Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Anda Suka Fotografi? Cobalah Hiroshima!

1 Juli 2015   18:08 Diperbarui: 1 Juli 2015   18:08 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencari agen travel yang memasukkan kota Hiroshima ke dalam itinerary perjalanan ke Jepang sama susahnya seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Kota favorit para agen travel dengan destinasi Negara Jepang adalah Tokyo, Osaka, Kyoto, Nara. Saya adalah salah satu orang yang beruntung karena menyusun itinerary perjalanan saya sendiri, dan saya memasukkan kota ini ke dalam itinerary saya ketika mengunjungi Jepang.

Tadinya tujuan saya ke Hiroshima hanya satu: melihat Atomic Bomb Dome dan Memorial Peace Park and museum di sekitarnya. Untuk hal ini saya harus menghaturkan banyak terima kasih kepada komikus Ono Eriko, penulis komik Namaku Miiko karena telah membuat sebuah cerita dengan setting latar Kota Hiroshima dalam serial Miiko. Saya sama sekali tidak menyesal telah menyempatkan sehari semalam di kota ini, malah bisa dibilang highlight perjalanan saya adalah Hiroshima! Jika Anda bertanya kepada saya apa yang membuat saya sangat terkesan dengan kota bekas korban pengeboman bom atom oleh Amerika, maka saya akan mencoba merangkumnya menjadi demikian:

  1. Sistem transportasi yang mudah dan murah

Kota Hiroshima tidak memiliki banyak jalur subway seperti kota besar kebanyakan di Jepang. Konon hal ini disebabkan karena kontur Kota Hiroshima yang berbukit-bukit sehingga akan lebih mudah jika menggunakan electric car (bentuknya seperti trem). Tarif electric car ini sangat murah, hanya JPY 80 untuk anak dan JPY 160 untuk dewasa, sekali naik jauh-dekat sama saja. Selain itu, peta di dalam electric car dan di setiap haltenya dilengkapi dengan bahasa Inggris serta tulisan latin, jadi tidak perlu khawatir bingung “ini sudah sampai di halte mana ya” (bisa dibilang petunjuk berbahasa Inggris lebih lengkap di sini daripada di kota besar seperti Tokyo maupun Osaka).

Saya berangkat ke Hiroshima dari Kyoto menggunakan shinkansen (JR Pass) dengan waktu tempuh 2 jam. Hotel yang saya tinggali adalah Sunroute Hotel Hiroshima, terletak di daerah Chuden-Mae. Siapa tahu ada di antara pembaca yang juga akan tinggal di daerah situ, maka berikut saya lampirkan cara mengakses daerah Chuden-Mae dari stasiun shinkansen Hiroshima: naik electric car no.1, berhenti hampir di halte terakhir.
  1. Kota dengan riwayat sejarah pahit dan kelam namun berhasil bangkit kembali

Sudah sedari SD kita belajar sejarah bahwa 2 kota yang dibom atom oleh Amerika di tahun 1945 (perang dunia ke-2) adalah Hiroshima dan Nagasaki. Belajar dari buku dan mengunjungi langsung tempat kejadian perkara memberikan sensasi yang pastinya berbeda. Daerah yang dijadikan “kenang-kenangan” dari peristiwa menyakitkan itu terpusat di sekitar jembatan Aioi. Di sekitar jembatan ini kita dapat melihat Genbaku (Atomic Bomb) Dome, Memorial Peace Park and Museum, Children’s Peace Monument, dan Bell of Peace.

Saya hanya berjalan kaki dari hotel menuju Jembatan Aioi karena jaraknya dekat saja. Sepanjang jalan menuju ke jembatan adalah sungai jernih yang dulunya penuh dengan mayat manusia, merah dengan darah, dan pekat dengan radiasi nuklir. Makin mendekati area bersejarah yang telah ditetapkan menjadi UNESCO World Heritage Site ini, patung-patung dan monumen-monumen peringatan kecil yang menyuarakan perdamaian makin banyak. Beberapa dilampirkan foto dan tulisan yang merincikan apa yang terjadi di tanggal 6 Agustus 1945 lalu. Jika Anda perhatikan dengan seksama, beberapa di antara tugu dan monumen itu menyertakan terjemahan kisah dalam bahasa Inggris. Untaian origami burung angsa yang melambangkan perdamaian juga terlihat di sebagian besar monumen.

Siang itu matahari bersinar cukup terik dan gerah untuk ukuran cuaca bulan Mei pertengahan. Saya dan suami tiba di gedung bekas rancangan arsitek Czech yang terlihat seperti habis dijatuhi meteor dari 1 sisi. Gedung itulah Genbaku (Atomic Bomb) Dome. Pemerintah tidak merejuvenasi Genbaku sebagai peringatan kekejaman perang yang nyata dan substansial. Saya mengelilingi Genbaku ke seluruh sisinya sambil memandang es sherbet mangga di tangan yang mulai meleleh. Tidak terbayangkan suasana ketika peristiwa pengeboman terjadi, panas yang dihasilkan oleh nuklir mencapai 60000 C. Pastilah otot yang menempel di kulit langsung lumer meleleh. Bergidik saya membayangkan seperti apa kisruhnya suasana waktu itu hanya dari penampilan bangkai gedung Genbaku.

Tidak jauh dari Genbaku, masuk ke area kompleks yang meliputi Memorial Peace Museum, Memorial Peace Park, dan Bell of Peace. Lonceng perdamaian ini besar dan sungguh-sungguh bisa dibunyikan. Ada serombongan turis asing yang berdiri mengelilingi lonceng besar itu dan saya mendengar apa yang pemandu wisata ceritakan kepada mereka, yakni tujuan dibuatnya lonceng ini adalah supaya gong perdamaian bisa berkumandang ke seluruh dunia. Supaya peristiwa brutal semacam ini terjadi hanya sekali itu saja, dan tidak terulang lagi karena pengeboman mengakibatkan penderitaan kepada mereka yang bahkan tidak mengerti mengapa terjadi perang di negara mereka serta akibatnya ditanggung oleh anak-anak mereka sampai beberapa tahun ke depan. Cerita selesai dimaknai, para turis asing dengan takzim membunyikan lonceng perdamaian bersama-sama.

Tidak jauh berjalan lagi, terlihat satu area yang diapit oleh 2 etalase kaca yang berisikan ribuan origami burung, dibentuk menjadi berbagai rupa (ada yang berbentuk lukisan, tulisan, untaian seperti lonceng) dan warna. Di balik etalase ini terlihat monumen tidak seberapa tinggi berhiaskan patung 3 anak kecil di puncaknya. Inilah Children’s Peace Monument, dibangun untuk mengenang seorang gadis kecil bernama Sadako Sasaki yang meninggal setelah berjuang melawan leukemia akibat radiasi nuklir setelah peristiwa pengeboman Hiroshima. Dampak penjatuhan bom atom memang tidak hanya dirasakan di tahun 1945 saja namun sampai ke tahun 1949, di mana di kemudian hari banyak anak-anak dan orang dewasa yang terdeteksi mengalami kanker atau cacat bawaan akibat radiasi yang begitu besar beberapa tahun silam.

Di depan monumen ini telah mengantre ratusan murid dari berbagai sekolah untuk menyanyikan himne penghargaan kepada anak-anak korban Hiroshima. Mereka menyanyikan himne tidak sembarang saja, sangat terlihat kalau mereka betul-betul mempersiapkan acara penghormatan. Murid demi murid berbaris rapi, seorang murid yang menjadi kondaktor berdiri di hadapan kawan-kawannya, sedang CD rekaman minus one diputar untuk mengiringi nyanyian (saya sempat merekam acara ini, namun sayangnya tidak dapat diunggah ke Kompasiana. Bagi yang ingin melihat bisa ke instagram saya @kurniawanwenny). Usai bernyanyi, 3 murid perwakilan sekolah menyerahkan rangkaian origami burung yang sangat indah dan kreatif untuk dipajang di etalase, lalu tiba giliran murid dari sekolah lain yang berdiri di sana memberikan penghormatan.

Kota Hiroshima memang seakan-akan meneriakkan perdamaian dari seluruh sudut kotanya. Mereka sangat menghimbau agar perang tidak perlu terjadi lagi dengan alasan apa pun, karena tidak peduli pihak siapa yang benar siapa yang salah, perang akan selalu menyisakan luka di hati dan korban tidak bersalah pasti berjatuhan.

Saya ingin bercerita sedikit tentang museum yang berada di dalam taman ini. Pintu masuknya tepat di samping Atomic Hypocenter, tempat pertama kali bom atom dijatuhkan. Memasuki ruangan ini awalnya agak seram karena suasana sangat gelap dan diam. Kita harus berjalan melingkar turun dan di sepanjang dinding lingkaran itu tertuliskan apa yang terjadi di tanggal 6 Agustus 1945 yang naas tersebut. Tiba di tengah gedung terdapat batu besar yang dikelilingi relik berukir suasana Kota Hiroshima ketika bom dijatuhkan, diukir halus-halus dan berkilap. Hanya itu saja museumnya, kemudian kita akan dihantarkan naik ke tingkat 2 museum.

Di sisi kanan yang mengarah ke toilet (saya sampai segan menggunakan toilet karena kelihatan sepi dan seram walaupun sangat bersih) terdapat foto-foto korban Hiroshima, hampir semuanya berupa pas foto hitam putih yang sudah di-scan dengan potongan rambut dan pakaian zaman dulu. Dan di bawah foto-foto tersebut terdapat komputer untuk mengakses nama-nama korban Hiroshima yang hilang atau meninggal atau tidak terdapat fotonya di kumpulan foto di atasnya. Beberapa generasi tua terlihat mengetikkan nama seseorang, mungkin kerabat atau kenalannya, pada komputer tersebut. Bagian yang paling terenyuh adalah ruangan tepat sebelum pintu keluar. Ruangan teater mini tersebut memutarkan testimoni anak-anak korban Hiroshima yang berhasil terselamatkan ketika itu karena masih sempat diungsikan oleh orang tuanya. Saya hanya sempat mendengar cerita dari seorang anak (ada terjemahan bahasa Inggrisnya) seperti demikian:

“Hari itu saya diungsikan oleh papa dan mama saya ke rumah saudara di kota lain. Katanya suasana kota Hiroshima genting dan sebaiknya anak-anak dipindahkan ke tempat yang aman. Abang saya bersekolah sehingga tidak dapat ikut mengungsi, sehingga papa dan mama menemani abang saya di kota. Besoknya, terdengarlah berita bahwa kota kami telah dijatuhi oleh bom. Saya yang waktu itu masih kecil hanya mendengar kisah dari papa yang datang ke desa tempat saya mengungsi dalam keadaan menyedihkan. Luka bakar memenuhi badannya dan bajunya hangus. Kata papa saya, pagi itu di ruang makan ketika sedang bercengkerama dengan mama, tiba-tiba ada cahaya yang sangat menyilaukan sampai mata tidak dapat melihatnya. Cahaya itu datang bersamaan dengan suara kaca pecah disusul rasa panas yang tidak tertahankan. Otot terasa meleleh dari tulang, apalagi kulit. Keadaan sangat kacau waktu itu, papa teringat anak sulungnya yang di sekolah. Rumah kami terbakar. Papa mengajak mama untuk pergi mencari abang saya, akan tetapi ternyata mama terjepit oleh tiang kayu atap rumah dari pinggang ke bawah sehingga tidak bisa pergi.

‘Kamu pergi saja, kamu cari anak kita,’ papa mengulang apa yang dikatakan mama. Tentu saja papa saya tidak mau meninggalkan mama sendirian karena itu artinya memasrahkan mama kepada tangan maut. ‘Tidak mau,’ kata papa, ‘Kalau kamu mati di sini, maka saya juga mati di sini.’ Tetapi mama kemudian berkata hal yang membuat papa saya teramat sedih ,’Kalau kita berdua mati di sini, maka anak-anak kita akan menjadi yatim piatu. Biarlah saya mati di sini, tetapi anak-anak kita masih punya seorang papa.’ Demi mendengar ucapan mama, maka dengan berat hati papa pun pergi mencari abang saya.

Keluar dari rumah, keadaan sudah kisruh dan kacau. Papa bercerita banyak orang berteriak-teriak minta tolong dengan kulit meleleh dan tulang terlihat. Ibu-ibu bingung mencari anak-anak mereka, para ayah sibuk menyibak tumpukan mayat yang bergelimpangan di jalan mencari orang yang dicintai. Papa segera berlari ke sekolah abang, tetapi abang tidak nampak di sana. Akhirnya dengan putus asa, papa menunduk dan berjalan sampai melihat tempat tubuh-tubuh yang setengah terpanggang setengah sekarat di pinggir jalan. Tiba-tiba papa mendengar suara yang dikenalnya memanggil pelan,’Papa…papa..’ Papa pun berlari mencari pemilik suara. Keadaan abang sudah sangat parah, bagian dalam mulutnya putih semua dan bengkak akibat luka bakar. ‘Papa di sini, nak’ , demikian kata papa. ‘Papa.. panas.. saya mau minum..,’ demikian rintih abang. Apa daya, tidak ada air sama sekali. Papa hanya memeluk tubuh abang sampai abang menghembuskan napas terakhirnya.

Kisah ini sangat menyedihkan. Saya hanya hanya mendengar satu kisah ini, kemudian memutuskan untuk keluar dari museum. Suasana berduka dan jerih terasa pekat di dalam sana. Di depan taman terdapat simbol perdamaian Kota Hiroshima, harus dilihat dari depan. Bentuknya setengah lingkaran agak menonjol bagian atasnya, di tengah-tengahnya terdapat kobaran api dengan latar Genbaku di kejauhan, berada di dalam setengah lingkaran itu melambangkan biarlah Hiroshima saja yang cukup merasakan penderitaan akibat kekejaman perang, dan biarlah api perdamaian terus berkobar demi korban-korban perang yang telah berjatuhan.

  1. Pulau Miyajima

Anda pernah melihat foto di kalender Jepang berlatar matahari tenggelam ke balik gerbang kuil yang mengapung di atas pantai? Ternyata pulau inilah inspirasinya! Pulau Miyajima kecil dan anggun, tidak kalah otentik dibandingkan kota Kyoto yang sudah mashyur dengan “Japan traditional”nya. Saya tidak sengaja menemukan pulau ini ketika sedang mencari di laman internet mengenai kota Hiroshima. Bagi Anda pecinta fotografi, saya sangat menyarankan Pulau Miyajima. Jenguklah keanggunan pulau ini, maka Anda akan tercekat dengan keindahannya!

Untuk mencapai pulau Miyajima dari tempat saya, bisa menggunakan subway JR, turun di stasiun terakhir (Hiroshima Port), kemudian dilanjutkan dengan ferry. Ferry yang mengantarkan dari dan ke pulau Miyajima ada 2 : JR dan Matsudai. Karena saya menggunakan JR Pass maka tentu saya memilih naik ferry JR karena jadi gratis! Perjalanan dengan ferry ditempuh selama 10 menit saja. Saya tiba di pulau ini ketika menjelang sunset (memang rencananya mau mengambil gambar sunset soalnya), tapi ada yang disayangkan yaitu banyak toko dan rumah makan sudah tutup menjelang jam 5-6 sore! Sayang sekali, padahal dummy makanan di depan kedai-kedai makan nampaknya enak semua dan murah! (masalah makan juga sangat murah di Hiroshima).

Gerbang kuil yang mengambang di tengah pantai berwarna orange menyala adalah gerbang dari kuil Itsukushima. Kuilnya sendiri sudah tutup ketika saya ke sana, namun masih banyak orang yang menanti matahari tenggelam sambil mengabadikan dengan kamera masing-masing.
Tidak jauh dari Itsukushima Shrine, terdapat pagoda 5 tingkat yang terbuat dari kayu, lagi-lagi sudah tutup ketika saya ke sana. Untuk mencapai pagoda kita harus menaiki cukup banyak anak tangga. Sebagian pulau Miyajima dapat terlihat dari puncak tangga. Karena sudah banyak kuil dan rumah makan yang tutup akhirnya saya dan suami memutuskan untuk berjalan-jalan saja mengelilingi pulau kecil ini sambil sekalian jalan ke pelabuhan kembali. Tidak lupa kami membeli oleh-oleh khas Hiroshima di sini, yaitu kue momiji manju yang berbentuk seperti daun maple. Jalan-jalan di pulau kecil Miyajima menyenangkan, apalagi ditemani semilir angin sore menjelang malam yang tidak terlalu dingin, rusa besar-besar yang berkeliaran bebas, dan suasana zaman dulu. Untuk yang ingin menginap di pulau Miyajima, tampaknya saya banyak melihat ryokan di sekitar sini
Hiroshima menjadi puncak perjalanan saya ke Jepang. Mulai dari nikmatnya suasana kota kecil yang tidak rusuh, sejarah yang disimpan oleh kota ini, cinta damainya Hiroshima, dan ditutup dengan anggunnya Pulau Miyajima. Bagi Anda yang sedang menyusun itinerary ke Jepang, saya rasa Hiroshima pantas dipertimbangkan untuk dikunjungi. Bagi Anda para pemburu foto alam yang cantik, Pulau Miyajima sabar menunggu kedatangan Anda! =)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun