Mohon tunggu...
wenny prihandina
wenny prihandina Mohon Tunggu... Administrasi - penerjemah

tertarik pada rasa kata dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengenal Datuk Ladang Kecil, Dewa Melayu dari Rangsang

7 Maret 2018   17:44 Diperbarui: 7 Maret 2018   19:50 3726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Datuk Ladang Kecil dipercaya sebagai seorang perempuan bersuku melayu dan beragama Islam. Ia memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat hingga bergelar datuk sebagaimana dalam budaya melayu.

"Datuk ini memang orang Islam. Makanya tak boleh ada babi di klenteng," sebut Acu.

Masyarakat Tionghoa, yang menganut agama leluhur dan percaya akan reinkarnasi, yakin roh seseorang yang semasa hidupnya memiliki kedudukan tinggi, selalu berbuat kebaikan, mampu mengobati penyakit dan hal luar biasa lainnya apabila mati akan diangkat menjadi dewa.

"Datuk ini memang hebat. Dia banyak bantu orang. Tapi syaratnya harus baik-baik. Jangan yang jahat, dia bisa marah," tutur laki-laki asal Tanjungbalai Karimun itu.

Datuk pernah marah, lanjut Amo. Itu terjadi setelah perayaan hari ulang tahunnya. Ramai orang beribadah dan masuk ke dalam klenteng tersebut. Tak terkecuali para polisi yang mengamankan jalannya ibadah itu.

"Datuk tidak suka orang yang membawa senjata masuk ke sana," jelasnya.

Kepercayaan tentang adanya Datuk Ladang Kecil di sana masih terjaga hingga sekarang. Tidak hanya warga Tionghoa, masyarakat pribumi sekitar juga mempercayai keberadaannya. Meskipun mereka mendengar kisahnya hanya dari mulut ke mulut.

"Saya yang dari kecil tinggal di sini tidak berani masuk ke sana. Karena kata orang, (kalau masuk) keluar dari sana langsung muntah-muntah," ujar Sri, warga yang sehari-hari mencari udang di bawah bangunan Klenteng Datuk Ladang Kecil.

Klenteng Datuk Ladang Kecil, namun demikian, juga menjadi bukti adanya proses asimilasi atau perpaduan budaya Tiongkok dan Arab Melayu di Indonesia. Warisan budaya ini perlu dilestarikan hingga anak cucu kelak. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun