Nilai istimewa dari istana ini adalah ukirannya! Seluruh istana sebesar itu dipenuhi ukiran kecil-kecil, warna-warni, dengan corak yang sama. Bisa dibayangkan yang memahat dan mengukir matanya pasti kuat banget ya! Seluruh dinding luar istana, dinding dalam, bahkan sampai langit-langit dipenuhi ukiran. Ketika saya bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi istana ini, jawabannya adalah 3 tahun. Wow! Lantai 1 berisi panggung tempat raja, ratu, dan putrid-putrinya duduk-duduk.
Tepat di belakang kiri-kanan adalah kamar para putri yang disekat dengan kain berwarna meriah, plus memanjang ke belakang adalah dapur. Lantai ke-2 isinya ruang pingitan para putri, dan lantai ke-3 kecil saja isinya senjata tombak dan lemari. Istana ini makin ke atas makin kecil ruangannya.
Ketika saya bertanya, “Jadi putra-putra raja tidur di mana? Kok kamarnya hanya kamar putri?”, jawabannya adalahhh, “anak laki-laki tidur di luar, biasanya di surau atau masjid.” Wah ternyata tidak mudah menjadi putra Minang ya, walaupun tujuannya baik sih, supaya anak lelaki banyak belajar mengaji di masjid dan belajar hidup mandiri dan merantau.
Uda Koin dan Uda Ujang juga masih merasakan tidur di surau lho, walaupun kata mereka makin ke sini tradisi tersebut sudah tidak sekental dulu lagi. Oh iya, bagi yang penasaran kenapa rumah gadang memiliki gonjong atau tanduk di atapnya, ternyata jumlah gonjong melambangkan banyaknya anak perempuan yang dimiliki sang ayah. Makin banyak gonjongnya, berarti anak perempuannya makin banyak =D
Pilihan makan di Pondok Flora tepat karena pemandangannya sawah, jadi serasa makan di tengah dangau dikelilingi kolam ikan dan bebek. Lagi-lagi sayang seribu sayang.. orang-orang membuang sampah sembarangan ke dalam kolam! Bahkan bukan cuma membuang puntung rokok, tapi juga bungkus rokoknya!
Saya sampai kepikiran, kalau ikan atau bebek di sini suatu saat mati dan dilihat isi perutnya, jangan-jangan isinya puntung rokok! Sedih sekali T.T. Untuk masalah harga, Pondok Flora termasuk tidak mahal. Makan ber4 dibanderol harga IDR 204.000, saya sudah pikir lebih mahal lho, karena kami makannya banyak dan kenyang banget!
Langit mulai gelap, Sumbar memang sedang dilanda curah hujan yang tinggi. Buru-buru kami melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir yaitu Lembah Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota. Saya sudah menanti-nantikan mengunjungi lembah yang santer dengan julukan “Yosemite Valley von Indonesia” ini, yang katanya lembahnya dipenuhi air terjun di kiri kanannya.
Pemandangan masuk ke Lembah Harau memang mengesankan, 2 buah ngarai hijau dengan hamparan sawah di kakinya, serta jalan aspal kecil membelah sawah. Belum lagi di antara lembah terlihat air terjun membelah lembah, pantas saja orang asing suka sekali menyepi kemari.