Mohon tunggu...
Aya
Aya Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Peri penjaga perapian di rumah Sylvia Plath.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Simpan Saja Namamu dalam Saku, Kita Tidak Jadi Siapa-siapa Hari Ini

7 September 2023   11:16 Diperbarui: 7 September 2023   21:22 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama adalah perkara rumit yang jika dibicarakan akan menghabiskan beribu-ribu kata--dan seringkali berakhir sia-sia. Sama seperti kedai takoyaki di ujung gang yang tidak sengaja kutemukan beberapa waktu lalu, takoyaki di sana bahkan tidak pakai gurita, padahal "tako" berartikan 'gurita' dalam bahasa Jepang. Takoyaki tanpa "tako" apakah masih bisa disebut takoyaki? Entahlah. Buat apa memusingkan hal itu? Toh, bola tepung yang dijual di sana rasanya lebih enak dari tempat lain, bahkan jika isiannya adalah udang dan ikan, bukan gurita.

Orang-orang mudah melupakan sebuah nama, tetapi terlalu pandai mengingat hal-hal yang tidak semestinya diperdebatkan. Bagiku, bepergian ke sudut Kota Carden seperti tamasya ke surga. Tidak ada gedung-gedung tinggi, deru kendaraan, atau pengemis-pengemis kurang ajar yang mulutnya minta dijejali sepatu. Tempat itu seperti kebenaran dari kehidupan. Di mana manusia bisa memperlihatkan warnanya tanpa perlu merasa berdosa.

Hak sepatuku menimbulkan bunyi ketukan ketika melangkah memasuki gang yang jalannya bertabur kerikil. Anak-anak berlarian di sekitar, kucing-kucing hitam berkeliaran seperti utusan penyihir, wanita-wanita bicara dengan suara paling keras yang mereka punya, jemuran--dari seprai sampai pakaian dalam--membentang dari rumah susun satu ke rumah susun lain beberapa meter di atas kepalaku. Langit mendung mengantarkan lebih banyak nyamuk. Kubayangkan nyamuk-nyamuk itu sedang mencari harta karun atau mantra pematah kutukan sehingga senantiasa bertanya kepada setiap orang yang mereka temui, tetapi mereka tidak pernah berhasil karena manusia lebih suka menyingkirkan hal-hal yang sulit dimengerti.

Kedai takoyaki mulai terlihat, bangunannya kecil seakan-akan pemiliknya begitu miskin, terlebih cat merah tuanya yang sudah mengelupas dimakan cuaca membuatnya seperti tidak terurus. Hal lain yang menyenangkan dari kedai tersebut adalah mereka tidak menyediakan takoyaki isi mozarella. Demi apa pun, manusia yang meletakkan mozzarella di setiap makanan lebih aneh dari alien yang dipuja bangsa Mesopotamia kuno.

Kupesan dua porsi takoyaki isi ikan sebelum menuju meja paling ujung--yang sudah aku anggap milikku sejak kunjungan pertama ke kedai itu.

Saat itulah aku melihat kau, lelaki dengan rambut model jamur aneh dan kacamata tebal seperti orang yang sudah minus sejak lahir. Anehnya, alih-alih terlihat cupu atau canggung, gerak-gerikmu begitu percaya diri, penampilanmu juga terlihat cukup manis. Kejutan lain, kau membaca buku karya Kawabata ditemani secangkir kopi hitam serta sepenggal roti yang aku tahu betul tidak pernah tertera dalam menu.

"Itu mejaku."

Kau menoleh, alismu berkerut, mungkin merasa aneh karena tiba-tiba ada perempuan datang, lalu mengakui meja umum di sebuah kedai sebagai miliknya, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak merasa harus menyapa siapa pun yang mencuri milikku.

"Aku tidak tahu," jawabmu. Entah sengaja mengalah atau memang merasa bersalah. Kemudian, kau mengulurkan tangan. "Namamu? Aku--"

"Aku tidak mau tahu. Lagi pula apalah arti sebuah nama," jawabku cepat sebelum kau sempat menyelesaikan kalimat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun