img-6046-57e3a165d19273483f907630.jpg
Saya rasa mengunjungi
liveTelaga Warna akan lebih bagus di pagi hari ketika kabut masih turun tipis-tipis di sela-sela pohon dan mengambang di atas permukaan telaga, namun saya tidak menyesali langit cerah ketika saya berkunjung sih. Bau gas belerang tidak setajam Kawah Putih, saya masih bisa bernapas lega tanpa bantuan masker. Suasana sepi, pengunjung sepi, tenang sekali setenang permukaan air telaga. Hanya ada serombongan anak muda di daerah pohon tumbang, sepasang bule di tepi telaga, dan sepasang anak muda lainnya yang sedang
hunting foto. Ada yang baru dari live Telaga Warna yakni sebuah rumah kayu yang terletak sekitar 500 meter dari daerah pohon tumbang. Rumah kayu ini punya jembatan dengan anak tangga ke arah air dalam telaga, bentuknya mirip dermaga. Rasanya tenang sekali duduk-duduk di dermaga sambil menikmati pemandangan telaga dan terasering sawah di seberang telaga.
img-6078-57e3a1971cafbd9410f2388a.jpg
img-6088-57e3a1d9ef9673dc13fb234b.jpg
img-6290-57e3a1c9c3afbd89104a2ffe.jpg
Kawah Sikidang berada dalam satu lokasi dengan kompleks Candi Arjuna dengan harga tiket masuk sekaligus IDR 35.000/orang. Simpan potongan tiket Anda karena tiap tempat
wisata punya pos pengecekan tiket masing-masing. Jika hilang di salah satu tempat, Anda terpaksa membayar kembali harga tiket masuk ke tempat wisata tersebut. Saya tidak berlama-lama di Kawah Sikidang karena baunya yang bikin sesak napas dan kepala sakit. Selain itu panasnya sangat terik dan pemandangan beberapa burung hantu dijemur dan diikat demi alasan mencari uang membuat saya tidak betah.
Kenapa ya, manusia seringkali menyiksa hewan demi kepentingannya sendiri? Mengapa harus ada burung hantu yang diikat pula kakinya, di tengah kawah yang panas dan terik dan terang benderang? Bukannya burung hantu merupakan hewan malam? Jika siang hari mereka dipaksa melayani permintaan foto bersama pengunjung di saat mereka seharusnya tidur, malam mereka memang bangun untuk berburu makanan, lantas kapan hewan ini bisa tidur? Sungguh saya tidak mengerti mengapa manusia bisa hanya memikirkan diri sendiri meskipun burung hantu itu hanya hewan! Seekor kuda putih juga ditambatkan di sana demi kepentingan foto keren dan eksis orang-orang, saya tidak melihat ada rumput atau air minum untuk kuda tersebut. Kudanya kurus, jauh lebih terawatt kuda-kuda di Bromo dan di kompleks Candi Arjuna. Sedih sekali saya melihatnya. Hamparan motor-motor trail berjejer tidak jauh dari kawah untuk disewa pengunjung yang ingin sekedar bermain atau hanya ingin berfoto. Pasar kaget memenuhi jalan menuju kawah.
img-6089-57e3a1ec147b61de2b40c014.jpg
Salah satu candi di kompleks Candi Arjuna sedang mengalami perbaikan ketika saya datang. Di sinipun pengunjung tidak seramai di teater Telaga Warna karena antrian berfoto di depan candi tidak selama di teater. Suasana di kompleks candi ini adem dan enak buat duduk-duduk sambil mengopi. Ingat, jangan buang gelas kopi di sembarang tempat ya! Banyak badut lucu-lucu jika kalian membawa anak dan ingin berfoto lucu-lucuan. Dari Minnie Mouse, barongsai, sampai gatot kaca dan hanoman ada semua hehe.. mau berfoto dengan kuda juga bisa. Kuda di sini tampak lebih bahagia, merumput puas dan gemuk-gemuk. Salah satu candi di kompleks ini namanya Candi Setiaki merupakan
spot yang bagus jika ada yang ingin mengabadikan
the milky way, namun jamnya hanya ada dari jam 10 malam sampai jam 2 pagi. Suami dan saya tidak sempat melihat
milky way dari sini karena sekitar jam segitu lagi-lagi langit mendung!
img-6094-57e3a206f97a61c615d3dbb1.jpg
img-6102-57e3a218f97a619916d3dbaa.jpg
Perjalanan saya ke Dieng ditutup dengan trekking di Gunung Prau dengan ketinggian 2565 mdpl. Dari sehari sebelumnya saya sudah doa kencang-kencang supaya hujan terakhir yang turun adalah sore hari sebelum pagi pendakian saya. Puji Tuhan, cuaca bagus dan hujan tidak turun sama sekali dari sore sampai saya turun kembali! Rute pendakian Gunung Prau bisa melalui jalur Dieng yang lebih panjang (hampir 6 km sekali jalan) namun lebih landai dan bersahabat selain itu juga melalui puncak gunung, dan melalui jalur yang sudah sangat terkenal : Patak Banteng. Jalur Patak Banteng lebih singkat mungkin hanya sekitar 4 km namun sangat terjal dan ramai karena langsung menuju ke area
camping. Berhubung saya hanya tek-tok, tidak
camping dan ingin yang santai saja (ingat faktor U haha) jadinya saya lewat jalur Dieng.
Perjalanan dimulai dari jam 2 subuh dengan harapan masih bisa mengejar sunrise jika saya agak lelet (lebih dari 3 jam baru bisa sampai ke puncak). Jangan lupa pakai baju hangat, kalau punya sangat disarankan memakai jaket anti angin, pakai kaos kaki, sarung tangan, topi yang bisa menutup telinga, bawa air minum dan obat-obatan pribadi secukupnya, bawa senter (minimal senter HP), serta makanan kecil jika tidak tahan lapar. Sepatu yang anti-slip sangat saya sarankan karena sepanjang jalan dari pos 1 ke 2 banyak jalur air yang licin. Di atas segalanya, sebelum memulai perjalanan ingat berdoa dahulu dan niat yang baik.
Jalur Dieng terdiri dari 3 pos dari basecamp, di mana jalur dari pos 1 ke 2 kebanyakan landai (banyak bonus) namun banyak jalur air yang licin. Dari pos 2 ke pos 3 merupakan tantangan yang sebenarnya karena rutenya kebanyakan menanjak dengan akar pohon yang bersembulan di mana-mana (cukup menjebak kalau penerangan kurang. Hati-hati dan selalu perhatikan langkah ya!), dan pos 3 ke puncak yang jaraknya tidak jauh lagi hanya sekitar 15 menit perjalanan. Jika sudah sampai ke tempat yang bernama Plentengan dan Akar Cinta (saya sampai lupa itu di pos 2 atau 3) maka berarti Anda sudah hampir dekat ke puncak.
Dari pos 3 ke puncak kita akan melewati tempat yang namanya ‘jembatan’ karena jalan setapaknya kecil sekali dan sebelah kanan langsung jurang (ambil jalan mepet kiri ke tebing). Jangan desak-desakan dan jangan bermain-main, perhatikan saja tiap langkah Anda. Dalam perjalanan saya mendaki inilah saya diberi kesempatan melihat the milky way. Taburan bintang dengan semburat alur galaksi yang keren banget! Sayang sekali saya tidak membawa kamera dan kamera iphonetidak bisa menangkap gambarnya. Tidak apa-apalah, the best picture is captured by eyes, yes? =)
Puncak Gunung Prau sudah dipenuhi tenda pengunjung. Ternyata saya bisa sampai ke puncak dalam waktu 2 jam, jadi jam setengah 5 subuh saya sudah duduk-duduk santai meredakan napas. Sedikit peringatan saja, sebaiknya Anda tidak membuat tenda tepat di puncak gunung karena anginnya sangat kencang dan berisiko terbang tertiup angin. Pemandangan terbaik untuk menikmati sunrise di Prau bukan di puncaknya namun di daerah perkemahan yang dari puncak harus melintasi padang savana sekitar 20 menit. Padang savananya sendiri waktu itu cantik, bunga daisy sedang bermekaran dengan gradasi warna putih-pink muda-lembayung dan tangkai-tangkai ilalang tertutup frost embun.
img-6124-57e3a22dd19273503f907625.jpg
img-6288-57e3a2464123bd900fc095ab.jpg
img-6264-57e3a257ef96739c14fb2342.jpg
Jika langit sedang cerah seperti ketika saya naik, jejeran Gunung Sindoro-Sumbing-Slamet, Merbabu-Merapi sekaligus bisa terlihat dengan selaput awan tipis dan lautan awan mengelilingi gunung-gunung itu. Cantik sekali! Sayangnya balon-balon tenda menghalangi kita untuk bisa melihat lebih jelas, apalagi memotret dengan baik.
img-6237-57e3a2696d7a61de185ce6b6.jpg
img-6240-57e3a2877193739c113a898b.jpg
Plang yang menghimbau pengunjung untuk membawa pulang kembali sampah mereka dipasang di mana-mana. Syukurlah, saya melihat cukup banyak pendaki yang membawa
trash bag dan memanggul sampah mereka kembali ke bawah. Trend berikutnya yang saya lihat di atas Prau adalah manusia yang berfoto dengan kertas bertulisan macam-macam seperti
“kapan kita ke sini?” “dari ketinggian 2565 mdpl anakmu sudah tiba di puncak” dsb dsb. Mungkin karena
guide saya sering memungut sampah tulisan-tulisan ini sehingga sempat juga berkomentar
: “Rasanya kalau saya jualan kertas dan spidol di atas sini bakal laku keras ya mbak?”hahaha.. belum lagi ketika melewati bunga-bunga daisy yang rebah dalam area cakupan yang lumayan luas, lagi-lagi beliau berkomentar :
“Banyak yang alay sih sekarang, bunga bagus-bagus kok ditiduri buat foto-foto saja”.
Lihat Travel Story Selengkapnya