Pesawat telah mengangkasa, sementara kami duduk dan membicarakan segala sesuatu. Tepatnya, sedikit hal. Sangat sedikit, malah. Kami, sekarang ini dalam satu luasan ruang, bersebelahan. Ada banyak bahan untuk diumpankan, tapi tenggorokanku, pita suaraku sedang dibajak luapan perasaan. Dugaan itu, benar.
Sebuah memo tersodor. Tidak banyak yang berubah dari tulisan tangannya. Rupanya dia mengerti benar bahwa kesunyian dalam kabin ini bisa menjelma corong informasi, pengumuman yang cukup 'bising' bagi semua orang.
Hai,
Kertas itu terangsur dengan lugu, membuatku sedikit kikuk untuk mengambil dari jemari tangannya yang kukuh.
Bisa kurasakan senyumnya membujuk agar kuambil helai kelabu itu segera. Tidak berhasil. Aku mematung secara sempurna. Detik telah menjauh tiga tonggak dari titik berangkatnya. Dia menulis lagi.
Apa kabar?
Empat puluh derajat dari garis normal, kepala bergerak. Sebuah tolehan tanggung. Kulirik lembar yang terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, menarik perlahan kertas darinya, mengingat di mana pulpen kuselipkan. Di mana gerangan ia? Ada di suatu tempat, aku mencoba mengingat. Di pelosok paling udik tas tangan. Bukan. Ia ada di sela buku yang baru kutulisi jadwal baru. Agenda.
Dia mengangsurkan pena padaku. Tapi aku keburu menemukan milikku. Tergagap meraihnya.
Sehat. Kau apa kabar? Kupenuhi rongga pernapasanku yang tiba-tiba menyempit, penuh-penuh, satu-satunya pertolongan yang mungkin kulakukan. Apakah kadar oksigen ruang ini sedemikian tipisnya?
Banyak hal telah terjadi. Kau bertambah tenar dan percaya diri, agaknya. Sambungku kemudian. Sebuah awalan yang terlalu panjang.
Tidak membutuhkan banyak waktu, dia menjawab.