Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengenal Datuk Ladang Kecil, Dewa Melayu dari Rangsang

7 Maret 2018   17:44 Diperbarui: 7 Maret 2018   19:50 3726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki 55 klenteng, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Dari jumlah tersebut, hanya ada satu yang bernafaskan melayu. Klenteng Datuk Ladang Kecil, namanya.

Matahari sudah berada di atas kepala saat kami, akhirnya, sampai di klenteng itu. Klenteng Datuk Ladang Kecil, namanya. Klenteng Datuk Ladang Kecil merupakan sebuah klenteng dengan perpaduan budaya Tiongkok dan melayu Islam. Letaknya persis di tepi Selat Malaka, Dusun Ladang Kecil, Desa Bungur Kecamatan Rangsang Pesisir -- Kabupaten Kepulauan Meranti.

Perjalanan ke sana cukup memakan waktu. Dari Selat Panjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti - yang berada di Pulau Tebing Tinggi, kami harus menyeberang dengan menggunakan kempang. Penyeberangan memakan waktu selama kurang-lebih 20 menit.

Sesampainya di Pulau Rangsang, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Jalan yang kami lalui masih didominasi jalan setapak. Ladang, kebun, dan semak belukar berganti-gantian mengiringi perjalanan.

Tidak banyak warga yang tahu keberadaan Klenteng Datuk Ladang Kecil ini. Sebab, ada tiga buah kelenteng yang berada di tepi Selat Malaka di ujung Pulau Rangsang tersebut. Kami hanya berbekal informasi berupa patung datuk bersorban dan namanya yang bertuliskan arab melayu.

Dua klenteng yang kami lalui tidak sesuai dengan bekal informasi kami. Klenteng pertama bernama Klenteng Jaya Sakti. Sementara klenteng lainnya berlokasi di Panglong. Kami hampir putus asa saat kemudian kami melihat atap bangunan berwarna merah dengan ornamen berwarna-warni. Letaknya cukup tersembunyi di antara bangunan-bangunan rumah di kawasan tersebut. Klenteng itulah rupanya Klenteng Datuk Ladang Kecil yang kami cari-cari.

Tempat ibadah bagi warga Tionghoa ini diperkirakan sudah ada sejak seratus tahun silam. Meski ornamen dan ukiran gedung ini masih didominasi bentuk khas negeri tirai bambu, namun di bagian atap tidak ada satu pun patung naga seperti layaknya klenteng. Yang ada justru bulan dan bintang persis seperti bagian atas kubah masjid atau surau.

Di bagian dalam terdapat sebuah patung. Rupanya sangat berbeda dengan patung dewa yang biasanya ada di klenteng-klenteng di Meranti. Tingginya hanya sekitar 30 sentimeter. Dalam keadaan duduk sedang memegang tongkat di tangan kanan dan mangkuk emas di tangan kiri. Ada songkok atau kopiah di kepalanya dan kain di bagian bawah.

Di belakang patung itu terdapat sebuah papan bertuliskan arab melayu: Datuk Ladang Kecil Rangsang. Diikuti angka 18-12-1975 lalu beberapa baris huruf kanji atau cina.

Amo, 69, pelayan Datuk Ladang Kecil yang bertugas menjaga klenteng tersebut mengaku tidak tahu pasti sejarah awal Datuk Ladang Kecil hingga disembah.

"Sejak saya kecil sudah ada. Dulu letaknya di laut," kisah perempuan itu.

Seiring ganasnya hantaman ombak Selat Malaka hingga mengakibatkan abrasi parah, warga sekitar memindahkan rumah penyembahan Datuk Ladang Kecil lebih jauh ke daratan.

"Kalau posisi dan bentuk bangunan itu Datuk yang minta. Kami tidak bisa suka-suka sendiri. Termasuk bulan bintang, itu Datuk yang suruh," ungkap Amo.

Rumah Amo tidak jauh dari klenteng tersebut. Hampir setiap harinya dia melayani warga yang datang ke Kelenteng Datuk Ladang Kecil. Mulai dari keperluan berobat hingga minta usaha perdagangan mereka lancar.

"Kalau untuk kebaikan Datuk mau bantu. Tapi kalau minta nomor (togel) dia tak mau kasih. (Datuk) bisa marah," katanya.

Perempuan yang masuk generasi keempat sebagai pelayan Datuk itu mengaku, Datuk juga melarang makanan haram dalam agama Islam masuk klenteng. Seperti arak, babi ataupun perempuan dalam keadaan haid.

"Kalau makan babi hari ini, besok baru boleh datang klenteng. Saat sembahyang cuma boleh ayam atau ikan. Kambing juga Datuk suka," timpal Acu, 61, suami Amo.

Datuk Datang Kecil juga memilik hari ulang tahun. Yakni setiap bulan September yang selalu diramaikan pengunjung dari berbagai daerah.

"Acaranya dua malam. Ramai datang dari Pekanbaru dan Batam. Ada musik dan joget sokop," jelas Acu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Datuk Ladang Kecil Seorang Perempuan Melayu

Dari cerita orang-orang tua disana, lelaki yang sudah puluhan tahun menetap di kampung istrinya itu mengisahkan, Datuk Ladang Kecil adalah seorang perempuan. Tidak ada patung, hanya sebuah papan bertuliskan Datuk Ladang Kecil dalam huruf arab melayu. Kemudian suatu hari nelayan yang mencari ikan di Selatmalaka menemukan sebuah patung yang tersangkut jaring. Patung itulah yang kini disimpan dan disemayamkan di kelenteng tersebut.

"Dulu cuma tulisan aja. Sekarang ada patung tapi cowok. Aslinya Datuk itu cewek," ungkapnya.

Datuk Ladang Kecil dipercaya sebagai seorang perempuan bersuku melayu dan beragama Islam. Ia memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat hingga bergelar datuk sebagaimana dalam budaya melayu.

"Datuk ini memang orang Islam. Makanya tak boleh ada babi di klenteng," sebut Acu.

Masyarakat Tionghoa, yang menganut agama leluhur dan percaya akan reinkarnasi, yakin roh seseorang yang semasa hidupnya memiliki kedudukan tinggi, selalu berbuat kebaikan, mampu mengobati penyakit dan hal luar biasa lainnya apabila mati akan diangkat menjadi dewa.

"Datuk ini memang hebat. Dia banyak bantu orang. Tapi syaratnya harus baik-baik. Jangan yang jahat, dia bisa marah," tutur laki-laki asal Tanjungbalai Karimun itu.

Datuk pernah marah, lanjut Amo. Itu terjadi setelah perayaan hari ulang tahunnya. Ramai orang beribadah dan masuk ke dalam klenteng tersebut. Tak terkecuali para polisi yang mengamankan jalannya ibadah itu.

"Datuk tidak suka orang yang membawa senjata masuk ke sana," jelasnya.

Kepercayaan tentang adanya Datuk Ladang Kecil di sana masih terjaga hingga sekarang. Tidak hanya warga Tionghoa, masyarakat pribumi sekitar juga mempercayai keberadaannya. Meskipun mereka mendengar kisahnya hanya dari mulut ke mulut.

"Saya yang dari kecil tinggal di sini tidak berani masuk ke sana. Karena kata orang, (kalau masuk) keluar dari sana langsung muntah-muntah," ujar Sri, warga yang sehari-hari mencari udang di bawah bangunan Klenteng Datuk Ladang Kecil.

Klenteng Datuk Ladang Kecil, namun demikian, juga menjadi bukti adanya proses asimilasi atau perpaduan budaya Tiongkok dan Arab Melayu di Indonesia. Warisan budaya ini perlu dilestarikan hingga anak cucu kelak. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun