Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan ke Tanah Tinggi Milik Para Dewa

22 September 2016   16:24 Diperbarui: 22 September 2016   16:37 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Perjalanan itu jangan dihitung dari berapa jam dan berapa km lagi. Jalani saja mbak, nanti juga sampai sendiri”

Liburan idul adha sudah di depan mata, kebetulan suami saya ingin mengetes mobilnya untuk perjalanan jarak jauh. Kami segera memutuskan untuk cabut ke Dieng, kebetulan tempat ini sudah lama berada dalam bucketlist saya sebagai tempat yang wajib saya kunjungi. Karena kami ke sana jalan darat jadi persiapannya dadakan dan cepat saja, tidak perlu booking pesawat atau kereta. Hanya berharap semoga kami tidak terjebak arus mudik dan arus balik, beli bekal selama perjalanan, siap berangkat! Berikut saya akan ceritakan perkiraan biaya yang dibutuhkan jika berkunjung ke Dieng menggunakan mobil, estimasi waktu, dan tentu saja itinerary kami.

Jalur mobil menuju Dieng sebaiknya lewat Wonosobo (dari Pantura ambil ke arah Weleri-Parakan). Saya dan suami sangat berpatokan dengan GPS dan kami dipandu untuk lewat Limpung-Bawang. Jalur Limpung-Bawang ini jauh lebih dekat dan cepat 2 jam, tapi perlu diingat bahwa ini merupakan jalur motor! Jalurnya kecil, sempit, masih jelek berbatu-batu dan diapit sawah dan kampung. Ketika kami tiba di situ kebetulan sedang hujan deras lagi, sulit juga mau bertanya pada penduduk setempat karena tidak ada orang di jalanan. Akhirnya kami harus memutar kembali ke arah Wonosobo sekitar 88 km lewat Weleri-Parakan yang jalurnya besar dan bagus sementara waze masih belum menyerah mengarahkan kami  putar balik kembali ke jalur pendek namun sesat itu =.= . Akhirnya setelah sekitar 11 jam di jalan kami tiba juga di Dieng. Fiuh! (ini estimasi jika Anda nyasar namun jalan tidak macet).

Pengingapan di Dieng sebagian besar berupa homestay, guesthouse, losmen, dan rumah penduduk. Kami menginap di Lotus Homestay yang terletak di Jalan Dieng Raya (ada di GPS lho tempatnya!) dengan biaya IDR 250.000/malam bisa muat 2 orang. Homestay nya bersih, kamar mandi dalam, ada lemari, cermin, air panas, tanpa AC, dan selimutnya wangii! Letaknya juga strategis karena dekat dengan kompleks candi Arjuna dan basecamp pendakian ke Gunung Prau rute Dieng. Mau cari makan malam-malam atau perlengkapan mendaki juga banyak, bisa dicapai dengan jalan kaki dan buka sampai lewat tengah malam. Kekurangannya hanya satu : rebutan gas air panas! Malam pertama sih masih enak karena kamar tetangga masih kosong belum terisi jadi yang mandi cuma saya dan suami. Malam kedua, semua kamar tetangga penuh terisi sehingga jam 8 pagi gas air panas sudah habis 2x. Terpaksalah di tengah-tengah mandi saya pakai air sedingin es. Brrr!!

Makanan khas daerah Dieng adalah mie ongklok dengan sate bisa sapi bisa ayam. Mie ongklok sih aslinya dari Wonosobo, tapi di Dieng sudah banyak yang jual juga dengan citarasa yang agak berbeda. Isinya sayuran kubis dengan kuah kecoklatan yang agak manis, lauknya sate. Saya sih doyan aja apalagi dimakan waktu cuaca lagi dingin dengan segelas kopi purwaceng. Nyamm! Terberkatilah tanah Dieng yang super subur! Jika Anda melipir ke pasar tradisionalnya pasti Anda akan tergiur oleh berbagai hasil tanah Dieng yang menakjubkan. Wortel bibit Jepang yang besar-besar dan ranum-ranum, kubis besar-besar, labu siam, terong belanda yang gendut-gendut, kentang biasa, baby potato, kentang merah, ketela semua dalam ukuran jumbo! Bahkan cabe Dieng pun besar-besar sekali cenderung gemuk!  

Ketika saya datang konon harga wortel lagi jatuh sampai ke harga yang tidak masuk akal, sehingga petani malas memanennya. Bayangkan saja berhektar-hektar tanaman wortel dibiarkan menjadi kayu dan membusuk, untuk kemudian dibongkar dan ditanami lagi! Sayang sekali bukan, padahal dari bibit yang bagus. Saya membeli wortel dan ketela dengan harga IDR 5.000/kg tidak saya tawar lagi.. tidak apa-apalah membagi untung dan rejeki dengan orang lain daripada sayang sedangkan keluarga saya di Jakarta mau mencari wortel yang bagus terkadang susah.

img-6107-57e3a0896d7a6147185ce6bf.jpg
img-6107-57e3a0896d7a6147185ce6bf.jpg
img-6076-57e3a09e6d7a6150185ce6bd.jpg
img-6076-57e3a09e6d7a6150185ce6bd.jpg
Kami juga mampir makan sate kambing di pasar tradisional Banjar, di kota Banjarnegara (lokasi Dieng sangat dekat dengan perbatasan Banjarnegara, Wonosobo, dan Batang). Bentuknya unik karena disajikan tidak dengan tusuknya namun sudah dilepas-lepas dagingnya dan dibumbui kecap dan bawang merah dengan irisan cabe hijau dalam kuah kecap manis dalam mangkok terpisah. Rasanya? Enakkk!! Dagingnya empuk dan bumbunya meresap!! Ibu yang menjual masih mengolahnya dari awal, bukan sudah disiapkan tinggal dipanaskan jadi sabar-sabar menunggu ya, memang pengolahannya agak lama. 

Sambil menunggu suami saya jajan kue sagu rangi di seberang kedai sate dan tempe kemul khas daerah sini juga. Kue sagu ranginya besar-besar, taburan gula pasirnya diantara 2 tumpukan kelapa parut tipis-tipis yang masih menyisakan aroma kelapa bakar. Harganya? Cuma IDR 1.000/buah!! Murah sekali ya! Tempe kemul sendiri sih sebenarnya seperti tempe mendoan hanya tepungnya digoreng kering. Yang paling berkesan ya si kue sagu rangi raksasa ini hehe..

img-6031-57e3a0b6ee92735131946637.jpg
img-6031-57e3a0b6ee92735131946637.jpg
img-6033-57e3a0d0ef9673dc13fb2349.jpg
img-6033-57e3a0d0ef9673dc13fb2349.jpg
Cuaca di Dieng tahun ini tidak dapat diprediksi. Kata guide trekking saya yang orang asli Dieng, tahun ini Dieng seperti tidak mendapat musim kemarau. Di bulan-bulan yang seharusnya matahari bersinar cerah, eeh tahu-tahu sore atau subuhnya hujan deras turun. Akibatnya kami tidak sempat mengunjungi Sikunir kali ini, karena tepat jam 2 subuh hujan mengguyur Dieng dengan derasnya sampai jam 4 pagi. Sedih sih karena menurut cerita orang-orang the best golden sunrise biasanya dilihat di Sikunir. Sebagai gantinya kami mengunjungi air terjun di kabupaten sebelah yang tidak akan saya sebutkan namanya karena masih belum banyak yang tahu dan masih bersih, bahkan untuk mengunjunginya belum dipungut retribusi. 

Air terjunnya ada 3 dengan jarak antar air terjun cukup jauh dan harus melewati trekking di sawah, terdiri dari air terjun air dingin, air panas, dan campuran. Trekking di sinilah tempat perkenalan suami saya yang sesungguhnya dengan alam jika dibandingkan dengan perjalanan kami yang dulu-dulu (baca ulasan Belitung dan Bukit Tinggi) karena sampai mengorbankan sepatu ketsnya yang solnya copot tiap jam hehe.. jangan lupa membawa sepatu kets yang mumpuni ya jika ingin jalan-jalan alam di Dieng. Paling tidak sol sepatunya harus cukup bisa menggigit tanah dan masih aktif dipakai, kalau tidak solnya berisiko tinggi lepas akibat jarang digunakan.

img-5997-57e3a103947e6148160ebbe6.jpg
img-5997-57e3a103947e6148160ebbe6.jpg
img-6021-57e3a10e93fdfd491428d247.jpg
img-6021-57e3a10e93fdfd491428d247.jpg
img-6010-57e3a11ff49673a42e04191e.jpg
img-6010-57e3a11ff49673a42e04191e.jpg
aliran air ini hangat lho! jadi ini sumber mata air panas yang berbentuk air terjun
aliran air ini hangat lho! jadi ini sumber mata air panas yang berbentuk air terjun
Tempat lain yang wajib dikunjungi di Dieng adalah Telaga Warna. Telaga Warna dapat dilihat dari atas yakni di teater dengan harga tiket masuk IDR 10.000/orang, dan live Telaga Warna yang pintu masuknya tidak jauh di bawahnya dengan harga tiket masuk IDR 10.000/orang juga (jika WNI). Saya sendiri lebih suka yang live ketimbang teater karena teater sangat dipadati pengunjung! Semua orang bergaya dan berpose dari 1 titik wajib, lama lagi diulang-ulang hiks.. kan yang antri banyak =( Untuk mencapai teater kita harus menaiki anak tangga tapi tidak terlalu terjal sih, namun jika malas turun lewat tangga lagi dan ingin menguji adrenalin, permainan flying fox tersedia dengan rute puncak teater ke tempat parkiran mobil.

img-6046-57e3a165d19273483f907630.jpg
img-6046-57e3a165d19273483f907630.jpg
gantian donk mbak hehe..
gantian donk mbak hehe..
Saya rasa mengunjungi liveTelaga Warna akan lebih bagus di pagi hari ketika kabut masih turun tipis-tipis di sela-sela pohon dan mengambang di atas permukaan telaga, namun saya tidak menyesali langit cerah ketika saya berkunjung sih. Bau gas belerang tidak setajam Kawah Putih, saya masih bisa bernapas lega tanpa bantuan masker. Suasana sepi, pengunjung sepi, tenang sekali setenang permukaan air telaga. Hanya ada serombongan anak muda di daerah pohon tumbang, sepasang bule di tepi telaga, dan sepasang anak muda lainnya yang sedang hunting foto. Ada yang baru dari live Telaga Warna yakni sebuah rumah kayu yang terletak sekitar 500 meter dari daerah pohon tumbang. Rumah kayu ini punya jembatan dengan anak tangga ke arah air dalam telaga, bentuknya mirip dermaga. Rasanya tenang sekali duduk-duduk di dermaga sambil menikmati pemandangan telaga dan terasering sawah di seberang telaga.

img-6078-57e3a1971cafbd9410f2388a.jpg
img-6078-57e3a1971cafbd9410f2388a.jpg
img-6088-57e3a1d9ef9673dc13fb234b.jpg
img-6088-57e3a1d9ef9673dc13fb234b.jpg
img-6290-57e3a1c9c3afbd89104a2ffe.jpg
img-6290-57e3a1c9c3afbd89104a2ffe.jpg
Kawah Sikidang berada dalam satu lokasi dengan kompleks Candi Arjuna dengan harga tiket masuk sekaligus IDR 35.000/orang. Simpan potongan tiket Anda karena tiap tempat wisata punya pos pengecekan tiket masing-masing. Jika hilang di salah satu tempat, Anda terpaksa membayar kembali harga tiket masuk ke tempat wisata tersebut. Saya tidak berlama-lama di Kawah Sikidang karena baunya yang bikin sesak napas dan kepala sakit. Selain itu panasnya sangat terik dan pemandangan beberapa burung hantu dijemur dan diikat demi alasan mencari uang membuat saya tidak betah.

Kenapa ya, manusia seringkali menyiksa hewan demi kepentingannya sendiri? Mengapa harus ada burung hantu yang diikat pula kakinya, di tengah kawah yang panas dan terik dan terang benderang? Bukannya burung hantu merupakan hewan malam? Jika siang hari mereka dipaksa melayani permintaan foto bersama pengunjung di saat mereka seharusnya tidur, malam mereka memang bangun untuk berburu makanan, lantas kapan hewan ini bisa tidur? Sungguh saya tidak mengerti mengapa manusia bisa hanya memikirkan diri sendiri meskipun burung hantu itu hanya hewan! Seekor kuda putih juga ditambatkan di sana demi kepentingan foto keren dan eksis orang-orang, saya tidak melihat ada rumput atau air minum untuk kuda tersebut. Kudanya kurus, jauh lebih terawatt kuda-kuda di Bromo dan di kompleks Candi Arjuna. Sedih sekali saya melihatnya. Hamparan motor-motor trail berjejer tidak jauh dari kawah untuk disewa pengunjung yang ingin sekedar bermain atau hanya ingin berfoto. Pasar kaget memenuhi jalan menuju kawah.

img-6089-57e3a1ec147b61de2b40c014.jpg
img-6089-57e3a1ec147b61de2b40c014.jpg
Salah satu candi di kompleks Candi Arjuna sedang mengalami perbaikan ketika saya datang. Di sinipun pengunjung tidak seramai di teater Telaga Warna karena antrian berfoto di depan candi tidak selama di teater. Suasana di kompleks candi ini adem dan enak buat duduk-duduk sambil mengopi. Ingat, jangan buang gelas kopi di sembarang tempat ya! Banyak badut lucu-lucu jika kalian membawa anak dan ingin berfoto lucu-lucuan. Dari Minnie Mouse, barongsai, sampai gatot kaca dan hanoman ada semua hehe.. mau berfoto dengan kuda juga bisa. Kuda di sini tampak lebih bahagia, merumput puas dan gemuk-gemuk. Salah satu candi di kompleks ini namanya Candi Setiaki merupakanspot yang bagus jika ada yang ingin mengabadikan the milky way, namun jamnya hanya ada dari jam 10 malam sampai jam 2 pagi. Suami dan saya tidak sempat melihat milky way dari sini karena sekitar jam segitu lagi-lagi langit mendung!

img-6094-57e3a206f97a61c615d3dbb1.jpg
img-6094-57e3a206f97a61c615d3dbb1.jpg
img-6102-57e3a218f97a619916d3dbaa.jpg
img-6102-57e3a218f97a619916d3dbaa.jpg
Perjalanan saya ke Dieng ditutup dengan trekking di Gunung Prau dengan ketinggian 2565 mdpl. Dari sehari sebelumnya saya sudah doa kencang-kencang supaya hujan terakhir yang turun adalah sore hari sebelum pagi pendakian saya. Puji Tuhan, cuaca bagus dan hujan tidak turun sama sekali dari sore sampai saya turun kembali! Rute pendakian Gunung Prau bisa melalui jalur Dieng yang lebih panjang (hampir 6 km sekali jalan) namun lebih landai dan bersahabat selain itu juga melalui puncak gunung, dan melalui jalur yang sudah sangat terkenal : Patak Banteng. Jalur Patak Banteng lebih singkat mungkin hanya sekitar 4 km namun sangat terjal dan ramai karena langsung menuju ke area camping. Berhubung saya hanya tek-tok, tidak camping dan ingin yang santai saja (ingat faktor U haha) jadinya saya lewat jalur Dieng. 

Perjalanan dimulai dari jam 2 subuh dengan harapan masih bisa mengejar sunrise jika saya agak lelet (lebih dari 3 jam baru bisa sampai ke puncak). Jangan lupa pakai baju hangat, kalau punya sangat disarankan memakai jaket anti angin, pakai kaos kaki, sarung tangan, topi yang bisa menutup telinga, bawa air minum dan obat-obatan pribadi secukupnya, bawa senter (minimal senter HP), serta makanan kecil jika tidak tahan lapar. Sepatu yang anti-slip sangat saya sarankan karena sepanjang jalan dari pos 1 ke 2 banyak jalur air yang licin. Di atas segalanya, sebelum memulai perjalanan ingat berdoa dahulu dan niat yang baik.

Jalur Dieng terdiri dari 3 pos dari basecamp, di mana jalur dari pos 1 ke 2 kebanyakan landai (banyak bonus) namun banyak jalur air yang licin. Dari pos 2 ke pos 3 merupakan tantangan yang sebenarnya karena rutenya kebanyakan menanjak dengan akar pohon yang bersembulan di mana-mana (cukup menjebak kalau penerangan kurang. Hati-hati dan selalu perhatikan langkah ya!), dan pos 3 ke puncak yang jaraknya tidak jauh lagi hanya sekitar 15 menit perjalanan.  Jika sudah sampai ke tempat yang bernama Plentengan dan Akar Cinta (saya sampai lupa itu di pos 2 atau 3) maka berarti  Anda sudah hampir dekat ke puncak. 

Dari pos 3 ke puncak kita akan melewati tempat yang namanya ‘jembatan’ karena jalan setapaknya kecil sekali dan sebelah kanan langsung jurang (ambil jalan mepet kiri ke tebing). Jangan desak-desakan dan jangan bermain-main, perhatikan saja tiap langkah Anda. Dalam perjalanan saya mendaki inilah saya diberi kesempatan melihat the milky way. Taburan bintang dengan semburat alur galaksi yang keren banget! Sayang sekali saya tidak membawa kamera dan kamera iphonetidak bisa menangkap gambarnya. Tidak apa-apalah, the best picture is captured by eyes, yes? =)

Puncak Gunung Prau sudah dipenuhi tenda pengunjung. Ternyata saya bisa sampai ke puncak dalam waktu 2 jam, jadi jam setengah 5 subuh saya sudah duduk-duduk santai meredakan napas. Sedikit peringatan saja, sebaiknya Anda tidak membuat tenda tepat di puncak gunung karena anginnya sangat kencang dan berisiko terbang tertiup angin. Pemandangan terbaik untuk menikmati sunrise di Prau bukan di puncaknya namun di daerah perkemahan yang dari puncak harus melintasi padang savana sekitar 20 menit. Padang savananya sendiri waktu itu cantik, bunga daisy sedang bermekaran dengan gradasi warna putih-pink muda-lembayung dan tangkai-tangkai ilalang tertutup frost embun.

img-6124-57e3a22dd19273503f907625.jpg
img-6124-57e3a22dd19273503f907625.jpg
img-6288-57e3a2464123bd900fc095ab.jpg
img-6288-57e3a2464123bd900fc095ab.jpg
img-6264-57e3a257ef96739c14fb2342.jpg
img-6264-57e3a257ef96739c14fb2342.jpg
Jika langit sedang cerah seperti ketika saya naik, jejeran Gunung Sindoro-Sumbing-Slamet, Merbabu-Merapi sekaligus bisa terlihat dengan selaput awan tipis dan lautan awan mengelilingi gunung-gunung itu. Cantik sekali! Sayangnya balon-balon tenda menghalangi kita untuk bisa melihat lebih jelas, apalagi memotret dengan baik.

img-6237-57e3a2696d7a61de185ce6b6.jpg
img-6237-57e3a2696d7a61de185ce6b6.jpg
img-6240-57e3a2877193739c113a898b.jpg
img-6240-57e3a2877193739c113a898b.jpg
Plang yang menghimbau pengunjung untuk membawa pulang kembali sampah mereka dipasang di mana-mana. Syukurlah, saya melihat cukup banyak pendaki yang membawa trash bag dan memanggul sampah mereka kembali ke bawah. Trend berikutnya yang saya lihat di atas Prau adalah manusia yang berfoto dengan kertas bertulisan macam-macam seperti “kapan kita ke sini?” “dari ketinggian 2565 mdpl anakmu sudah tiba di puncak” dsb dsb. Mungkin karenaguide saya sering memungut sampah tulisan-tulisan ini sehingga sempat juga berkomentar : “Rasanya kalau saya jualan kertas dan spidol di atas sini bakal laku keras ya mbak?”hahaha.. belum lagi ketika melewati bunga-bunga daisy yang rebah dalam area cakupan yang lumayan luas, lagi-lagi beliau berkomentar : “Banyak yang alay sih sekarang, bunga bagus-bagus kok ditiduri buat foto-foto saja”

Yah, saya sih tidak bisa mempersalahkan beliau karena beliau merupakan anggota sukarelawan pemungut sampah pendaki yang semakin lama semakin banyak! Ketika saya mendaki ke sana pengunjung yang berkemah tercatat sekitar 3.500 orang, bisa dibayangkan ketika 17 Agustusan jumlah pengunjung mencapai 14.000 orang! Untuk membersihkan sampahnya saja sebulan tidak habis-habis kata guide saya! Maka dari itu, jadilah pendaki yang bertanggungjawab ya =) Sayangi dan kasihani alam kita yang cantik banget ini..

Perjalanan pulang terasa lebih mudah dan cepat seperti biasanya. Saya danguide masih sempat melepaskan pita-pita biru dari dahan pohon di sepanjang jalur pendakian karena menurut aturannya ternyata hanya di hutan belantara saja boleh diikatkan pita biru sebagai penanda bahwa ada orang yang melewati daerah tersebut. Perjalanan saya menuruni Prau lagi-lagi dalam 2 jam saya tempuh, sehingga jam setengah 9 pagi saya sudah sampai di homestay. Sungguh perjalanan yang layak dihargai telinga sakit, hidung meler-meler karena dingin, pergelangan kaki sakit, napas ngos-ngosan, dan kaki-tangan beku! Suami saya yang tidak ikut trekking saja sampai bisa mengatakan menyesal tidak ikut naik dan lain kali mau ikutan naik ke Prau!

img-6271-57e3a2c54df9fd3b17475ce4.jpg
img-6271-57e3a2c54df9fd3b17475ce4.jpg
img-6285-57e3a2df23afbd7b117444da.jpg
img-6285-57e3a2df23afbd7b117444da.jpg
kembali ke basecamp saat matahari sudah terbit
kembali ke basecamp saat matahari sudah terbit
Informasi yang mungkin Anda butuhkan :

Guide trekking : Mas Taufik (+628122822761) à jago motret apalagi pose lompat-lompat, super sabar, mau pegangin tangan dan tungguin kita jalan selama apapun, tim SAR certified, tahu spot foto yang ga rame-rame banget (komentarnya lucu-lucu kok hehe). Tarif : nego aja, rembukan dulu rutenya mau dapat objek apa saja, sudah punya tempat tinggal belum. Kira-kiranya IDR 500.000-750.000/selama trip saya 1,5 hari belum termasuk peminjaman mobil (IDR 500.000 seharian sudah termasuk supir dan bensin).

Isi bensin solar Dex tiap habis setengah tangki 80 L perjalanan Jakarta-Dieng-Jakarta : 3 x IDR 300.000 = IDR 900.000

Makan : mie ongklok harganya kisaran IDR 7.500-15.000 seporsi, sate kambing IDR 30.000/porsi

Untuk referensi pribadi, saya dan suami menyiapkan dana IDR 5 juta untuk perjalanan ke Dieng tapi ternyata kami hanya menghabiskan IDR 2.6 juta selama 3 hari 2 malam.

Nah, bagaimana? Indonesia punya banyak tempat wisata yang menarik bukan? =D Semoga tulisan saya untuk para pembaca dan sampai jumpa di ulasan saya berikutnya!

Foto-foto : instagram @kurniawanwenny

Email : wenikurniawan@yahoo.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun