Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nominator Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Puding Es Krim Kacang Almond

21 Agustus 2024   18:22 Diperbarui: 22 Agustus 2024   20:17 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Was-wes-wos, was-wes-wos ...

Kini topik pembicaraan beralih kepada kami.

Dengan ekspresi wajah terkejut total dan diserang canggung---hal yang hampir mustahil ditemukan darinya---pada jarak tiga langkah dari air mancur, dia terhenti, berdiri tegak, dan berbalik badan.

Sekarang semua mata menjadi agen spionase yang lihai dan cerdik. Mereka, oh lihatlah. Kami terkepung! Kini tinggal menunggu detik terakhir. Apa yang mungkin terjadi? Aku membayangkan dia berdiri dengan kukuh dan bertolak pinggang penuh kemarahan, bersiap menumpah semua serapah yang paling mungkin untuk membungkam pikiran dan tatapan orang-orang. Terutama aku. Atau malah jatuh tersungkur melihat tubuhnya terluka "tembak". Aku berharap rumah sakit dekat dengan tempat ini.

Tapi tidak, aku keliru lagi. Dia bersiap mengumpulkan ketegaran. Semua indera manusia di ruang yang terlalu luas ini terkonsentrasi padanya. Pada ruangan yang kepalang luas ini, ketukan langkah itu bahkan seperti gaung yang terpantul-pantul. Beberapa ketukan lagi dia akan berdiri di dekatku. Benarlah perkiraanku. Dia berdiri di situ, arah jam sebelas. Aku menelan ludah. Menyuap sekali lagi.

"Puding?" tawarku menyorong cawan es krim dengan taburan irisan kacang almond dengan mulut tersumpal japchae dan fillet gurami, mendongak menatapnya.

Kursi berselubung kain satin merah hati di samping kiri kutepis-tepis untuknya. Dia mendekat setengah langkah, menatapku. Dengusan itu kentara sekali, tapi dipaksakannya tersenyum.

Dia terus saja tersenyum, menyorongkan badannya ke kursi, dan duduk. Tangan kananku mengangsurkan cawan keramik putih dengan dua skup es krim di atasnya yang kuambil dari kursi sebelah kananku. Sepasang tangan tanpa cincin tersemat itu menyambutnya.

"Aku tidak melihat orang-orang memakan puding dengan taburan kacang almond di sekitar sini. Cukup aneh, menurutku. Apakah ini mantranya?" Telunjuk rampingnya dipermainkannya di udara. Suara ringan dan riang itu mengalir dalam pusaran was-wes-wos yang deras.

Aku meringis. Aku tahu dia akan membahas itu. Seketika percakapan kami berlanjut, seolah-olah orang-orang mengabur dan hanya kami berdua di tempat itu.***[wy]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun