Di sisi kanan yang mengarah ke toilet (saya sampai segan menggunakan toilet karena kelihatan sepi dan seram walaupun sangat bersih) terdapat foto-foto korban Hiroshima, hampir semuanya berupa pas foto hitam putih yang sudah di-scan dengan potongan rambut dan pakaian zaman dulu. Dan di bawah foto-foto tersebut terdapat komputer untuk mengakses nama-nama korban Hiroshima yang hilang atau meninggal atau tidak terdapat fotonya di kumpulan foto di atasnya. Beberapa generasi tua terlihat mengetikkan nama seseorang, mungkin kerabat atau kenalannya, pada komputer tersebut. Bagian yang paling terenyuh adalah ruangan tepat sebelum pintu keluar. Ruangan teater mini tersebut memutarkan testimoni anak-anak korban Hiroshima yang berhasil terselamatkan ketika itu karena masih sempat diungsikan oleh orang tuanya. Saya hanya sempat mendengar cerita dari seorang anak (ada terjemahan bahasa Inggrisnya) seperti demikian:
“Hari itu saya diungsikan oleh papa dan mama saya ke rumah saudara di kota lain. Katanya suasana kota Hiroshima genting dan sebaiknya anak-anak dipindahkan ke tempat yang aman. Abang saya bersekolah sehingga tidak dapat ikut mengungsi, sehingga papa dan mama menemani abang saya di kota. Besoknya, terdengarlah berita bahwa kota kami telah dijatuhi oleh bom. Saya yang waktu itu masih kecil hanya mendengar kisah dari papa yang datang ke desa tempat saya mengungsi dalam keadaan menyedihkan. Luka bakar memenuhi badannya dan bajunya hangus. Kata papa saya, pagi itu di ruang makan ketika sedang bercengkerama dengan mama, tiba-tiba ada cahaya yang sangat menyilaukan sampai mata tidak dapat melihatnya. Cahaya itu datang bersamaan dengan suara kaca pecah disusul rasa panas yang tidak tertahankan. Otot terasa meleleh dari tulang, apalagi kulit. Keadaan sangat kacau waktu itu, papa teringat anak sulungnya yang di sekolah. Rumah kami terbakar. Papa mengajak mama untuk pergi mencari abang saya, akan tetapi ternyata mama terjepit oleh tiang kayu atap rumah dari pinggang ke bawah sehingga tidak bisa pergi.
‘Kamu pergi saja, kamu cari anak kita,’ papa mengulang apa yang dikatakan mama. Tentu saja papa saya tidak mau meninggalkan mama sendirian karena itu artinya memasrahkan mama kepada tangan maut. ‘Tidak mau,’ kata papa, ‘Kalau kamu mati di sini, maka saya juga mati di sini.’ Tetapi mama kemudian berkata hal yang membuat papa saya teramat sedih ,’Kalau kita berdua mati di sini, maka anak-anak kita akan menjadi yatim piatu. Biarlah saya mati di sini, tetapi anak-anak kita masih punya seorang papa.’ Demi mendengar ucapan mama, maka dengan berat hati papa pun pergi mencari abang saya.
Keluar dari rumah, keadaan sudah kisruh dan kacau. Papa bercerita banyak orang berteriak-teriak minta tolong dengan kulit meleleh dan tulang terlihat. Ibu-ibu bingung mencari anak-anak mereka, para ayah sibuk menyibak tumpukan mayat yang bergelimpangan di jalan mencari orang yang dicintai. Papa segera berlari ke sekolah abang, tetapi abang tidak nampak di sana. Akhirnya dengan putus asa, papa menunduk dan berjalan sampai melihat tempat tubuh-tubuh yang setengah terpanggang setengah sekarat di pinggir jalan. Tiba-tiba papa mendengar suara yang dikenalnya memanggil pelan,’Papa…papa..’ Papa pun berlari mencari pemilik suara. Keadaan abang sudah sangat parah, bagian dalam mulutnya putih semua dan bengkak akibat luka bakar. ‘Papa di sini, nak’ , demikian kata papa. ‘Papa.. panas.. saya mau minum..,’ demikian rintih abang. Apa daya, tidak ada air sama sekali. Papa hanya memeluk tubuh abang sampai abang menghembuskan napas terakhirnya.
Kisah ini sangat menyedihkan. Saya hanya hanya mendengar satu kisah ini, kemudian memutuskan untuk keluar dari museum. Suasana berduka dan jerih terasa pekat di dalam sana. Di depan taman terdapat simbol perdamaian Kota Hiroshima, harus dilihat dari depan. Bentuknya setengah lingkaran agak menonjol bagian atasnya, di tengah-tengahnya terdapat kobaran api dengan latar Genbaku di kejauhan, berada di dalam setengah lingkaran itu melambangkan biarlah Hiroshima saja yang cukup merasakan penderitaan akibat kekejaman perang, dan biarlah api perdamaian terus berkobar demi korban-korban perang yang telah berjatuhan.
- Pulau Miyajima
Anda pernah melihat foto di kalender Jepang berlatar matahari tenggelam ke balik gerbang kuil yang mengapung di atas pantai? Ternyata pulau inilah inspirasinya! Pulau Miyajima kecil dan anggun, tidak kalah otentik dibandingkan kota Kyoto yang sudah mashyur dengan “Japan traditional”nya. Saya tidak sengaja menemukan pulau ini ketika sedang mencari di laman internet mengenai kota Hiroshima. Bagi Anda pecinta fotografi, saya sangat menyarankan Pulau Miyajima. Jenguklah keanggunan pulau ini, maka Anda akan tercekat dengan keindahannya!
Untuk mencapai pulau Miyajima dari tempat saya, bisa menggunakan subway JR, turun di stasiun terakhir (Hiroshima Port), kemudian dilanjutkan dengan ferry. Ferry yang mengantarkan dari dan ke pulau Miyajima ada 2 : JR dan Matsudai. Karena saya menggunakan JR Pass maka tentu saya memilih naik ferry JR karena jadi gratis! Perjalanan dengan ferry ditempuh selama 10 menit saja. Saya tiba di pulau ini ketika menjelang sunset (memang rencananya mau mengambil gambar sunset soalnya), tapi ada yang disayangkan yaitu banyak toko dan rumah makan sudah tutup menjelang jam 5-6 sore! Sayang sekali, padahal dummy makanan di depan kedai-kedai makan nampaknya enak semua dan murah! (masalah makan juga sangat murah di Hiroshima).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H