Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dido Tetap di Hati Mommy

12 November 2021   00:55 Diperbarui: 12 November 2021   01:00 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah perjalanan menuju klinik, Dido sempat muntah dan gemetar. Aku menangis sambil menggendongnya. Sesampainya di klinik, Dido disuntik dan diberi obat. Pada perjalanan pulang, Dido tertidur. Namun sempat beberapa kali diare. Tiba di rumah, Dido tidak tidur. Ia minta bermain bersamaku, seolah ia sehat. Namun disela-sela ia bermain, kadang ia menjerit karena merasakan sakit perut jika akan mengeluarkan diarenya. 

Aku menjaganya hingga pagi. Dido sempat muntah dua kali.  Tak terhitung aku menginfusnya dan memberikan oralit. Setelah subuh, Dido tertidur nyenyak. Menjelang siang, ia terbangun dan ingin bermain lari-lari. Aku melarangnya. Ia kugendong  terbungkus selimut kesayangannya jalan-jalan di sekitar rumah. Tubuhnya mengigil dingin. Seorang temanku di shelter  sempat menjenguknya dan memberikan semangat pada Dido. 

Tetapi pada malam harinya, diare Dido makin parah. Kotoran diarenya sangat bening sekali bercampur darah. Ketika diarenya berhenti, ia muntah-muntah hebat dan tubunya mengigil. Aku mengupayakan menelpon dokter untuk memberi tindakan pertolongan apa yang tepat baginya. Dido sempat ganti obat ketika diarenya berhenti. Namun ia masih menjerit-jerit dan kulihat perutnya kembang-kempis menahan sakit.

Aku sedih melihatnya, sebab ia gulung-gulung ke- sana dan kemari seperti minta pertolongan, tapi digendong tak mau. AKu hanya bisa mendekapnya dan mengelus kepalanya. Kulihat mulutnya sudah meruncing, pupil matanya sudah mengecil ketika aku berupaya menginfusnya untuk terakhir kali. AKu takut kehilangan Dido, seperti ketakutanku kehilangan anak. Aku berdoa memohon mukjizat kepada Tuhan. Apa dikata, ketika suara mengaji di masjid terdengar, Dido menatapku untuk terakhir kalinya dan tubuhnya menggelepar dipangkuanku meregang nyawa. Akhirnya Dido pergi melepas penderitaannya.

Aku menangis sedih.  Tak menyangka akan kehilangan Dido. Aku merasa seperti kehilangan anakku sendiri. Berat rasanya dan terlalu pedih. Aku melihat tubuhnya yang telah kaku di kotak kardus. Adzan subuh mengingatkanku akan kebiasaannya membangunkanku. Aku tergugu kelu. Apalagi ketika kulihat mainannya tergeletak. Aku ambil mainan itu dan kudekati jasadnya. 

"Dido, main sama mommy nak. Bangun nak," ratapku. Jelas saja ia takkan pernah bangun lagi.

Aku menangis dan ke kamar. Aku tertidur dalam keadaan yang amat sedih. Sayup aku mendengar suara Dido mengeong memanggilku. Aku terbangun dan melihat kotak kardus itu lagi. Aku masih berpikir bahwa Dido akan bangun. Kutunggu lama, namun Dido takkan pernah bangun lagi. AKu menangis hingga pagi. Setelah kutelpon, seorang teman shelter datang untuk mengurus jasadnya. 

Aku tak pernah merasa kehilangan hewan sedalam ini bagai kehilangan anak. Dua bulan aku masih bersedih. Apalagi jika melihat obat-obatan dan mainannya. Maka kuputuskan untuk membuang obat-obatannya dan memberikan mainannya pada orang lain yang mempunyai kucing. Setelahnya aku mencari kesibukan di luar rumah bersama banyak teman komunitas. Perlahan akhirnya kesedihanku memudar karena kegiatan di luar rumah itu menguras waktu dan tenagaku. 

Aku sempat berpikir bahwa untuk mengobati rasa rinduku pada Dido, aku harus mencari kucing yang berwarna bulu sama seperti Dido. Tetapi pada kenyataannya kemudian, kucing-kucing dengan warna bulu yang berbeda lah yang mengobati kesedihanku. Pesanku, jangan mencari kucing dengan karakter dan warna yang sama, buka lah untuk kemungkinan kucing yang berbeda. Itu akan menyembuhkan kesedihanmu dan memberi cerita serta semangat yang berbeda.

Dido, meskipun kamu sudah di surga, kamu tetap spesial di hati mommy nak sampai sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun