Ramadan adalah bulan yang selalu saya tunggu dengan segenap pengharapan. kehadirannya juga membawa suka cita mendalam.
Pengharapan saya untuk Ramadan kali ini adalah bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Sebab, menurut keyakinan saya, Ramadan adalah wadah untuk mengasah diri menjadi manusia yang lebih baik.
Berbeda dengan tahun ini, biasanya ditahun-tahun lampau saya selalu bersuka cita setiap Ramadan menjelang. Banyak hal sebetulnya yang membuat saya merasa senang dan berbahagia. Hal yang paling utama yang membuat saya bersuka cita adalah bisa kembali mereguk nikmatnya ibadah puasa. Ibadah yang menjanjikan banyak pahala.
Selain itu, kedatangan Ramadan selalu jadi momen berkumpul bagi saya bersama orang tua dan saudara saya yang lain. Paling tidak di pada hari pertama Ramadan kami beradik kakak yang tinggal berjauhan namun masih dalam satu provinsi akan datang ke rumah orang tua.
Selanjutnya kami akan menghabiskan awal Ramadhan di rumah orang tua barang satu atau dua hari sampai kemudian terpaksa harus pergi lagi karena tugas kerja yang memanggil.
Biasanya Ibu akan memasak makanan istimewa pada sahur pertama.Bahkan sehari sebelum kami anak-anaknya pulang, ibu dan ayah biasanya membuat makanan tradisional daerah kami untuk disamtap bersama sehari sebelum melaksanakan ibadah puasa.
Sedikit berbagi cerita, di kampung kami memang masih ada kebiasaan menyambut Ramadan dengan makanan khas seperti membuat lemang (lamang). Yaitu  makanan yang terbuat dari beras pulut dan diberi santan serta dimasak dalam batabg bambu.Â
Selain itu budaya  mambantai pun masih ada. Mambantai berarti menyembelih. Jadi mambantai adalah kebiasaan di daerah kami sejak dahulunya. Dimana para penjual daging di pasar sengaja memotong sapi atau kerbau lebih banyak dari biasanya untuk khusus untuk menyambut kedatangan Ramadan.
Lalu, masyarakat biasanya akan tumpah ruah membeli sekilo atau dua kilo daging tersebut untuk dinikmati bersama keluarga sehari sebelum Ramadan. Bahkan tak jarang masakan daging tersebut disisakan untuk menu sahur pertama.
Bagi keluarga yang kurang mampu membeli daging, biasanya tetap berusaha melakukan tradisi ini. Paling tidak mereka akan memotong satu ekor ayam peliharaan sebagai tanda ikut serta menyambut kedatangan Ramadan.
Tahun ini, semua terasa berbeda. Suasana seperti itu tidak saya dapat dinikmati lagi. Kehadiran pandemi Covid-19 telah merubah suasana Ramadan kali ini. Ini merupakan momen yang cukup sulit bagi saya.
Pertama, saya tidak pulang ke rumah orang tua untuk berkumpul dan menyambut Ramadan bersama, sebagaimana kebiasaan selama ini. Ini adalah momen pertama saya tidak melaksanakan sahur dan puasa pertama bersama orang tua. Termasuk berkumpul dengan saudara saya yang juga biasanya menyempatkan diri datang ke rumah orang tua kami.
Jika dibandingkan dengan saudara saya yang lain, sebenarnya jarak rumah saya dengan orang tua yang paling dekat. Hanya lebih kurang 25 kilometer dan tidak menghabiskan waktu 30 menit perjalanan dengan kendaraan.
Namun tetap saja saya tidak bisa pulang di hari pertama bulan puasa kali ini. Selain disebabkan adanya himbauan stay at home, Â saya juga memiliki sedikit kekhawtiran tentang kesehatan saya saat itu. dimana saya baru saja sembuh dari demam beberapa hari sebelumnya. Hal ini yang membuat saya terpaksa memilih untuk diam di rumah karena kondisi kesehatan yang rentan untuk dibawa keluar rumah.
Demikian pula dengan saudara-saudara saya yang lain.Tempat tinggal yang lebih jauh dan berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah kami membuat mereka terpaksa tidak bisa mendatangi kediaman orang tua. Untunglah ada salah seorang adik saya yang bisa datang dan menghabiskan Ramadan kali ini bersama orang tua. Setidaknya hal itu sedikit menghilangkan kesedihan orang tua kami. Â
Jadilah ini, momen pertama saya tidak berkumpul bersama orang tua di awal Ramadan kali ini. Saya merasa sangat sedih, karena bagi saya itu adalah sebuah kebiasaan yang sangat dinikmati oleh orang tua kami. Berkumpul bersama anak-anaknya di bulan suci bagi mereka adalah berkah tak terkira. sebuah tradisi yang cukup mengakar dalam keluarga saya.
Termasuk membantai. kali ini pun orang tua tidak mengikuti tradisi tersebut. Bahkan sekedar membuat makanan istimewa semacam lemang pun mereka tiadakan. Karena bagi mereka itu mungkin tak ada gunanya karena kami sebagian besar anak-anaknya tidak bersama mereka.
Selain tidak bisa berkumpul bersama orang tua dan saudara saya yang lainnya, saya juga merasakan momen tersulit lainnya. Yakni tidak bisa menikmati nikmatnya melaksanakan ibadh shalat tarwih secara berjamaah di masjid atau mushalla.
Biasanya dihari-hari pertama puasa saya melaksanakan shalat tarwih di masjid dekat rumah orang tua. Masjid yang sangat akrab dengan masa kecil saya. Tempat saya dulunya biasa mengaji bersama teman-teman.
Melaksanakan shalat tarwih di sana di awal bulan Ramadan merupakan berkah tersendiri. Saya begitu menikmati bersua dengan tetangga lama maupun teman sepermainan sewaktu kecil. Pada Ramadan kali ini semua hal tersebut tidak bisa saya rasakan lagi.
Begitupun di rumah tempat tinggal saya saat ini. Saya bersama keluarga kecil, tidak bisa menikmati shalat tarwih berjamaah bersama tetangga satu komplek. Padahal biasanya, selain untuk beribadah, momen ini juga saya nikmati untuk  saling berjumpa dan bersilaturahmi dengan para tetangga.
Namun meskipun demikian, mau tak mau saya harus menerima ini dengan lapang dada. Sekali ada kesedihan dan terasa sulit, namun keadaan ini yang meski dijalani di masa pandemi ini.
Masa yang memang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Perubahan besar dan terjadi dengan tiba-tiba dalam hidup kita. Saya hanya berharap, semoga pandemi ini cepat berlalu dan kita dapat menikmati kembali suasana normal seperti sediakala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H