Judul               : Al-Masih Putra Sang Perawan
Pengarang         : Tasaro GK
Cetakan pertama  : September 2020
Jumlah halama    : 448 halaman
Penerbit           : Bentang Pustaka
Novel ini mengangkat kisah Gesu, seorang pendeta Katolik dari Italia yang berlayar ke Batavia Nusantara pada abad 17 M untuk menemukan relik suci gereja yang telah dicuri. Pada masa ini, Nusantara dikuasai oleh VOC, Agama Katolik merupakan paham terlarang sehingga Protestanlah yang berkuasa. Dengan statusnya yang demikian, ia menerima pengakuan dosa dari masyarakat yang ingin bertobat secara sembunyi-sembunyi. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan terbunuhnya seorang Pastor senior yang menyertainya menuntaskan misi.
Masih di Nusantara, hanya berjarak beberapa tempat dari lokasi Gesu. Sathi bersama kedua adiknya Mletik dan Byoma mencari nafkah dengan menyanyikan tembang dan memainkan alat musik. Mereka tinggal berpindah-pindah di atas gerobak yang ditarik kerbau. Kehidupan yang keras agaknya telah dilalui 3 bersaudara itu. Tetapi keimanannya pada tuhan yang satu tidak pernah kurang maupun pudar barang sedikitpun. Karena setiap harinya, sang kakak Sathi selalu menceritakan kisah-kisah islami kepada kedua adiknya untuk menanamkan jiwa keislaman agar tidak tergerus zaman.
Pertemuan Gesu dan Sathi merupakan hal yang tidak disangka. Gadis cantik bermata biru ini telah memunculkan rasa simpati di dalam diri Gesu. Niat utama Gesu adalah  menuntaskan misi. Mencari relik gereja suci. Tetapi, Gesu malah terseret arus, terbawa masuk ke dalam kehidupan Sathi dan adik-adiknya yang rumit hingga tugas utamanya terbengkalai. Menjadi orang baik tak selalu menghantarkan  kita pada orang baik. Itulah yang dialami sathi. Ia dan adiknya tercerai-berai akibat salah memilih pergaulan. Sathi dijual sebagai budak, Byoma dibawa ke panti asuhan dan dibaptis, sedangkan Mletik tinggal bersama seorang tabib tionghoa yang baik hati dan menyayanginya. Hanya Gesu satu-satunya harapan mereka agar dapat kembali bersama.
Membaca sinopsis diatas mungkin banyak dari pembaca yang bertanya-tanya. Dimana kisah Al-Masih atau Jesus dimunculkan sedangkan tokoh utama kita adalah orang yang hidup di zaman Belanda. Jawabannya adalah keimanan mereka. Yapp, latar belakang agama keduanya yang berbeda, Gesu si pendeta yang sering bercerita tentang kehidupan Jesus kepada jamaahnya dan Sathi seorang Muslim yang taat selalu bercerita tentang keluarga Imran dan Al-Masih kepada kedua adiknya. Jadi, penceritaan kisah Al-Masih di novel ini muncul ketika keduanya mulai buka suara tentang keyakinannya. Hal yang tentu saja berbeda dari penulis kebanyakan.
Kebanyakan dari penulis sejarah menuliskannya ke dalam bentuk ilmiah. Hal yang kurang menarik minat pembaca muda tentunya. Buku-buku sejarah biasanya tebal, memakai bahasa baku, dan runtut. Ciri-ciri dari buku yang membosankan bagi sebagaian orang. Ketiga hal ini dapat ditaklukan oleh novel ini. Alur yang maju mundur, dibumbui tokoh fiksi dari abad ke-17 tanpa mengubah kisah asli dari Al-Masih, dan menggunakan bahasa melayu lama. Pembawaan yang menarik dan alur cerita yang selalu membuat kita bertanya-tanya akan kelanjutan kisahnya. Novel ini sukses menarik minat saya sebagaibpembaca muda. Kebanyakan dari generasi muda zaman ini mengaku menyukai sejarah. Tapi tidak banyak dari mereka yang mengetahui sejarah suatu bangsa ataupun nabi melainkan yang mereka dapat dari orang tuanya. Pengetahuan mereka sangat awam. Memprihatinkan. Hal ini juga dilatarbelakangi dengan kurangnya sumber bacaan yang menarik minat pembaca muda. Maka benarlah perkataan Ahmad Mansur Suryanegara bahwasannya sejarah perlu ditulis ulang oleh setiap generasi untuk menyesuaikan zaman. Agar kisah-kisah terdahulu tidak hanya menjadi dongeng pengantar tidur oleh orang tua mereka, generasi muda perlu membaca sendiri kisah-kisah tersebut. Memahaminya  melampaui pemahaman orang tua mereka. Kemudian perlu menuliskannya lagi untuk generasi setelahnya. Â
Novel ini tidak hanya menceritakan kisah kelahiran Kristus. Tetapi juga mengangkat kisah ibunya. Perawan Suci Maria. Bagaimana kedua orang tua Maria sangat menginginkan seorang buah hati tapi tak kunjung dikaruniai. Bagaimana cacian dan hinaan orang-orang saat orang tuanya menyerahkannya ke Bait Suci. Bagaimana Ia didatangi malaikat saat diberitahu bahwa ia akan melahirkan seorang putra tanpa ayah. Semuanya dikisahkan dengan memukau.  Novel setebal 448 halaman ini mangambil sudut pandang dari 3 agama. Islam, Kristen, dan Yahudi. Bersumberkan kitab suci ketiga agama menjadikan novel ini dapat dipecaya kisahnya. 3 agama yang menjadikan Isa Al-Masih sebagai tokoh penting dalam kehidupan beragama mereka. 3 perspektif yang dipilih penulis bukan untuk membandingkan mana yang benar dan lebih terpercaya dengan mengkerdilkan yang lainnya. Novel ini ditulis untuk menyegarkan ingatan kita akan kisah yang mulai terlupa akibat banyaknya kisah yang lebih menarik. Sang Mesiah yang lahir ribuan tahun lalu dari rahim seorang perempuan suci. Kisahnya ribuan kali diceritakan ulang. Tetapi generasi kini mengenalnya tak lebih baik dari pendahulunya. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari  pentingnya kisah ini.
Novel ini ditulis untuk mengajarkan pembaca pentingnya toleransi antar agama. Karena tanpa adanya toleransi, kita tak lebih dari kumpulan masyarakat yang tidak memiliki etika . Konflik akan bermunculan tanpa adanya jalan tengah. Karena itulah toleransi sangat diperlukan. Sebagaimana pesan kecil dari Tasaro GK di halaman depan novel ini, "Memahami lalu bertoleransi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H