Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Iching, Kucingku Sahabatku

13 November 2021   01:56 Diperbarui: 13 November 2021   02:07 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Dido kucingku mati (lihat pada cerita  sebelumnya https://www.kompasiana.com/wennyirawahyuni/618d59218c48255b3d1b9342/dido-tetap-dihati-mommy ), hampir setengah tahun aku tidak memelihara kucing. Aku telah mengikhlaskan kematian Dido, tetapi aku berangan-angan ingin memiliki kucing dengan warna bulu yang sama seperti Dido.  Tentu saja pada kenyataannya angan-anganku sulit diwujudkan. Ada beberapa kucing dengan warna bulu yang hampir mendekati warna bulu Dido, namun hatiku mengatakan tidak untuk mengadopsinya. 

Sampai pada suatu hari ketika aku tak lagi ingin memikirkan kucing untuk dipelihara, selain karena  belum menemukan yang tepat, juga karena aku takut kehilangan lagi, datang lah temanku menawarkan seekor anak kucing jantan berbulu coklat keemasan agak oranye yang ditemukannya di jalan. Usianya diperkirakan sekitar tiga bulan. Ia mengatakan kepadaku bahwa jika kucing tersebut tidak menemukan orang untuk mengadopsinya dalam beberapa hari, maka ayahnya akan membuangnya. Ia tak mau hal itu terjadi, maka ia menawarkan kepadaku untuk mengadopsi kucing tersebut.

Aku bersedia menerima tawarannya. Apalagi ketika kulihat kucing itu masih kecil, lucu dan tampan saat pertama kali aku diajak oleh temanku untuk melihatnya. Aku pun membawanya ke rumahku. Aku beri nama ia Iching. 

Tiga hari kuadopsi, Iching mengalami diare berdarah karena aku salah memberinya makan. Saat itu aku hanya mengenal satu merek makanan kering untuk kucing. Ternyata merek makanan kering yang banyak diiklankan di televisi itu tidak bagus bagi kucing, terutama yang pencernaannya sensitif. Aku pun membawa Iching berobat ke dokter hewan, ditemani oleh temanku yang menawarkan Iching kepadaku itu.

Setelah disuntik, Iching tertidur pulas dalam gendongan temanku. Namun di tengah perjalanan ia sempat mencret dan mengotori baju temanku. Sampai rumahku ia membersihkan pakaiannya dan aku membeli ikan untuk aku rebus, sebab dokter menyarankan untuk memberi makan Iching ikan rebus saja. 

Iching lahap memakan ikan yang aku rebuskan untuknya pertama kali. Sejak saat itu aku bertekad hanya memberikannya makanan basah saja. Tetapi setelah  dua bulan lamanya bersamaku, Iching mengalami demam dan diare.  Pernah dalam sebulan ia sakit demam dan diare sebanyak tiga kali, selama itu pula aku bolak-balik ke dokter mengobatinya. Aku cemas kehilangan lagi seperti kehilangan Dido.

Badan Iching pun sudah kurus dan bulunya kusam. Ia tak lincah.  Aku menyerah di bulan ke tiga mengadopsinya. Namun pada suatu hari ketika aku hendak berangkat kerja, aku berpamitan kepada Iching lewat jendela rumah yang akan kututup. Iching pun merespon pamitanku dengan matanya yang jenaka, dan ia mendekat ke jendela rumah berusaha berdiri serta memain-mainkan tangannya bersamaku.  Melihat momen ini, aku seperti memiliki harapan bahwa Iching bakal lama hidup bersamaku. 

Rutinitas berpamitan dengan Iching di jendela  setiap hendak berangkat kerja menjadi kebiasaanku. Setiap aku pulang kerja pun ia menungguku di balik pintu dan menyambutku dengan tingkah dan tatapan matanya yang jenaka. Aku pun jatuh cinta pada Iching. Kali ini aku tak membahasakan diriku sebagai mommy kepadanya. Aku tak mau menganggapnya seperti anakku karena trauma dengan kehilangan Dido. Aku menganggap Iching seperti temanku.

Bulan ke-empat, Iching yang masih terus sakit-sakitan membuatku lelah. Seorang dokter menyarankan padaku untuk mengganti makanannya ke merek makanan yang lebih berkualitas. Aku mengikuti saran dokter tersebut. Tetapi Iching menolaknya. Ia berusaha mencari ikan rebus yang biasa kuberi untuknya. Aku kesal. Aku singkirkan semua obat-obatannya dan ikan rebus yang sempat kuberikan untuk kucampur bersama makanan barunya. Kukatakan pada Iching bahwa jika ia tak menurut padaku, maka lebih baik ia kubuang dan hidup di luar, aku sudah sangat lelah mengupayakan ia sembuh. Iching menatap mataku. Aku tak peduli. Aku mengusir Iching dengan meletakkannya di luar pintu rumah, padahal hujan sedang turun.

Aku marah dan kesal. Selama satu jam aku tak membukakan pintu untuk Iching. Kudengar lamat-lamat ia mengeong. Aku membukakan pintu untuknya karena tak tega. Ia pun masuk dan segera menuju piring makannya untuk minta makan. Aku memberinya makanan dengan merek baru. Ajaibnya ia langsung memakan makanan itu. Ia makan sambil sesekali menatapku, seolah bilang bahwa ia minta maaf dan mau menurut padaku.

Sejak saat itu Iching jarang sakit. Ia tumbuh subur dan menggemaskan. Tetapi kaki kanannya agak sedikit lumpuh dan susah untuk dibawa berjalan cepat atau berlari. Barangkali karena serangan demam dan diare yang terlalu sering ia alami dahulu. 

Bulan ke enam ia hidup bersamaku, Iching sempat hilang selama seminggu. Ketika itu ia mengikutiku ke warung, tapi ia memilih  berhenti di suatu tempat yang tak jauh dari warung. Aku membiarkannya, karena biasanya ia akan menyusulku atau menungguku tak jauh dair warung. Kali ini lain, ia tak menyusulku sampai aku selesai berbelanja, dan ia tak kudapati ditempatnya biasa menungguku. Aku pikir ia telah pulang ke rumah. Di rumah pun ia tak kutemui. Aku masih santai, kupikir mungkin saatnya ia bermain mengenal lingkungan sekitar. Sialnya sampai malam ia tak kunjung pulang dan kutemukan meskipun aku mencari kesana-kemari. Dua hari aku mengupayakan pencariannya. 

Aku menangis dan sedih. Aku merasa kecewa karena kehilangan kucing yang ke dua kalinya dalam jarak yang begitu cepat. hari ke-lima aku kehilangan Iching, sahabatku menawarkan kucingnya sebagai pengganti Iching. Kucing yang ditawarkannya itu berbulu hitam putih. Aku menerima tawarannya karena kesepian, walaupun usia kucingnya masih dua bulan.

Seminggu sudah Iching hilang. Ajaibnya di hari ke- delapan ia hilang, Iching pulang ke rumah pada pagi hari. Ia menerobos pagar rumah dan langsung lari ke rumah menuju piring makannya. Ia mengendus-ngendus seluruh isi rumah seperti habis dari tempat yang jauh dan baru mengenali kembali rumah tempat tinggalnya.

Badan Iching saat pulang agak kurus. Matanya seperti trauma. Ia agak susah untuk digendong, padahal biasanya ia suka digendong. Seringnya ia menggeram jika didekati. Syukurnya rasa trauma Iching tak begitu lama. Ia pun cepat akrab dengan kucing  yang baru kuadopsi. Ia cenderung menjadi pengasuh kucing kecil yang kuberi nama Eki.

Iching dan Eki pun tumbuh bersama sebagai dua kucing jantan yang kemana-mana dan beraktifitas apapun berdua. Jika yang satu sakit, maka yang satunya juga akan sakit. Keduanya akan sembuh bersamaan. Badan mereka pun semakin subur dan menggemaskan. Tingkah polah keduanya begitu aktif. Aku merasa terhibur dengan kehadiran mereka berdua.

Musim birahi pun tiba bagi mereka.  Seringnya mereka bermain mengunjungi rumah kucing betina di sekitar rumah. Keduanya mulai pulang malam atau subuh untuk minta dibukakan pintu, makan lalu tidur dan sore harinya atau siangnya bermain di luar lagi.

Sayangnya tepat setahun aku memelihara Iching, pada suatu sore ia keluar rumah untuk tidak kembali selamanya. Aku telah menunggunya minta dibukakan pintu ketika tengah malam atau subuh, namun nihil. Pagi harinya  hingga seterusnya ia tak muncul lagi di rumah. Tinggal Eki yang di rumah.

Kali ini aku sedih, namun tidak sesedih kehilangan Dido. Aku menangis ketika memanggil-manggil nama Iching agar pulang. Namun ketika aku lelah dan berpikir bahwa ia takkan pulang, aku ikhlas.

Malam sebelum Iching pergi menghilang untuk selamanya, aku bermimpi melihatnya di sebuah persimpangan jalan dan ia berdiri di tengahnya. Tubuhnya bercahaya dan ia menatapku lembut. Aku memanggilnya untuk pulang namun ia menghilang.

Begitu lah, Iching menghilang secara misterius. Kehilangan hewan peliharaan kali ini aku lebih tabah dan menerima. Barangkali sudah takdirku berpisah dengannya. 

Aku sempat ingin mencari kucing dengan warna bulu yang sama seperti Iching untuk kuadopsi.  Tetapi kali ini aku berpikir bahwa aku harus membuka diriku untuk kemungkinan kucing dengan warna bulu apapun menjadi hewan peliharaanku. Ini kulakukan agar aku benar-benar ikhlas menerima kepergiannya.

Memang setelah aku membuka diriku, beberapa kucing dengan warna bulu yang tak pernah kubayangkan akan kupelihara, akhirnya menjadi hewan peliharaanku dan mengobati kesedihanku, sekaligus mengobati kecemasanku takut kehilangan hewan peliharaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun