Mencari agen travel yang memasukkan kota Hiroshima ke dalam itinerary perjalanan ke Jepang sama susahnya seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Kota favorit para agen travel dengan destinasi Negara Jepang adalah Tokyo, Osaka, Kyoto, Nara. Saya adalah salah satu orang yang beruntung karena menyusun itinerary perjalanan saya sendiri, dan saya memasukkan kota ini ke dalam itinerary saya ketika mengunjungi Jepang.
Tadinya tujuan saya ke Hiroshima hanya satu: melihat Atomic Bomb Dome dan Memorial Peace Park and museum di sekitarnya. Untuk hal ini saya harus menghaturkan banyak terima kasih kepada komikus Ono Eriko, penulis komik Namaku Miiko karena telah membuat sebuah cerita dengan setting latar Kota Hiroshima dalam serial Miiko. Saya sama sekali tidak menyesal telah menyempatkan sehari semalam di kota ini, malah bisa dibilang highlight perjalanan saya adalah Hiroshima! Jika Anda bertanya kepada saya apa yang membuat saya sangat terkesan dengan kota bekas korban pengeboman bom atom oleh Amerika, maka saya akan mencoba merangkumnya menjadi demikian:
- Sistem transportasi yang mudah dan murah
Kota Hiroshima tidak memiliki banyak jalur subway seperti kota besar kebanyakan di Jepang. Konon hal ini disebabkan karena kontur Kota Hiroshima yang berbukit-bukit sehingga akan lebih mudah jika menggunakan electric car (bentuknya seperti trem). Tarif electric car ini sangat murah, hanya JPY 80 untuk anak dan JPY 160 untuk dewasa, sekali naik jauh-dekat sama saja. Selain itu, peta di dalam electric car dan di setiap haltenya dilengkapi dengan bahasa Inggris serta tulisan latin, jadi tidak perlu khawatir bingung “ini sudah sampai di halte mana ya” (bisa dibilang petunjuk berbahasa Inggris lebih lengkap di sini daripada di kota besar seperti Tokyo maupun Osaka).
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0961-5593c58f4d7a61640ac2bb48.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
- Kota dengan riwayat sejarah pahit dan kelam namun berhasil bangkit kembali
Sudah sedari SD kita belajar sejarah bahwa 2 kota yang dibom atom oleh Amerika di tahun 1945 (perang dunia ke-2) adalah Hiroshima dan Nagasaki. Belajar dari buku dan mengunjungi langsung tempat kejadian perkara memberikan sensasi yang pastinya berbeda. Daerah yang dijadikan “kenang-kenangan” dari peristiwa menyakitkan itu terpusat di sekitar jembatan Aioi. Di sekitar jembatan ini kita dapat melihat Genbaku (Atomic Bomb) Dome, Memorial Peace Park and Museum, Children’s Peace Monument, dan Bell of Peace.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0893-5593c6760223bd0c0bbf053f.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0895-5593c6a0ce7e61aa08a94d8d.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0900-5593c6cd4d7a611809c2bb48.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0908-5593c6f3a0afbd62050ce1a8.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0909-5593c7202e7a612b0b35c680.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Di depan monumen ini telah mengantre ratusan murid dari berbagai sekolah untuk menyanyikan himne penghargaan kepada anak-anak korban Hiroshima. Mereka menyanyikan himne tidak sembarang saja, sangat terlihat kalau mereka betul-betul mempersiapkan acara penghormatan. Murid demi murid berbaris rapi, seorang murid yang menjadi kondaktor berdiri di hadapan kawan-kawannya, sedang CD rekaman minus one diputar untuk mengiringi nyanyian (saya sempat merekam acara ini, namun sayangnya tidak dapat diunggah ke Kompasiana. Bagi yang ingin melihat bisa ke instagram saya @kurniawanwenny). Usai bernyanyi, 3 murid perwakilan sekolah menyerahkan rangkaian origami burung yang sangat indah dan kreatif untuk dipajang di etalase, lalu tiba giliran murid dari sekolah lain yang berdiri di sana memberikan penghormatan.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0913-5593c75a4d7a618109c2bb4c.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0919-5593c77dce7e61b608a94d95.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Di sisi kanan yang mengarah ke toilet (saya sampai segan menggunakan toilet karena kelihatan sepi dan seram walaupun sangat bersih) terdapat foto-foto korban Hiroshima, hampir semuanya berupa pas foto hitam putih yang sudah di-scan dengan potongan rambut dan pakaian zaman dulu. Dan di bawah foto-foto tersebut terdapat komputer untuk mengakses nama-nama korban Hiroshima yang hilang atau meninggal atau tidak terdapat fotonya di kumpulan foto di atasnya. Beberapa generasi tua terlihat mengetikkan nama seseorang, mungkin kerabat atau kenalannya, pada komputer tersebut. Bagian yang paling terenyuh adalah ruangan tepat sebelum pintu keluar. Ruangan teater mini tersebut memutarkan testimoni anak-anak korban Hiroshima yang berhasil terselamatkan ketika itu karena masih sempat diungsikan oleh orang tuanya. Saya hanya sempat mendengar cerita dari seorang anak (ada terjemahan bahasa Inggrisnya) seperti demikian:
“Hari itu saya diungsikan oleh papa dan mama saya ke rumah saudara di kota lain. Katanya suasana kota Hiroshima genting dan sebaiknya anak-anak dipindahkan ke tempat yang aman. Abang saya bersekolah sehingga tidak dapat ikut mengungsi, sehingga papa dan mama menemani abang saya di kota. Besoknya, terdengarlah berita bahwa kota kami telah dijatuhi oleh bom. Saya yang waktu itu masih kecil hanya mendengar kisah dari papa yang datang ke desa tempat saya mengungsi dalam keadaan menyedihkan. Luka bakar memenuhi badannya dan bajunya hangus. Kata papa saya, pagi itu di ruang makan ketika sedang bercengkerama dengan mama, tiba-tiba ada cahaya yang sangat menyilaukan sampai mata tidak dapat melihatnya. Cahaya itu datang bersamaan dengan suara kaca pecah disusul rasa panas yang tidak tertahankan. Otot terasa meleleh dari tulang, apalagi kulit. Keadaan sangat kacau waktu itu, papa teringat anak sulungnya yang di sekolah. Rumah kami terbakar. Papa mengajak mama untuk pergi mencari abang saya, akan tetapi ternyata mama terjepit oleh tiang kayu atap rumah dari pinggang ke bawah sehingga tidak bisa pergi.
‘Kamu pergi saja, kamu cari anak kita,’ papa mengulang apa yang dikatakan mama. Tentu saja papa saya tidak mau meninggalkan mama sendirian karena itu artinya memasrahkan mama kepada tangan maut. ‘Tidak mau,’ kata papa, ‘Kalau kamu mati di sini, maka saya juga mati di sini.’ Tetapi mama kemudian berkata hal yang membuat papa saya teramat sedih ,’Kalau kita berdua mati di sini, maka anak-anak kita akan menjadi yatim piatu. Biarlah saya mati di sini, tetapi anak-anak kita masih punya seorang papa.’ Demi mendengar ucapan mama, maka dengan berat hati papa pun pergi mencari abang saya.
Keluar dari rumah, keadaan sudah kisruh dan kacau. Papa bercerita banyak orang berteriak-teriak minta tolong dengan kulit meleleh dan tulang terlihat. Ibu-ibu bingung mencari anak-anak mereka, para ayah sibuk menyibak tumpukan mayat yang bergelimpangan di jalan mencari orang yang dicintai. Papa segera berlari ke sekolah abang, tetapi abang tidak nampak di sana. Akhirnya dengan putus asa, papa menunduk dan berjalan sampai melihat tempat tubuh-tubuh yang setengah terpanggang setengah sekarat di pinggir jalan. Tiba-tiba papa mendengar suara yang dikenalnya memanggil pelan,’Papa…papa..’ Papa pun berlari mencari pemilik suara. Keadaan abang sudah sangat parah, bagian dalam mulutnya putih semua dan bengkak akibat luka bakar. ‘Papa di sini, nak’ , demikian kata papa. ‘Papa.. panas.. saya mau minum..,’ demikian rintih abang. Apa daya, tidak ada air sama sekali. Papa hanya memeluk tubuh abang sampai abang menghembuskan napas terakhirnya.
Kisah ini sangat menyedihkan. Saya hanya hanya mendengar satu kisah ini, kemudian memutuskan untuk keluar dari museum. Suasana berduka dan jerih terasa pekat di dalam sana. Di depan taman terdapat simbol perdamaian Kota Hiroshima, harus dilihat dari depan. Bentuknya setengah lingkaran agak menonjol bagian atasnya, di tengah-tengahnya terdapat kobaran api dengan latar Genbaku di kejauhan, berada di dalam setengah lingkaran itu melambangkan biarlah Hiroshima saja yang cukup merasakan penderitaan akibat kekejaman perang, dan biarlah api perdamaian terus berkobar demi korban-korban perang yang telah berjatuhan.
- Pulau Miyajima
Anda pernah melihat foto di kalender Jepang berlatar matahari tenggelam ke balik gerbang kuil yang mengapung di atas pantai? Ternyata pulau inilah inspirasinya! Pulau Miyajima kecil dan anggun, tidak kalah otentik dibandingkan kota Kyoto yang sudah mashyur dengan “Japan traditional”nya. Saya tidak sengaja menemukan pulau ini ketika sedang mencari di laman internet mengenai kota Hiroshima. Bagi Anda pecinta fotografi, saya sangat menyarankan Pulau Miyajima. Jenguklah keanggunan pulau ini, maka Anda akan tercekat dengan keindahannya!
Untuk mencapai pulau Miyajima dari tempat saya, bisa menggunakan subway JR, turun di stasiun terakhir (Hiroshima Port), kemudian dilanjutkan dengan ferry. Ferry yang mengantarkan dari dan ke pulau Miyajima ada 2 : JR dan Matsudai. Karena saya menggunakan JR Pass maka tentu saya memilih naik ferry JR karena jadi gratis! Perjalanan dengan ferry ditempuh selama 10 menit saja. Saya tiba di pulau ini ketika menjelang sunset (memang rencananya mau mengambil gambar sunset soalnya), tapi ada yang disayangkan yaitu banyak toko dan rumah makan sudah tutup menjelang jam 5-6 sore! Sayang sekali, padahal dummy makanan di depan kedai-kedai makan nampaknya enak semua dan murah! (masalah makan juga sangat murah di Hiroshima).
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0950-5593c7aea2afbd570b04dcea.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0936-5593c80e4d7a614009c2bb4d.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0940-5593c8492e7a61350b35c685.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/01/img-0985-5593c98f0223bd470bbf0538.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI