“Mbak, sampean wis budal vaksin? Iki aku lagi arep budal,” tanyaku kepada Mbak Ulva.
“Wis, Mi. Dang budal saiki, mumpung wis sepi,” jawabnya singkat. Lalu ia bertanya, “Wis maem opo durung sampean, Mi?”
“Durung, Mbak. Cuma ngemil thok mau,” ucapku gugup.
“Aku lagi oleh ter-teran, Mi. Maem sek kono! Sakdurunge vaksin kui kudu maem disek,” jawabnya sambil membuka tutup hidangan di atas meja makan.
Rezeki mah jangan ditolak. Sebelum vaksin, saya pun makan dulu di rumah teman, he-he.
Kemudian, saya berangkat ke puskesmas diantar suami naik motor. Padahal jarak rumah dengan puskesmas dekat, teman yang lain pun tidak ada yang dianterin. Namun, saya minta dianterin, biar aman. Atau memang karena saya yang manja, ya? Setiap vaksin selalu minta dianterin mulu, he-he.
Di puskesmas, saya pun masih merasa dredeg. Bahkan tensi darah naik ketika cek kesehatan. Biasanya tidak lebih dari 120/80, kemarin menjadi 131/85.
Berhubung sudah sepi, saya pun minta waktu sebentar sama petugas biar rileks. Mengambil udara dari hidung dan mengeluarkannya lewat mulut adalah cara yang saya lakukan. Selang beberapa menit, akhirnya saya siap divaksin untuk yang kedua kalinya.
Alhamdulillah, efeknya sama seperti dosis pertama. Yaitu, terasa sedikit nyeri di lokasi suntikan, dan hari ini pun masih terasa sedikit nyeri, tapi nggak papa, nggak sakit kok.
Demikian pembaca Kompasiana yang budiman. Semoga berbagi pengalaman melalui tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Bagaimana dengan pengalaman kalian?
Untuk yang belum divaksin, jangan takut, ya. Rasanya beda tipis dengan digigit semut, kok. Lebih sakit ketika ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, hu-hu-hu.