"Aku perempuan, karena begitulah namaku, perempuan,"
" Aku menghirup bau mulutmu yang tertinggal dibibir cangkir ini. Dan aku cukup mengenali seorang perempuan sebagaimana takdir mereka tercipta dari tulang rusuk lelaki yang bengkok. Engkau perempuan yang harus diluruskan, karena kau terlalu bengkok sebagai perempuan tidak sebagaimana perempuan lainnya."
"Aku perempuan, dan aku terlahir dari rahim manusia, bukan terlahir dari tulang rusuk,"
Tidak ada kutemui kekasaran pada wajahnya sebagaimana lelaki-lelaki bersurban itu sering berkhutbah mengenai perempuan atas nama agama dan Tuhan yang mereka sembah. Wajahnya begitu tenang, damai, dengan tatapan matanya yang menyejukkan, dengan suaranya yang menggetarkan dan lembut. Tetapi begitulah dia berkata-kata kepadaku.
"Mendekatlah pada Tuhan, sebagaimana perempuan harus mendekat padaNYa, sempurnakan keperempuananmu, jika kau benar-benar perempuan. Mendekatlah padanya, dalam tiap lima waktu yang telah ditentukannya, dan sepertiga malam yang dipintanya jika dapat, agar kau menjadi perempuan yang sempurna," begitu kata-kata terakhirnya sebelum sesosok wajahnya menghilang bersama coklat dalam cangkir yang perlahan mulai mendingin dan tak lagi beruap.
Aneh, jika itu dikatakan oleh lelaki yang nyata, aku tentu sangat membencinya. Tetapi, berhari-hari kemudian, sesosok wajahnya yang mengambang didalam secangkir coklatku, dan aromanya yang bercampur uap coklat tertinggal dalam benakku, mengalahkan aroma lelaki yang kukenal selama ini didalam hidupku, ayahku, kakakku, adikku, pamanku, kakekku. Dan itu membuatku tiba-tiba justru dihinggapi rasa rindu yang aneh untuk menemukan kembali sesosok wajahnya didalam tiap secangkir coklat yang kubuat dan berharap uapnya mengepulkan aroma kelelakiannya, atau menangkap dengung suaranya.
Aku betul-betul merindukan momentum pertama menemukannya, dan mendengar kata-katanya. Lalu, aku berusaha menilik kepada diriku, menemukan ciri-ciri perempuan seperti yang dikatakannya. Dan aku menemukan bahwa aku memang telah menjadi perempuan, tetapi aku tidak pernah menghayati arti keperempuananku sebagaimana gagasannya tentang perempuan dikatakannya padaku.
Aku memang telah terbiasa berdoa, berpikir, bertindak sebagai perempuan yang manusia, bukan sebagai perempuan yang tulang rusuk, karena lelaki-lelaki disekitarku tidak pernah berbicara tentang tulang rusuk, mereka selalu mengatakan, bahwa aku adalah manusia yang perempuan, dan mereka adalah lelaki yang manusia.
Aku merindukannya, dan aku membuat secangkir coklat seperti biasanya pada setiap senja diberanda. Berharap dia akan muncul kembali didalam secangkir coklatku. Jika kali ini dia muncul, aku akan mengatakan padanya, bahwa aku telah terbiasa mendekat padaNYA sebagai manusia, dan kini aku sedang belajar menghayati arti seorang perempuan yang diciptakan olehNYA. Aku juga akan mengatakan, bahwa aku telah meresapi kisah Adam dan Hawa, bapak ibu manusia yang mulia, terlempar kebumi, terpisah oleh jarak, ruang dan waktu sekian tahun lamanya untuk kemudian bertemu kembali. Oleh karenanya aku sekarang mengerti, mengapa aku terlahir sebagai perempuan, dan aku siap untuk mengakui seorang imam dalam hidupku sebagai perempuan, karena memang takdirku sebagai perempuan tidak akan sampai pada suatu akhir yang bahagia untuk bertemu kembali dengan rengkuhan tanganNYA jika tidak dibimbing oleh seorang imam.
Tetapi, dia tidak muncul jua hingga coklatku dingin, dan menyisakan kerak-kerak di cangkir. Sementara aku begitu merindukannya.
Pada suatu hari, ketika aku lelah menanti bayangannya muncul kembali dalam secangkir coklatku, tiba-tiba dengung suaranya kutangkap bersama semilir angin senja dan aroma uap coklat yang mengepul panas. Aku mengira bahwa sesosok wajahnya dapat kulihat kembali di dalam secangkir coklatku bersama buih-buih kecil yang mengambang. Namun , aku justru hanya menemui buih yang mengambang. Mengapa ada suaranya, aromanya? dimana wajahnya?