Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dido Tetap di Hati Mommy

12 November 2021   00:55 Diperbarui: 12 November 2021   01:00 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dido kucing yang ku-rescue  dekat area pasar tradisional di Kota Jambi. Saat itu tubuh mungilnya yang diperkirakan baru berusia  dua bulan kurang tengah hilir mudik di antara kendaraan bermotor yang terparkir. Ia menjerit-jerit dan aku tak tega mendengar suara jeritannya. Kulihat kucing mungil ini cakep, gendut dan bersih. Sepertinya baru dibuang. Aku pun memasukkannya ke tasku dan membawanya pulang. 

Rencanaku, ia akan kutaruh di shelter kucing di dekat rumahku. Kebetulan aku juga menjadi salah satu pengurusnya.  Tetapi shelter saat itu sedang berjibaku dengan endemi virus yang menyerang puluhan kucing.  Kita semua pengurusnya sibuk mengurus kucing yang sakit, dan yang mati setiap hari. Akhirnya Dido kuputuskan untuk kurawat sendiri di rumah.

 Selama beberapa hari Dido bersamaku, sempat beberapa kucing shelter yang masih sehat dititipkan di rumah.  Dido tak tahan untuk bermain bersama mereka. Meskipun kularang karena takut kemungkinan tertular virus, Dido tetap bersikeras ingin bermain dan bergabung. Dido kukurung di kamar pribadiku, namun jika pintu kamarku sedikit terbuka, ia akan secepat kilat berlari keluar dan bermain bersama kucing-kucing itu. 

Pada akhirnya beberapa kucing shelter  yang dititipkan di rumahku mati satu persatu karena virus menggerogoti tubuh mereka. Sebagian yang masih dalam pengawasan kesehatannya sudah ditarik, ditempatkan kembali di shelter. Tinggal lah Dido bersamaku.

Ia kucing kecil yang lucu dan menggemaskan. Ia menemaniku yang hidup sendirian jauh dari keluarga. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Sebagaimana mengurus bayi, selama sebulan aku bersedia bangun malam hanya demi membuatkan susu untuknya. Jika memungkinkan membawanya ikut aku kerja, aku membawa perlengkapan susu dan tidurnya.

Ia bayi kucing yang cepat belajar. Tak butuh lama mengajarinya untuk disiplin membuang kotoran di kotak pasir khususnya. Pun tak butuh waktu lama ia akhirnya dapat makan dan minum sendiri. Kesukaannya adalah ikan gabus dan ikan lele rebus.

Hari-hariku berwarna bersama Dido. Aku dan Dido saling melekatkan diri. Setiap aku pulang dari kantor, ia menungguku di balik pintu. Ketika aku memanggil namanya, ia akan melonjak-lonjak kegirangan. Setiap adzan subuh berkumandang, ia akan membangunkanku dengan cara menjilat-jilat wajahku. Jika aku makan, ia akan menggangguku untuk ikut makan bersama. Lalu setelah sarapan pagi, ia memintaku menggendongnya dan berjalan-jalan di sekitar rumah.  

Seekor kucing yang di-rescue terakhir oleh teman shelter  pernah menjadi teman serumahnya bersamaku. Dido senang sekali mendapat teman saat itu. Namun kucing itu tak bertahan lama, mati juga karena virus.

Dokter yang sering berkunjung ke shelter pernah bilang bahwa kemungkinan Dido tertular virus ada, karena kontak langsung dengan kucing-kucing shelter yang dititipkan di rumahku. Jika Dido tertular virus, maka hidupnya tak lama lagi.

Aku tak begitu menghiraukan perkataan dokter itu. Dido hidup bersamaku selama lima bulan. Selama itu dia belum menunjukkan tanda-tanda sakit terkena virus rongga dada dan perut. Tapi pertumbuhannya seperti terhenti. Tubuhnya tak menunjukkan pertumbuhan yang bagus. Ia tetap mengecil seperti kucing berusia dua bulan setengah.  Teman-teman shelter  memujinya hebat, karena ia satu-satunya kucing yang bertahan dari virus.

 Pada bulan ke-enam, Dido mulai menunjukkan gejala sakit. Mula-mula sakit mata berair. Kadang diare kecil selama dua hari. Demam yang muncul dan sembuh berulang kali, juga jamuran. Sampai pada saat itu di akhir bulan ke-enam ia bersamaku, sepulang kantor aku memanggilnya. Tapi ia menyambutku dengan jeritan. Aku terkejut melihat diarenya berceceran di lantai. Sepertinya ia sakit perut parah. Aku merasakan badannya dingin. Segera aku membawanya ke klinik dokter hewan langganan shelter. 

Di tengah perjalanan menuju klinik, Dido sempat muntah dan gemetar. Aku menangis sambil menggendongnya. Sesampainya di klinik, Dido disuntik dan diberi obat. Pada perjalanan pulang, Dido tertidur. Namun sempat beberapa kali diare. Tiba di rumah, Dido tidak tidur. Ia minta bermain bersamaku, seolah ia sehat. Namun disela-sela ia bermain, kadang ia menjerit karena merasakan sakit perut jika akan mengeluarkan diarenya. 

Aku menjaganya hingga pagi. Dido sempat muntah dua kali.  Tak terhitung aku menginfusnya dan memberikan oralit. Setelah subuh, Dido tertidur nyenyak. Menjelang siang, ia terbangun dan ingin bermain lari-lari. Aku melarangnya. Ia kugendong  terbungkus selimut kesayangannya jalan-jalan di sekitar rumah. Tubuhnya mengigil dingin. Seorang temanku di shelter  sempat menjenguknya dan memberikan semangat pada Dido. 

Tetapi pada malam harinya, diare Dido makin parah. Kotoran diarenya sangat bening sekali bercampur darah. Ketika diarenya berhenti, ia muntah-muntah hebat dan tubunya mengigil. Aku mengupayakan menelpon dokter untuk memberi tindakan pertolongan apa yang tepat baginya. Dido sempat ganti obat ketika diarenya berhenti. Namun ia masih menjerit-jerit dan kulihat perutnya kembang-kempis menahan sakit.

Aku sedih melihatnya, sebab ia gulung-gulung ke- sana dan kemari seperti minta pertolongan, tapi digendong tak mau. AKu hanya bisa mendekapnya dan mengelus kepalanya. Kulihat mulutnya sudah meruncing, pupil matanya sudah mengecil ketika aku berupaya menginfusnya untuk terakhir kali. AKu takut kehilangan Dido, seperti ketakutanku kehilangan anak. Aku berdoa memohon mukjizat kepada Tuhan. Apa dikata, ketika suara mengaji di masjid terdengar, Dido menatapku untuk terakhir kalinya dan tubuhnya menggelepar dipangkuanku meregang nyawa. Akhirnya Dido pergi melepas penderitaannya.

Aku menangis sedih.  Tak menyangka akan kehilangan Dido. Aku merasa seperti kehilangan anakku sendiri. Berat rasanya dan terlalu pedih. Aku melihat tubuhnya yang telah kaku di kotak kardus. Adzan subuh mengingatkanku akan kebiasaannya membangunkanku. Aku tergugu kelu. Apalagi ketika kulihat mainannya tergeletak. Aku ambil mainan itu dan kudekati jasadnya. 

"Dido, main sama mommy nak. Bangun nak," ratapku. Jelas saja ia takkan pernah bangun lagi.

Aku menangis dan ke kamar. Aku tertidur dalam keadaan yang amat sedih. Sayup aku mendengar suara Dido mengeong memanggilku. Aku terbangun dan melihat kotak kardus itu lagi. Aku masih berpikir bahwa Dido akan bangun. Kutunggu lama, namun Dido takkan pernah bangun lagi. AKu menangis hingga pagi. Setelah kutelpon, seorang teman shelter datang untuk mengurus jasadnya. 

Aku tak pernah merasa kehilangan hewan sedalam ini bagai kehilangan anak. Dua bulan aku masih bersedih. Apalagi jika melihat obat-obatan dan mainannya. Maka kuputuskan untuk membuang obat-obatannya dan memberikan mainannya pada orang lain yang mempunyai kucing. Setelahnya aku mencari kesibukan di luar rumah bersama banyak teman komunitas. Perlahan akhirnya kesedihanku memudar karena kegiatan di luar rumah itu menguras waktu dan tenagaku. 

Aku sempat berpikir bahwa untuk mengobati rasa rinduku pada Dido, aku harus mencari kucing yang berwarna bulu sama seperti Dido. Tetapi pada kenyataannya kemudian, kucing-kucing dengan warna bulu yang berbeda lah yang mengobati kesedihanku. Pesanku, jangan mencari kucing dengan karakter dan warna yang sama, buka lah untuk kemungkinan kucing yang berbeda. Itu akan menyembuhkan kesedihanmu dan memberi cerita serta semangat yang berbeda.

Dido, meskipun kamu sudah di surga, kamu tetap spesial di hati mommy nak sampai sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun