Dido kucing yang ku-rescue dekat area pasar tradisional di Kota Jambi. Saat itu tubuh mungilnya yang diperkirakan baru berusia  dua bulan kurang tengah hilir mudik di antara kendaraan bermotor yang terparkir. Ia menjerit-jerit dan aku tak tega mendengar suara jeritannya. Kulihat kucing mungil ini cakep, gendut dan bersih. Sepertinya baru dibuang. Aku pun memasukkannya ke tasku dan membawanya pulang.Â
Rencanaku, ia akan kutaruh di shelter kucing di dekat rumahku. Kebetulan aku juga menjadi salah satu pengurusnya.  Tetapi shelter saat itu sedang berjibaku dengan endemi virus yang menyerang puluhan kucing.  Kita semua pengurusnya sibuk mengurus kucing yang sakit, dan yang mati setiap hari. Akhirnya Dido kuputuskan untuk kurawat sendiri di rumah.
 Selama beberapa hari Dido bersamaku, sempat beberapa kucing shelter yang masih sehat dititipkan di rumah.  Dido tak tahan untuk bermain bersama mereka. Meskipun kularang karena takut kemungkinan tertular virus, Dido tetap bersikeras ingin bermain dan bergabung. Dido kukurung di kamar pribadiku, namun jika pintu kamarku sedikit terbuka, ia akan secepat kilat berlari keluar dan bermain bersama kucing-kucing itu.Â
Pada akhirnya beberapa kucing shelter  yang dititipkan di rumahku mati satu persatu karena virus menggerogoti tubuh mereka. Sebagian yang masih dalam pengawasan kesehatannya sudah ditarik, ditempatkan kembali di shelter. Tinggal lah Dido bersamaku.
Ia kucing kecil yang lucu dan menggemaskan. Ia menemaniku yang hidup sendirian jauh dari keluarga. Aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Sebagaimana mengurus bayi, selama sebulan aku bersedia bangun malam hanya demi membuatkan susu untuknya. Jika memungkinkan membawanya ikut aku kerja, aku membawa perlengkapan susu dan tidurnya.
Ia bayi kucing yang cepat belajar. Tak butuh lama mengajarinya untuk disiplin membuang kotoran di kotak pasir khususnya. Pun tak butuh waktu lama ia akhirnya dapat makan dan minum sendiri. Kesukaannya adalah ikan gabus dan ikan lele rebus.
Hari-hariku berwarna bersama Dido. Aku dan Dido saling melekatkan diri. Setiap aku pulang dari kantor, ia menungguku di balik pintu. Ketika aku memanggil namanya, ia akan melonjak-lonjak kegirangan. Setiap adzan subuh berkumandang, ia akan membangunkanku dengan cara menjilat-jilat wajahku. Jika aku makan, ia akan menggangguku untuk ikut makan bersama. Lalu setelah sarapan pagi, ia memintaku menggendongnya dan berjalan-jalan di sekitar rumah. Â
Seekor kucing yang di-rescue terakhir oleh teman shelter  pernah menjadi teman serumahnya bersamaku. Dido senang sekali mendapat teman saat itu. Namun kucing itu tak bertahan lama, mati juga karena virus.
Dokter yang sering berkunjung ke shelter pernah bilang bahwa kemungkinan Dido tertular virus ada, karena kontak langsung dengan kucing-kucing shelter yang dititipkan di rumahku. Jika Dido tertular virus, maka hidupnya tak lama lagi.
Aku tak begitu menghiraukan perkataan dokter itu. Dido hidup bersamaku selama lima bulan. Selama itu dia belum menunjukkan tanda-tanda sakit terkena virus rongga dada dan perut. Tapi pertumbuhannya seperti terhenti. Tubuhnya tak menunjukkan pertumbuhan yang bagus. Ia tetap mengecil seperti kucing berusia dua bulan setengah.  Teman-teman shelter memujinya hebat, karena ia satu-satunya kucing yang bertahan dari virus.
 Pada bulan ke-enam, Dido mulai menunjukkan gejala sakit. Mula-mula sakit mata berair. Kadang diare kecil selama dua hari. Demam yang muncul dan sembuh berulang kali, juga jamuran. Sampai pada saat itu di akhir bulan ke-enam ia bersamaku, sepulang kantor aku memanggilnya. Tapi ia menyambutku dengan jeritan. Aku terkejut melihat diarenya berceceran di lantai. Sepertinya ia sakit perut parah. Aku merasakan badannya dingin. Segera aku membawanya ke klinik dokter hewan langganan shelter.Â