Dewi Kuan Im melenggang santai di teras kelenteng. Sebelah tangannya memegang sebatang rumbai. Sebelah lainnya, menopang rumbai itu.
Rumbai itu lalu ia berikan ke seorang petugas kelenteng yang berdiri tak jauh darinya. Sebagai gantinya, ia meminta angpao -- sebuah amplop berwarna merah.
Kini, di sela-sela jari telunjuk dan tengahnya telah terselip angpao kecil. Ia berjalan lagi. Sepasang matanya seperti mencari-cari.
Mata itu tertumbuk ke satu sisi. Di sana berdiri seorang anak kecil memunggunginya.
Ia sentuh pundak anak itu. Yang disentuh menengok. Wajahnya nampak kaget. Di belakangnya, Dewi Kuan Im lurus memandangnya. Sambil tangan kanannya menyodorkan angpao.
"Ambil-ambil," perintah seorang tua.
Anak itu takut-takut menarik angpao dari selipan tangan Dewi Kuan Im. Ia menggenggamnya sambil tetap memperhatikan Dewi Kuan Im. Tidak ada senyum, tidak ada kata-kata, sang dewi hanya mengangguk kecil. Lalu sepasang matanya kembali menjelajah.
Dewi Kuan Im merupakan dewi pelindung, menurut kepercayaan masyarakat Buddha. Ketika ia turun ke bumi dalam perantara manusia, masyarakat pun berduyun-duyun mendekati. Mereka mengharapkan berkah, seperti perubahan nasib atau juga meminta kesembuhan dan dewi akan membantu mereka.
Pagi itu, Dewi Kwan Im turun ke bumi. Ia hadir dalam tubuh seorang manusia -- seorang wanita. Ini hari yang spesial, hari ulang tahun Dewa Cho Se Kong. Pada hari ini, semua dewa berkeliling dari satu kelenteng ke kelenteng lainnya. Ia akan menjamu mereka dengan arak saat tiba di kelentengnya nanti.
Dewi Kwan Im menunggu di depan kelenteng bersama panglima perangnya. Ia duduk diam sembari memutar biji tasbih kayu di tangan. Sementara sang panglima perang duduk agak membungkuk. Ia menggoyang-goyangkan kakinya. Tusukan besi di kedua lengannya ikut bergerak-gerak pun demikian dengan pedang yang ia pegang.
Mendengar suara tabuhan gendang dan petasan, badan keduanya langsung tegak. Si panglima perang berdiri cepat. Dewi Kuan Im mengikuti dengan gerakan lebih halus. Dari kejauhan nampak tiga dewa berjalan beriringan. Dua lainnya menyusul kemudian.Â
Si panglima perang merentangkan tangannya mengarah ke pintu masuk kelenteng, mempersilakan para dewa itu masuk. Satu per satu dewa melewatinya sambil mengangguk. Di akhir rombongan, ia turut masuk.
Di teras kelenteng sudah diletakkan dua meja dan kursi-kursinya. Para dewa duduk mengitari meja itu. Dewi Kuan Im dan Panglima Perang duduk di bagian paling ujung.
Gelas-gelas kecil dikeluarkan dan ditata di hadapan masing-masing Dewa -- tiga gelas seorang. Kecuali Dewi Kuan Im yang hanya meminta satu gelas saja.
Pengiring lantas menuangkan arak di masing-masing gelas. Saat Panglima Perang mengangkat kembali tangannya, semua dewa mengambil gelas dan menenggaknya. Kepala mereka bergoyang-goyang seperti tengah berbincang, namun mulut mereka terkatup.
Jamuan minum arak itu akan berlangsung tak sampai lima menit. Usai menuntaskan tiga gelas arak itu, rombongan para dewa akan meninggalkan kelenteng. Sebelum beranjak pergi, mereka akan masuk ke kelenteng dan berdoa sebentar. Dewi Kwan Im dan Panglima Peran akan ikut berarak bersama rombongan, mengunjungi kelenteng-kelenteng lainnya.
Perantara Itu BernamaTang Ki
Jamuan minum arak para dewa itu hanya berlangsung setahun sekali. Yaitu, saat Festival Chue Lak di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti -- Riau. Festival ini digelar untuk merayakan hari ulang tahun Dewa Cho Se Kong. Tepatnya, di hari keenam setelah Imlek.
Hanya Selatpanjang yang menggelar perayaan tersebut. Sebab, wujud asli Dewa Cho Se Kong hanya ada di sana. Ia bersemayam di dalam Vihara Sejahtera Sakti, vihara tertua di Selatpanjang, bersama dengan Dewa Tua Pek Kong. Nenek moyang mereka membawa keduanya lari dari pemerintahan komunis yang tengah menguasai Tiongkok lebih dari seabad lalu.
Para Tang Ki akan memperagakan para dewa. Mereka akan didandani dengan pakaian para dewa zaman dahulu. Biasanya, busana atasannya saja. Untuk busana bawahan, mereka bebas memilih, hendak mengenakan celana pendek, kain, atau jeans. Mereka juga bebas memilih alas kaki. Ada yang mengenakan sepatu kets, sandal, dan bahkan bertelanjang kaki.
Tubuh sebagian besar Tang Ki ditusuki dengan besi-besi panjang. Ada yang ditusuk di area sekitar mulut, hidung, dada, dan lengan. Dewi Kwan Im, namun demikian, tidak ditusuk-tusuk. Penampilannya anggun.
Para Tang Ki itu akan didampingi seorang atau dua pengiring. Mereka akan selalu berada di samping Tang Ki. Ketika dewa yang merasuki Tang Ki membutuhkan sesuatu, mereka akan sigap melayani. Mereka juga yang membetulkan busana atau besi-besi yang tertanam di tubuh para Tang Ki tersebut.
Chue Lak Jadi Agenda Pariwisata Tahunan
Masyarakat Tionghoa Selatpanjang bersuka-cita dalam Festival Chue Lak. Mereka memadati tepian jalan dan menyambut datangnya rombongan para dewa. Wajah mereka sumringah, serasi dengan pakaian berwarna merah yang mereka kenakan.
Anak-anak kecil akan berebut memberikan angpao kepada Barongsai. Mereka akan memberikan angpao dari lantai dua rumah mereka. Barongsai akan berdiri dan memungut angpao tersebut dengan mulutnya.
Ketika kemudian rombongan para dewa lewat, masyarakat Tionghoa akan menyulut lidi merah dan membungkuk-bungkukkan badan. Terlebih saat tandu yang membawa Dewa Cho Se Kong datang. Mereka memohon keberkahan dewa yang sedang berulang-tahun.
Masyarakat Tionghoa di luar Selatpanjang berbondong-bondong kembali ke kampung halaman demi acara tersebut. Para pewarta media, pewarta warga, ataupun peminat foto juga hadir demi mengabadikan peristiwa yang tak setiap hari ada itu. Tiket kapal habis dipesan. Hotel dan penginapan penuh. Acara ini hanya berlangsung selama satu hari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H