Itu benar. Buat apa susah payah mengingat nama orang yang mungkin tidak akan kautemui lagi sepanjang sisa hidupmu?
"Syair Shakespeare, ya."
Kau terkekeh-kekeh, sementara aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersinggung.
"Baiklah, Nona. Kita bisa berbagi meja, kan?"
Sungguh, kau mahir sekali membuat orang lain kesal, bahkan hanya dengan nada bicaramu.
"Berhenti. Itu menggelikan."
Aku menggeser kursi, duduk di hadapanmu dan secara sengaja meletakkan ponselku yang bergetar tiap dua menit sekali di dekat cangkir kopi milikmu.
Dan entah bagaimana awalnya, kita berbicara santai seperti kawan lama, bahkan tanpa saling mengetahui nama masing-masing. Aku bercerita tentang anak bebek yang berubah menjadi bayi kura-kura di kolam belakang rumahku. Kau memperkenalkanku kepada arwah ikan-ikanmu yang mati setelah akuarium tempat mereka tinggal ditelan seekor tokek. Aku katakan cita-citaku mengoleksi berbagai jenis kupu-kupu yang diawetkan dan disimpan dalam kotak kaca. Kau berniat memelihara gagak seperti wanita tua di sebelah rumahmu.
Percakapan mengalir tanpa tujuan sampai tahu-tahu, dua porsi takoyaki sudah habis kumakan. Aku kehabisan waktu. Kutepuk pundakmu dua kali sebagai penghargaan sebelum beranjak pergi dari kedai itu.
Kau berlari cepat mengejarku. Di depan kedai, kau berteriak, "Tunggu! Boleh aku tahu namamu?"
Langkahku tidak melambat, sementara kau memutuskan untuk paham dan tidak mengejarku lebih jauh. Kau tidak perlu tahu namaku, seperti aku tidak perlu tahu namamu. Sesuatu menjadi manis jika kau hanya mencicipinya sekali.