![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/img-4349-57329455b1927387048b4585.jpg?t=o&v=555)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/img-4350-573294760323bdf90ee0f0c3.jpg?t=o&v=555)
HARI 1
Saya tiba di kota Padang jam 10 malam dan sudah ditunggu supir di bandara. Kebetulan teman saya Ingrid memperkenalkan saya dengan kenalannya di Bukit Tinggi namanya Uda Koin,orang Bukit Tinggi asli, jadi saya sudah janjian untuk langsung bertemu (sekaligus kenalan) dengan Uda satu ini malam itu juga di lobi hotel.
Malam pertama di Bukit Tinggi saya menginap di Novotel (dulu bernama The Hills), yang bisa saya dapatkan kamarnya atas bantuan kenalan juga. Percayalah, punya banyak kenalan apalagi di berbagai kota dan daerah sangat menyenangkan! =DD. Jika tidak dibantu, saya yakin sekali tidak akan mendapat kamar di Novotel karena sudah benar-benar penuh di tanggal sekian.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/img-4353-57329512709773ea049c3bc8.jpg?t=o&v=555)
Novotel Bukit Tinggi menyenangkan walaupun bangunannya sudah agak lama. Pelayanannya bagus, dan bagi saya yang terpenting adalah lokasinya yang strategis dan dekat dari mana-mana. Mau ke tempat wisata, bisa. Mau cari makan atau minimarket, tinggal jalan kaki. Mau belanja di Pasar Atas, tinggal jalan kaki juga! (Rumah Makan Aceh Baruna yang terkenal letaknya persis di seberang hotel lho).
Pagi jam 10, saya dan suami sudah siap diajak “sedikit hiking dan trekking” oleh Uda Koin. Saya sih senang-senang saja, tapi suami saya sudah mulai stress mendengar kalimat itu haha.. Rute kami adalah memutar dari Ngarai Sianok, turun ke Goa Jepang, lanjut ke The Great Wall melalui sawah, kemudian tiba lagi di kaki ngarai. Tiket masuk ngarai IDR 8.000/orang.
Ngarai Sianok dari atas sudah terlihat bagus, sayang sekali tempat ini pun katanya sudah sangat tercemar dan tereksploitasi manusia. Jika Anda melihat foto di atas, tepat setahun yang lalu bagian lembah di tengah masih penuh dengan pohon. Tahun lalu teman saya Ingrid kemari, dan ketika saya memperlihatkan keadaan Sianok sekarang ini komentarnya adalah : “Ini Sianok?? Dulu nggak begini lho!” Sedih sekali mendengarnya.
Kenapa ya, manusia tidak bisa hanya datang, melihat, kalau mau ambil foto pun jangan merusak dan konyol-konyolan, buang sampah minuman dan makanan pada tempatnya, dan sudah? Kenapa harus merusak? Dan kenapa juga penduduk sekitar Sianok malah membangun berbagai fasilitas untuk memudahkan pengunjung seperti warung-warung sehingga sungai dan pohon menjadi korban? Sedih sekali jika membayangkan daerah di tengah lembah itu tadinya asri dan sekarang menjadi seperti itu..
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/img-4362-57329579f39673e504d23840.jpg?t=o&v=555)
Ngarai Sianok mempunyai goa dan terowongan artifisial yang dibangun dari zaman Jepang oleh pekerja romusha, namanya seharafiah aslinya yakni Goa Jepang. Dari goa ini kita bisa tembus ke bawah, ke kaki lembah dengan berjalan kaki. Ketika saya tiba, Goa Jepang sedang agak ramai karena musim liburan. Di dalam goa udaranya dingin tapi tidak lembab, cukup gelap dan bergema.