya. 

Kini hatinya memang benar-benar berubah. Saatnya badan diistirahatkan sembari memainkan ponsel kesayangannya. Handphone Syifa bergetar lama, banyak pesan yang masuk. Maklum saja sudah dua minggu Syifa tidak memainkan handphonenya. Pesan dari Ferdian menggerutu. Ferdian pacar Syifa, mereka sudah hampir dua tahun menjalin hubungan.

Syifa sedikit menghiraukan message masuk yang memenuhi ponselnya. Ia lebih memilih untuk browsing mengenai pondok pesantren. Pemikirannya memang sudah benar-benar berubah. Mindsetnya "mencari jalan kebenaran dan meninggakan hal yang menjerumuskan. Terutama yang berhubungan dengan dosa".

Syifa ingin izin kepada orangtuanya, dan ia mencoba mendekati mereka. Wajahnya menyimpan banyak pertanyaan. Setiap ia ingin melangkah hatinya merasa bahwa dirinya itu tak mungkin bisa. 

Melihat ibu dan bapak yang sedang berbincang di depan TV, Syifa datang membawakan juice segar sebagai pemula awal untuk memulai pembicaraan.

"Ibu.. bapak ini Syifa bawakan juice mangga" ujar syifa lembut. Ditaruh kedua juice di atas meja, Syifa membalikan badan melangkah pergi menuju kamar.

"Syifa.. sini nak, bapak ingin bicara denganmu" ucap bapak lirih. Langkah Syifa terhenti, ia duduk berlawanan dengan bapak.

"Syifa, bapak mempercayaimu sebagai putri bapak yang pertama. Kamu menjadi panutan kedua adikmu. Masa depanmu ada di tanganmu, bukan di bapak ataupun ibumu.. dan bukan uang yang menentukan"

"Bapak, ibu.. Syifa sudah memutuskan minggu depan ridhoi Syifa mencari ilmu di pesantren Yogyakarta. Di sana juga ada kuliahnya, dan insyaallah atas izin Allah Syifa menghafal Alquran di sana" jawab Syifa menjelaskan. Kedua orangtuannya tertegun mendengar ucapan Syifa. 

Wajah mereka benar-benar dibuat bingung untuk menjawab penjelasan Syifa. Kata-kata lebih dari bahagia serta tak pernah terduga, mendengar perkataan Syifa.

Hari yang sangat ditunggu Syifa, disisi lain ia juga merasa tidak ingin jauh dari kedua orangtuannya. Sebuah niat harus diiringi dengan tekat yang kuat. Agar impian bisa terwujudkan. Kedua adik Syifa, Sarah dan Herman pulang ke rumah. Kemarin bapak sengaja menjemput mereka berdua dari pesantren. 

Pagi masih terlihat petang, burung belum nampak nongkrong di ranting-ranting. Hanya saja suara ayam berkokok terdengar sejak jam 03:00 pagi. Semua barang keperluan sudah dimasukan ke dalam mobil belakang.

Usai shalat shubuh, rumah sudah dikunci rapat, lampu sudah dimatikan. Ucapan "Bismillahirohmanirrohim" mengawali perjalanan menuju Yogyakarta. Membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk mencapai pesantren. Suasananya sudah berbeda, aroma perdesaan enyah begitu saja, polusi udara lebih tercium jelas. 

Matanya terus menunduk ke bawah, hatinya merasa sesak, padahal berpisah sementara dengan keluarga bukan pertama kalinya untuk Syifa. Nuansa pesantren tercium kental, melihat para santrinya yang keluar masuk gerbang. Pintu masuk tertulis besar "ahlanwasahlan".

Sarah dan Herman dibangunkan sesampai depan pesantren. Mengurus pendaftaran dilakukan bapak di ruang kantor. Syifa, ibu beserta adiknya menunggu di sebuah aula yang memang dipersiapkan untuk para tamu yang datang. Syifa masih saja diam, lidahnya menjadi kelu. 

Pandangan ibu terhadap Syifa tak seperti biasanya. Syifa tau kedua mata ibu berbinar, ia tetap saja merunduk. Ia tak ingin sesekali menoleh air matanya akan mengalir.

Dari arah Selatan terlihat bapak jalan mendekat. Bapak memanggil Syifa untuk melakukan test penjajagan guna sebagai persyaratan pendaftaran. Butuh waktu setegah jam untuk menyelasaikannya. Hati Syifa kembali sesak, dalam hitungan menit kedua orangtuanya akan meninggalkannya. 

Dengan spontan ibu memeluk Syifa erat, usai melihat Syifa keluar dari ruang test. Kali ini air matanya benar-benar tak bisa ditahan. Bukan hanya Syifa saja, ibu dan juga Sarah melakukan hal yang sama. Suasananya menjadi haru, bapak hanya melihat dengan raut wajah datar.

"Syifa.. bapak sama ibu, bangga sama Syifa" ucap ibu seraya menghapus air mata Syifa.

"Kak Syifa jangan nangis ya. Kapan-kapan Herman sama kak Sarah dan juga bapak, ibu bakal sering-sering jenguk kakak" sahut Herman dengan polosnya. 

Air mata Syifa terus menangis meski sudah berulang-ulang diusap. Ibu mencium Syifa berulang-ulang. Sarah memeluknya erat terlihat ia tak ingin jauh dari kakaknya.

Perlahan mobil tak terlihat dari arah berdiri Syifa. Air matanya diusap berkali-kali hingga menghilangkan bekas meski hati masih terasa sesak. 

Syifa disambut ramah dengan teman barunya, ia pun mulai memperkenalkan diri dan beradaptasi dengan lainnya. Sebisa mungkin ia tersenyum, mungkin dengan bercanda akan sedikit meredahkan kenyataan yang ia terima saat ini.

"Namanya siapa? Dari mana asalnya?" tanya seorang wanita sebayanya, seraya mengelurkan tangan.

"Saya Syifa tinggal di daerah Semarang. Si mbak namanya siapa?" tanya Syifa balik.

"Aku Zahra, rumahku di Kendal, dekat-kan sama rumah kamu?" Zahra tanya ulang, Syifa pun menganggukan kepala sebagai tanda iya.

Syifa sudah mulai menikmati suasana di pesantren dengan semuanya yang serba baru. Untungnya ia gadis yang mudah beradaptasi. Sekarang ia mempunyai banyak teman yang bisa mengerti sifat serta waktannya. Zahra teman yang paling dekat dan ia percaya untuk menyimpan ungakap hatinya. 

Awalnya Syifa memang tak bisa menerima keputusan sendiri saat jauh dari orangtua. Padahal Syifa sebelumnya sudah terbiasa di pesantren selama enam tahun.

Lantuanan suaranya terdengar merdu, mahrajnya benar-benar jelas. Sesekali orang yang mendengar akan terpukau. Ia mengucap lafadnya berulang-ulang hingga ia benar-benar sudah menghafal. Ia berbeda dengan lainnya, mayoritas di sini teman barunya sudah mempunyai hafalan lebih dari juz tiga. 

Syifa terus bersemangat untuk menghafal Alquran. Baginya waktu bukan sebuah uang yang dapat habis kapan saja. Tapi, waktu adalah tiket kesuksesan seseorang yang benar-benar perlu dimanfaatkan dengan kebaikan.

Suarannya terhenti ketika mendengar bunyi ponsel yang berdering. Pesan yang selalu setia menemaninya. Hubungannya dengan Ferdian kini semakin jauh, ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan. Rasa cinta Ferdian terhadap Syifa tidak bisa diibaratkan dengan apa saja. 

Ferdian memberi harapan besar terhadap Syifa. Syifa hanya merespon dengan baik seakan tak memperlihatkan apa yang ia rasakan. Bukan karena ia takut kehilangan Ferdian tapi ia merasa kasihan atas semua pengorbanan yang diberikan Ferdian. Pandangannya menjadi buyar, fikirannya menjadi ambyar, bahkan air matanya kembali menetes.

"Fa, kamu baik-baik saja kan? Ada apa dengan dirimu?" tanya Zahra yang tiba-tiba menepuk bahu Syifa. Sponta Syifa memeluk Zahra.

"Zah.. aku benar-benar tang mengerti harus berbuat apa? Keterpurukan itu menghantui aku" jawab Syifa meneteskan air mata "aku bingung Zah, aku ingin melepas Ferdian tapi entahlah apa yang kurasakan sekarang".

"Bukankah aku sudah kau percaya sebagai sahabatmu. Ceritalah sama aku, siapa tahu aku bisa memberimu jalan keluar" Zahra mencoba menenangkan. Dihapusnya air mata Syifa. Tarikan nafasnya memulai ia berbicara.

"Beberapa bulan lalu.. aku mengalami kesedihan sampai berhari-hari. Bahkan orangtuaku bingung mengahadapi aku. Sebenarnya aku hanya merasa dihantui dosa atas segala perbuatanku dengan Ferdian. Memang aku tidak berbuat zina Zah, tapi aku sering bertemu dengannya, bertatap muka, ataupun hanya sekededar berjabat tangan seraya mencium tangannya. Sebagai anak pesantren aku malu Zah, aku sudah enam tahun di pesantren tapi masih saja perbuatan keji aku lakukan" jelas Syifa. Air mtanya menetes pelan.

"Syifa, dengarkan aku. Aku tau pacaran itu dosa, bahkan berpandangan juga dosa kecil. Tapi, di sisi lain kamu tidak melakukan hal yang keji. Sekarang lihatlah remaja di sekitarmu, mereka enjoy saja bergandengan tangan, dan melakukan hal yang tidak lazim. Sedangkan kau berbeda dengan mereka. Lalu apa yang perlu kau fikirkan lagi?"

"Kamu benar Zah, tapi aku ingin fokus dengan hafalanku. Aku sudah mencoba menjelaskan Ferdian, dia tetap saja tidak bisa melepaskanku"

"Sekarang kau fikirkan baik-baik. Semoga keputusanmu akan membawamu menjadi lebih baik. Aku bangga mempunyai teman sepertimu, sekarang jangan sedih ya Fa. Kita wudhu yuk, adzan magrib sudah berkumandang.

Jam menunjukan pukul 20.05 WIB, Syifa merebahkan badannya di atas kasur. Malam ini ia memilih untuk mengistirahatkan fikirannya sejenak. Toh, tadi siang Syifa sudah punya setoran buat nanti pagi. Tangannya lihai dalam mengetik. 

Dengan cepat ia membalas chat dari Ferdian. Lagi-lagi hatinya merasa terguncang. Mungkin ini waktu yang tepat untuk kujelaskan semuanya. Bukan dijelaskan melalui chat, mungkin menelepon lebih baik dan lebih jelas. 

"Tegarkan hatiku ya Robb, aku hanya ingin berada di jalanmu, menjahui segala laranganmu. Jadikan keputusanku ini menjadi awal jalan taubatku" guamamnya dalam hati menjadikan percakapan sendiri.

Sambungan telephone terhubung. Terdengar dari seberang nan jauh Ferdian menjawab "Hallo Sayang".
"Walaikumsalam, aku ingin bicara penting mengenai hubungan kita. Aku minta maaf atas semua perbuatanku, dan terimakasih atas semua perjuanganmu untukku. Maaf, aku benar tidak bisa melanjutkan hubungan kita bukan karena aku tidak mencintaimu lagi ataupun ada orang lain. Tapi, aku benar-benar ingin merubah diriku. Aku berjanji akan tetap sendiri sampai aku menjadi sarjana dan sampai aku khatam Alqur'an, jika kau masih bersedia menungguku temui aku kembali, bawa aku dalam ikatan yang sah" jelas Syifa tanpa basa-basi. 

Sesekali air matanya menetes, ia tak bermaksud untuk menyakiti Ferdian. Hanya saja keputusan Syifa menghindar dari hal yang dibenci Allah.

"Aku tak tau harus menjawab apa mendengar keputusan konyolmu. Hanya saja hatiku kali ini lebih merasa hancur dari sebelumnya. Aku tak mempunyai kuasa untuk melarang keputusanmu" jawab Ferdian lirih. Iya terdiam dalam isaknya.

"Percayalah sama aku.. jika memang ditakdirkan untuk bersama. Kau akan menjadi imanku kelak" sahut Syifa pelan. Ferdian mematikan telepon dengan tiba-tiba, kali ini Syifa lebih merasa bersalah. Ia ingin menghubunginya ulang, nomor Ferdian sudah tidak aktif.

Mentari pagi penuh dengan kesejukan. Syifa dengan Zahra memilih untuk jalan-jalan sebentar menikmati suasana pagi. Gunungnya terlihat melintang indah bagai sebuah lukisan elok. Hati Syifa kini lebih tenang. Waktu berjalan dengan cepat, dua tahun berlalu dengan sendirinya. 

Awalnya ia sempat murung memikirkan Ferdian, tapi sekarang ia mulai terbiasa dengan keadaan. Bahkan sekarang hafalan Syifa sudah juz lima belas.

Waktunya para santri menjadi mahasiswi. Semuanya terlihat anggun dengan pakaian yang sekirannya tidak memperlihatkan lengkungan tubuh. Syifa terlihat anggun dengan pakaian dress tosca berpadu baby pink. Ia sedikit memberi lipstik agar tidak nampak pucat. 

Banyak lelaki yang tertarik akan pesonanya, tapi baginya itu adalah hal yang tidak penting. Lagian umur dua puluh tahun masih belum pantas untuk membina rumah tangga. Tapi, itu pendapat Syifa sendiri.

Saat ini dia memang ingin fokus untuk mengkhatamkan Alquran. Toh, bentar lagi juga akan skripsi. Masalah jodoh pasti akan tiba disaat yang tepat. Jika ada laki-laki yang mendekat untuk mengajak pacaran, mendingan jangan dulu. 

Tapi, kalau ada laki-laki yang ingin melamar justru itu adalah tindakan yang benar. Bukankah jodoh itu cerminan dari diri sendiri. Intinya tidak perlu difikir panjang, kalau endingnya nikah tua itu tidak menjadi sebuah masalah. Zaman sekarang banyak para gadis yang hamil diluar nikah.

"Tinggal menghitung bulan Fa, insyaallah mahkota akan terpasang di kepala kita" ujar Zahra dengan penuh harap. Bahkan membuatnya tak sadar ada batu di depannya, membuatnya hampir terjatuh.

"Hati-hati Zah kalau jalan" ucap Syifa tertawa kecil "aku juga tidak menyangka akan secepat ini Zah. Rasanya ini sebuah anugrah terbesar dari Sang Pencipta"

Di ambang gerbang mereka melangkah menuju ruang masing-masing. Sama-sama mengikuti pelajaran dengan serius. Aktif dalam mencatat apa yang diterangkan dosen. Bahkan semenjek Syifa jauh dari Ferdian, ia benar-benar berubah. Awalnya yang hafalanya paling tertinggal, sekarang ia justru paling unggul. Mahraj dalam bacaannya pun juga fasyih. 

Di kelasnya ia mendapat IP tertinggi. Sunguh sebuah niat suci yang memuaikan hasil. Ketekunannya memang patut diacungi jempol.

Mega merah datang seperti biasanya menandakan hari mulai petang. Awan yang semula biru, berubah keabu-abuan. Bintang juga mulai bermunculan secara perlahan. Adzan dari kejauhan sudah mulai terdengar samar. Ayunan kaki mereka dipercepat, takutnya ntar malah ketinggalan shalat jamaah magrib. Malam ini Syifa benar-benar menyiapkan mental. 

Tanpa diduga hafalanya sudah mendekati juz 29. Bahakan orangtua Syifa bahagia mendengarnya, seminggu yang lalu kedua orangtuanya menjenguk Syifa beserta kedua adiknya. Bagi Syifa kedatangan mereka adalah penyemangat terbesar yang membuatnya seperti ini.

Nafasnya hampir entah pergi ke mana usai mengaji. Sebaliknya juga merasa lebih lega. Tinggal beberapa langkah untuk mendapatkan sebuah mahkota. Pada dasarnya menghafal itu mudah, tapi menjaganya itu lebih sulit. Butuh banyak Muroja'ah untuk kedepannya. Malam ini Syifa memilih mencurahkan perasaan dengan coretan tinta hitam di atas kertas putih. 

Tangannya menari tanpa henti, bahkan sudah dua lembar lebih penuh dengan perasaannya. Panggilan dari arah barat menyebut nama "Syifa", membuatnya menghentikan tarian pena.

"Iya mbak, ada apa? Mengapa memanggilku?" tanya Syifa penasaran. Ini tidak seperti biasannya mbak Lena ketua pondok memanggilku tiba-tiba.

"Kamu ada panggilan dari dalem dek. Cepatlah ke sana, abah telah menunggumu" jawab mbak Lena dengan keburu-buru. Kali ini memang penuh dengan teka-teki. Dengan cepat Syifa memakai hijabnya dan berjalan menuju dalem.

Hati bergetar kencang, tangan gemeteran. Abah telah pinarak di hadapan Syifa, seraya mengamatinya. Ia hanya tertunduk dan menunggu ngendikan dari abah. "Syifa, hafalanmu sudah sampai mana. Sudah siapkah kamu untuk menikah?" Syifa benar-benar terkejut mendengar pertannyaan abah. Untuk menjawab pun ia terlihat bingung. "Tak perlu kau jawab sekarang, aku memberimu waktu sampai esok pagi. 

Sekarang pergilah ke kamarmu" lanjut abah tanpa memeberi kesempatan untuk berfikir di tempat. Syifa menganggukan kepala sebagai tanda setuju.

Jawaban untuk pertanyaan abah sudah dipersiapkan matang-matang. Syifa sudah benar-benar siap. Bahkan tadi malam Syifa tidak tidur untuk merangkai jawaban yang tepat.

"Assalamualaikum bah" salam Syifa diambang pintu.

"Walaikumsalam. Langsung kau jawab aja Fa, pertannyaan abah tadi malam"

"Alhamdulillah Bah, Syifa tinggal ikut ujian khatmil Quran. Masalah jodoh itu Syifa serahkan kepada Allah. Jika memang sudah ada, Syifa insyaallah bersedia. Alhamdulillah skripsi Syifa juga sudah selesai bah" jawab Syifa pelan. 

Abah memanggilkan seorang nama lelaki, tapi laki-laki itu tidak diperbolehkan untuk mendekat. Wajah Syifa memerah, bingung dengan apa yang terjadi. 

Diberikan secarik kertas untuk Syifa dan untuknya. Abah memerintahakan untuk menulis contact person masing-masing. Usai itu Syifa kembali ke kamar.

Terdiam seraya mengamati kertas yang diberikan abah. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa dengan kertas ini. Zahra mendekat seraya menanyakan perbincangan Syifa dengan abah. Syifa hanya menjawab seadanya seperti yang ia lakukan tadi. Dering ponsel Syifa berdering. Satu pesan diterima, dari nomor yang tak ia kenali.

"Assalamualaikum, langsung saja pada intinya. Aku seseorang lelaki yang dipanggil abah, tujuanku bukan untuk main-main. Aku sedang mencari seorang wanita yang bersedia mendampingiku, dan aku harap itu kau pilihan dari abah. Aku tak minta untuk kita saling bertemu atau bertatap muka, tapi aku ingin melihatmu melalui foto" Syifa terkejut membacanya. 

Ini bukan sebuah permaianan, tapi ini masalah serius. Mungkin ini yang dianamakan jodoh. Pilihan abah lebih tepat. Masalah orangtua bisa dibicarakan baik-baik.

"Walaikumsalam, jika memang kau benar ingin menjadikanku sebagai pendampingmu. Insyaalah aku bersedia, hanya saja maaf aku tak bisa mengirimkan fotoku. Cukup kau kenaliku dengan tulisanku. Meski itu tulisan angka, kau rangkai sendiri dengan pendapatmu. Atau kau kenali aku dengan kata setiap kau menerima pesan dariku. Semakin kita dekat, aku yakin rasa itu akan terpikat satu sama lain. Jika niatmu benar-benar sudah mantap, datangi aku bersama keluargamu dan meminta izin restu dulu ke abah" Syifa membalas dengan tegas. Rupanya laki-laki itu setuju dengan pendapat Syifa. Mendengar pernyataan itu Syifa tak perlu membalasnya balik.

Seminggu setelah pertemuan Syifa dengan laki-laki misterius. Syifa terkejut melihat kedua orangtuanya datang dengan tiba-tiba. Bahkan pertanyaan Syifa hanya dibalas senyum dengan bapaknya. Bukan seperti biasanya, diamana kedua orangtuanya datang menghampirinya. 

Tapi, kali ini bapak dan ibunya memilih untuk sowan ke abah tanpa mengajak Syifa. Tak lama kemudian Syifa dipanggil mbk Lena untuk menemui Abah. Di dalam sudah terdapat abah, umi serta kedua orang tua Syifa dan pembatas kain yang di belakangnya terdapat seseorang yang tak ia kenali, hanya terlihat bayangannya.

"Di sini abah akan melamarmu nak, dengan putra abah yang pertama. Beberapa hari yang lalu yang menghubungimu itu adalah Haikal. Sebelumnya Haikal belum pernah melihatmu, hanya saja sepulang dari Mesir abah menjodohkanmu dengan Haikal. Dan kemarin lamaran abah diterima oleh bapakmu" jelas abah dengan detail. 

Syifa benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Seorang kyai besar melamarnya untuk seorang putranya yang memiliki kelebihan luar bisa, mahir Alquran serta Kitabnya, ditambah berpendidikan di Mesir.

Air mata Syifa menetes bahagia begitupun dengan kedua orangtuannya. Sebuah anugerah terbesar dari Allah. Mungkin ini hasil dari perjuangan Syifa yang senantiasa dijalan Allah. Bahkan ia mendapatkan jodoh yang begitu mulia.

Selesai

Cerpen Karangan: Weny Rachmasari
Blog / Facebook: Weny Rachmasari / Weny Rachma
Nama Weny Rachmasi. Alamat Sengonwetan, Kradenan, Grobogan. Melanjutkan perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Agama Islam Pandanaran. 

Cerpen Kenali Aku merupakan cerita pendek karangan Weny Rachmasari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun