Mohon tunggu...
welly seran
welly seran Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lebih hidup dengan semangat emas

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Hari Ini Pilkada, Waspada Politik Uang

15 Februari 2017   00:29 Diperbarui: 15 Februari 2017   00:34 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ini terjadi dua tahun yang lalu dan sampai hari ini Rabu, 15 Februari 2017 kasus ini belum tuntas. Pada akhinya perjuangan orang ini sia-sia dan hanya meninggalkan duka dan penderitaan bagi anak dan istri yang ia tinggalkan.

Rudi Hartono Seran (34) merupakan salah satu petugas pengawas pemilu lapangan (PPL) di Desa Pelaik Keruap, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Surat Tugas Nomor 14/Panwaslucam-Menukung/2014 tentang Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Menukung. Dalam kesehariannya ia bukanlah sosok yang istimewa, ia hanyalah seorang pekerja wiraswasta yang merasa terpanggil untuk mengawal proses Pemilu yang berlangsung di desanya. Pekerjaan sehari-harinya adalah berkebun dan beternak ikan lele. Ia dianugerahi dua orang putra, yaitu Oskar Delahoya Seran berusia sepuluh tahun dan Imanuel Andika Seran berusia lima bulan. Rudi Hartono Seran (34) kemudian menjadi sosok yang ramai dibicarakan karena aksi heroiknya. Ia begitu gigih mempertahankan prinsipnya yaitu “antipolitik uang” sampai harus meregang nyawa pada hari Jumat (11/4).

“Politik uang” memang menjadi momok yang menakutkan dalam hajatan lima tahunan pesta demokrasi di Indonesia. Besarnya biaya yang harus digelontorkan oleh bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menarik simpati pemilih, tak jarang memercik bara api perselisihan di tengah masyarakat. Bakal calon yang sudah menggelontorkan mahar dalam jumlah besar tentu tidak ingin kalah begitu saja. Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan kursi kepemimpinan yang diimpikan.

Salah satu cara yang dianggap jitu adalah dengan melakukan "politik uang". Membagi-bagikan uang di daerah pemilihan masing-masing saat pemilu, seperti sebuah tradisi yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Parahnya lagi, hal ini sama sekali tidak mengganggu proses demokrasi yang ada. Masyarakat seperti sudah terbiasa dan bahkan menjadikan “politik uang” sebagai momen yang dinanti-nanti untuk meraup rupiah dari kaum elit politik "bermental busuk." Hal ini sekaligus menjadi cerminan moral masyarakat kita yang rela menggadaikan nasib bangsanya hanya untuk mendapatkan imbalan lembaran lima puluhan ribu rupiah.

Dahsyatnya tekanan politik dari caleg

Kisah heroik ini bermula ketika pada hari Jumat (4/4), Rudi Hartono Seran (34) ditugaskan sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) oleh Ketua Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Menukung Bapak Arobianto. Almarhum diberi tugas mengawal proses pemungutan suara di Desa Pelaik Keruap, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di TPS 03 desa tersebut.

Selama menjalankan tugas, almarhum dalam buku hariannya mengaku banyak mendapatkan intervensi dari berbagai pihak, khususnya dari salah satu caleg dan tim suksesnya.

Dalam buku harian tersebut ia menuliskan beberapa temuan selama menjalankan tugas sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Atas temuan-temuan tersebut ia mendapatkan tekanan luar biasa dari para oknum caleg yang bersaing. Pelanggaran sudah dimulai sejak surat undangan yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat yang terdaftar dalam DPT tidak disebarkan. Surat undangan tersebut tidak disebarkan atas perintah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan alasan sibuk dan banyak masyarakat yang sedang tidak berada di tempat. Atas pelanggaran ini almarhum menyatakan keberatannya secara lisan dan tertulis kepada pihak KPPS setempat, namun undangan tetap tidak disebarkan.

Beberapa tim sukses caleg juga pernah menawarkan sejumlah uang kepada almarhum agar mau bekerjasama memanipulasi hasil pemilu, tetapi ia menolak karena tetap berpegang pada prinsip ingin menyelenggarakan Pemilu yang besih dan adil demi kepentingan masyarakat di desa tersebut.

Pun demikian pada saat proses pemungutan suara Rabu (9/4), banyak pelanggaran yang terjadi, seperti temuan adanya surat suara yang dicoblos bukan di TPS, tetapi di rumah salah satu warga masyarakat setempat. Belum lagi masalah surat suara yang tidak dicoblos karena pemilih yang terdaftar di DPT tidak hadir. Surat suara tersebut dicoblos oleh petugas KPPS dan dianggap sah oleh para saksi.

Alamarhum merasa sangat tidak puas dengan situasi yang terjadi, karena semua telah dirancang sejak awal untuk memenangkan salah satu caleg yang memainkan skenario “politik uang”. Namun apa daya, ia berjalan sendirian dijalur yang menurutnya benar, sementara petugas yang lain larut dalam perannya masing-masing, karena sudah mendapatkan imbalan uang dan tidak mau mengambil risiko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun