Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menebarkan Diksi Bervisi Merawat Kemajemukan

13 Februari 2022   02:50 Diperbarui: 13 Februari 2022   06:16 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salib|sumber: cahayapengharapan.org

REFLEKSI ALKITAB, MINGGU 13 FEBRUARI 2022 :
MENEBARKAN DIKSI BERVISI MERAWAT KEMAJEMUKAN

Oleh Weinata Sairin

"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan lakukanlah apa yang baik bagi semua orang. Sedapat-dapatnya kalau hal itu bergantung padamu hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang." (Roma 12:17, 18)

Ruang-ruang dan koridor dalam bangunan NKRI yang majemuk dalam beberapa waktu terakhir ini agak pengap, bahkan nyaris menyesakkan dada. Iklim seperti itu terasa makin kental dan amat parah terutama di tataran media sosial. 

Setiap detik, begitu banyak informasi yang memenuhi medsos yang sebagian besar nadanya tidak menyejukkan. Ada ujaran kebencian yang vulgar dan tidak pantas keluar dari figur tokoh berkelas. 

Hasutan, ancaman, provokasi, pelecehan, penistaan, dan berbagai bentuk postingan yang semuanya amat kontraproduktif dalam konteks NKRI yang majemuk gentayangan di medsos. 

Seorang pejabat kepolisian pernah menyampaikan informasi ke tengah publik, bahwa memang ada kelompok cyber yang secara khusus membuat informasi yang menyesatkan untuk disebar di medsos dengan tujuan memecah-belah persatuan bangsa dan atau membunuh karakter lawan politik. 

Sinyalemen tersebut menandakan bahwa ada penyalahgunaan teknologi informasi untuk kepentingan negatif yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. 

Udara pengap dan menyesakkan, baik dalam ruang publik maupun di dunia maya, terjadi karena koinsidensi beberapa hal yang dianggap belum memuaskan publik (tertentu), yang kemudian secara kolaboratif meledak ke permukaan. Di sana ada masalah politik (sisa-sisa rezim yang lalu, kontestasi Pilpres, Pilkada, dan lain-lain), masalah ekonomi, dan masalah agama yang dijadikan pemicu.

Ujaran kebencian, gambar dan meme menghujat/melecehkan, gaya manusia arkais dan barbar memenuhi dunia maya dan terekam dalam memori kolektif seluruh warga bangsa. 

Realitas ini sangat tidak baik bukan saja bagi kesehatan (jiwa), melainkan dalam jangka panjang, yaitu penguatan NKRI yang majemuk. Umat kristiani mesti cerdas memahami realitas ini, antara lain dengan tidak melakukan langkah-langkah yang kontra produktif yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kekristenan. 

Warga Gereja di Indonesia dipanggil untuk makin mengedepankan nilai-nilai luhur kekristenan dan mengekspresikannya di ruang publik. 

Dialog, lobi, dan pemikiran kritis konstruktifyang dulu diteladankan dengan amat baik dan sempurna oleh para tokoh Indonesia Timur tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil mengubah tujuh kata dalam teks Piagam Jakarta, harus tetap menjadi referensi dan inspirasi bagi kita semua. Kita mesti menghentikan rasa sesak dan tidak nyaman yang terjadi di dunia maya dan di ruang publik.

Narasi-narasi positif yang dimiliki agama-agama seperti kasih sayang, silaturahmi, dan kerukunan perlu lebih dikedepankan dan menjadi bagian dari kosakata kita sehari-hari.

Terminologi "mayoritas", "minoritas", "genocide"; ujaran kebencian, kata-kata vulgar, pelecehan, dan ungkapan negatif tentang SARA mestinya kita tinggalkan. Pesan Paulus kepada Jemaat Roma patut kita garis bawahi di hari-hari ke depan. 

Kekristenan tidak boleh berhenti sebatas terminologi atau institusi nir makna. Kekristenan harus menjadi komunitas bernas di ruang publik yang mengampuni, mendamaikan, menyejukkan, menggarami, dan menerangi. 

Gereja dan umat Kristen harus makin solid dan menyatutubuh. Bahwa ada banyak Sinode, denominasi ya, tapi itu takbisa menjadi alasan bagi umat Kristen untuk tidak menyatu, terutama dalam merespons bersama masalah yang berlabel kebebasan beragama.

Diksi bervisi yang inklusif, mencerahkan,mencerdaskan dan memberi perspektif masadepan amat dibutuhkan ditengah guncangan Corona, Delta, Omicron dan kroni-kroninya.

Umat Kristen Indonesia mesti menjadi komunitas yang  memberi pengharapan, memberi jalan keluar, menjaga dan merawat NKRI yang majemuk melalui Kata dan Tindakan.

Selamat Merayakan Hari Minggu. 

God Bless Us. God Bless NKRI!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun