Usia 25 tahun kata orang memang usia yang istimewa. Karena di usia tersebut seseorang bisa dikatakan memasuki fase dewasa, dan meninggalkan fase usia remaja dan kanak-kanak yang terlah dilewati sebelumnya. Mau tidak mau tuntutan dalam hal mental dan ke”dewasa”an yang sebenarnya diharapkan mulai ditunjukkan oleh seseorang yang telah menginjak usia matang tersebut. Perubahan terutama dalam perkembangan psikologis inilah yang tidak setiap dari kita mampu memaksimalkannya. Dan ini mengingatkan saya pada prinsip umum yang mungkin sering Anda dengar pula bahwa “kedewasaan” seseorang bukan tergantung dari berapa usianya.
Perubahan pasti akan kita rasakan dan hal tersebut tidak akan pernah dapat kita hindari.Masing-masing dari kita pasti bisa menyadari banyak hal yang berubah dari diri kita ketika kita masih kanak-kanak hingga kita menapaki masa dewasa saat ini. Dan bagi saya, bagaimana menyikapi sebuah perubahan yang terjadi diluar kehendak kita atau bahkan terkadang perubahan yang “terpaksa kita ciptakan” sendiri dalam kehidupan kitalah yang pada akhirnya akan menempa kedewasaan seseorang.
Sebuah keputusan besar mungkin memang telah saya buat di usia 25 dan perubahan besar memang saya alami saat ini. Tepat di usia 25 tahun saya membuat keputusan untuk resign dari tempat kerja saya. Dan keputusan ini berimbas pula pada aspek kehidupan saya lainnya, bahkan orang-orang disekitar saya. Berawal dari keputusan saya untuk menjajaki keseriusan komitmen saya untuk masa depan bersama pasangan, yang menjadi pertimbangan saya untuk pamit dari salah satu Sekolah Katolik si Surabaya. Padahal di sekolah tersebut banyak hal saya dapatkan, terutama dalam pengembangan skill dan pengetahuan untuk mejadi seorang pendidik bagi generasi muda. Dan selama tiga tahun tersebutlah saya memantapkan panggilan saya sebagai seorang pendidik. Layaknya orang yang susah payah untuk melupakan cinta pertamanya, sama susahnya pula bagi saya harus meninggalkan semua kenangan suka duka di tempat kerja saya yang pertama ini.
Banyak reaksi yang datang dari orang-orang disekitar saya, ada yang pro dan kontra dengan keputusan saya. Bahkan di awal-awal kedua orang tua saya sempat meragukan rencana saya, dan yang paling menolak adalah kakek saya yang dulunya memang pensiunan guru dari sekolah tersebut. Pertimbangan image dari sekolah tempat saya mengajar dulu, dimana merupakan sekolah unggulan di Surabaya dan bagaimana saya sudah merintis karir di sekolah tersebut, dan berbagai pertimbangan lain yang banyak diutarakan oleh orang-orang yang kontra dengan keputusan saya ini, dan jujur beberapa kali sempat menggoyangkan keputusan saya. Pada intinya adalah mereka sangat menyayangkan kenyamanan yang mereka lihat dalam diri saya ketika bekerja di institusi tersebut.
Bahkan tidak berhenti sampai disitu, ketika saya telah resmi pamit (3 bulan sebelum surat kontak habis.red), respon berbagai teman sejawat yang kaget akan keputusan saya ini sempat membuat saya ragu pula, apakah saya telah mengambil keputusan yang benar. Dan pada akhirnya saya terbayang hal-hal negatif yang akan terjadi. Dan ketika sampai di hari pisah kenal dengan guru-guru yang purna tugas, saya hanya bisa berdoa dalam hati semoga keputusan yang saya ambil sesuai dengan kehendak Tuhan dan menjadi yang terbaik bagi saya.
Selain tempat kerja yang baru, lingkungan tempat tinggal pun pada akhirnya harus menyesuaikan. Sehingga mau tidak mau, saya harus meninggalkan kos yang telah saya tempati selama 7 tahun, terhitung sejak saya awal di Surabaya untuk menuntut ilmu. Bukan suatu hal yang mudah lagi yang harus saya lakukan. Orang-orang yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri, mau tidak mau harus mengucapkan salam perpisahan dengan mereka. Lingkungan sekitar yang sudah saya kenal betul (terutama daerah kuliner hehehe) pun juga harus saya tinggalkan dan berganti dengan orang dan lingkungan yang asing bagi saya.
Saat ini saya telah menjalani kurang lebih dua bulan di sekolah yang baru. Memang banyak perbedaan yang terjadi. Saya harus “memaksa” diri untuk bisa beradaptasi dengan sekolah baru, terutama dengan karakter para siswa yang menjadi teman dalam karya saya kedepannya yang memang berbeda dengan sekolah sebelumnya.
Saya tahu bahwa setiap keputusan pasti ada konsekuensi yang harus kita jalani. Namun satu hal di sini yang saya sadari dan ingin saya bagikan adalah terkadang perubahan yang terjadi dalam hidup kita akan memaksa diri kita untuk meninggalkan yang namanya comfort zone. Mungkin pernah kita dengar cerita dari orang-orang disekitar kita orang yang dulunya mempunyai kondisi ekonomi yang baik, tiba-tiba usahanya bangkrut dan terganjal hutang akhirnya hidup kekurangan dimana dia mau tidak mau harus meninggalkan kebiasaan lama hidup mewah dan hidup miskin.
Dan yang kedua adalah, ketika kita mengalami stagnan dan saat itu kita ingin berkembang maka kita harus berani meninggalkan zona nyaman yang telah kita rasakan. Dan ini berarti kenyamanan yang kita rasakan, tidak akan selalu baik untuk diri kita. Weww…. saat pertama saya membaca pertama kali pernyataan tersebut, saya hanya menganggap angin lalu saja, karena pernyataan yang terakhir ini sangat sulit dilakukan, karena kita hidup apalagi kalau bukan mencari sebuah “kenyamanan” dalam hidup.
Ada sebuah cerita fabel yang pernah saya dengar ketika zaman kuliah. Dalam seminar tersebut salah seorang narasumber menceritakan ada seeokor anak elang yang dipelihara oleh induk ayam, dan suatu hari dia terkagum-kagum oleh seekor elang yang bisa terbang tinggi di angkasa. Ketika dia bertanya pada induk yang merawatnya apakah dia bisa belajar terbang seperti elang, induknya berkata apa yang dia cari lagi karena dia sudah memiliki segalanya saat ini. Dengan pertimbangan induknya dimana dia sudah mempunyai keluarga induk ayam yang sangat baik, sangkar yang hangat dengan makanan yang cukup tersedia yang membuat anak elang tersebut mengurungkan niatnya untuk belajar terbang seperti elang dan akhirnya si anak elang ini tidak akan pernah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya sebagai seekor elang.
Dan ketika masa masa berat meninggalkan teman lama dan tempat lama, saya kembali teringat cerita tersebut, dan baru menyadari terkadang perubahan itu harus tercipta untuk membuat diri kita bisa lebih berkembang, dan berkembang lagi, dan saya baru menyadari kebenaran dari kedua pernyataan sebelumnya. Dan memang benar ketika kita dihadapkan pada situasi, dimana kita harus meninggalkan zona nyaman yang telah kita rasakan, sebenarnya disitulah ada harapan untuk kita bisa lebih berkembang dan berkembang lagi.
Namun tergantung dan kembali pada diri kita masing-masing bagaimana menyikapi perubahan yang ada, baik itu perubahan yang sebenarnya tidak ingin kita alami atau perubahan yang sengaja kita ciptakan. Apakah kita menjadi seekor anak elang tadi yang enggan membuat perubahan padahal ada kesempatan yang lebih baik, atau pilihan selanjutnya mau mengambil kesempatan keluar dari kenangan lama dan mengukir kenangan baru dengan “prestasi diri” yang jauh lebih baik daripada yang sebelumnya.
Sejauh kita merasa tidak berkembang dari hari ke hari, tidak ada salahnya untuk kita benar-benar mengambil kesempatan belajar terbang seperti keinginan anak elang dalam cerita di atas. Itulah yang saat ini terus menerus saya coba tanamkan dalam diri saya. Saya berharap dengan keputusan saya ini pada akhirnya benar-benar bisa membuat diri saya lebih baik dan berkembang lagi, terutama semakin baik dalam peran saya sebagai seorang pendamping bagi anak didik saya. Lalu bagaimana dengan Anda? Kedewasaan kita teruji disini….Tuhan Memberkati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H