Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Refleksi Natal: Allah Imanuel, Dasar Pengharapan Umat Manusia

24 Desember 2020   10:11 Diperbarui: 25 Desember 2021   07:09 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Harapan, pengharapan adalah milik manusia yang paling penting dan berharga. Harapan adalah sebuah kekuatan,  sebuah power yang memungkinkan manusia melangkahkan kakinya menyusuri lorong-lorong waktu  untuk menciptakan sejarah di pentas kehidupan.  Harapan membuat manusia tetap eksis dan survive di tengah-tengah kegalauan hidup, memandu manusia untuk melihat ke depan dan tidak terpenjara oleh kekiniannya. 

Para TKI/TKW tetap berbondong-bondong berjerih payah berjuang di negeri seberang walaupun tak memiliki kualifikasi memadai yang dituntut di era global, hanya karena mereka memiliki pengharapan.  Mereka ingin merajut masa depan yang lebih baik dan tidak terlilit kemiskinan di negeri sendiri. Apapun resikonya: Terkena cambuk, dizalimi majikan, diperdaya hak-haknya, mereka para TKI/TKW itu tetap berangkat ke luar negeri.

Ya, harapan adalah kekuatan yang membuat manusia memiliki optimisme di tengah realisme penderitaan yang mendera kehidupan. Situasi politik yang baru, organisasi dan kepemimpinan baru, acapkali mengalirkan harapan-harapan baru yang amat kuat dalam diri seseorang atau sekelompok orang.  

Harapan yang amat besar terhadap presiden dan kabinetnya,  ekspektasi yang amat kuat terhadap  lembaga dan kepemimpinan Sinode Gereja misalnya, hampir tak bisa terhindarkan apabila kerinduan dan obsesi warga masyarakat dan umat kristiani tidak terpenuhi pada masa-masa yang lalu. Dan kondisi itu sangat berbahaya jika mereka yang menjadi tumpuan harapan dari umat/masyarakat  tak mampu melakukan sesuatu yang dapat memulihkan citra diri dan kredibilitas dari seseorang  atau suatu lembaga, apalagi jika terkesan mereka mengabaikan  hal tersebut.

Harapan yang ditumpukan kepada manusia memang  tidak dapat selalu terpenuhi . Apalagi dalam kehidupan politik, amat terasa adanya paradoks dan kesenjangan antara janji-janji pada saat kampanye dengan pelaksanaan program tatkala seseorang atau sebuah kekuatan politik telah memenangkan pertarungan. 

Dalam konteks itu, mengapa Alkitab memberi warning agar harapan atau pengharapan  tidak disandarkan atau didasarkan pada manusia. Nabi Yesaya berkata: "Jangan berharap pada manusia, sebab ia tak lebih dari hembusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yes. 2: 22). Manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas  dan fana, yang dalam  narasi Alkitab selalu dikategorikan  sebagai individu yang gagal menjadi penyembah Allah yang setia.

Manusia tak lebih dari hembusan nafas, kata Yesaya. Bahkan Alkitab menegaskan  bahwa manusia segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau (Mzm.37:2); hari-hari manusia seperti bayang-bayang memanjang dan layu seperti rumput, atau seperti bunga yang di padang yang suatu saat jika diterpa angin tamatlah riwayatnya (Mzm. 102:12; 102: 15-16). Dalam kefanaan keterbatasan  dan sikapnya yang skeptis dan labil, manusia tidak mungkin menjadi tumpuan dan dasar pengharapan. Secara tegas dan defenitif Alkitab menyatakan bahwa Allah sumber pengharapan (Yer. 14: 22; Rm. 15:13). Bahkan Yesus  Kristus adalah dasar pengharapan kita, sehingga hal itu memberi dasar kuat dalam kita berjerih payah dan berjuang memenangkan kehidupan ini ( 1 Tim.1:1 , 4:10).

Yesaya di zamannya juga mengingatkan Israel agar tidak mengandalkan masa depannya pada kuasa politik yang dianggapnya tangguh. Kritik pedas Yesaya terjadi  ketika umat mengandalkan Mesir  yang memiliki pasukan berkuda yang besar, tetapi umat tidak memandang kepada yang Maha Kudus, Allah Israel,  dan tidak mencari Tuhan. Bagi Yesaya, orang Mesir adalah manusia, bukan Allah, dan kuda-kuda mereka adalah makhluk yang lemah bukan roh yang berkuasa (Yes. 31: 1,3). Yeremia lebih eksplisit mengatakan bahwa diberkatilah orang  yang mengandalkan harapannya pada Tuhan (Yes. 17:7).

Allah sumber dan dasar pengharapan kita sebagai persekutuan umat beriman.  Dia adalah Allah yang telah hadir dan bekerja di tengah sejarah dan memperkenalkan diri melalui Yesus Kristus. Tak boleh ada keraguan atau ketakutan bagi umat kristiani untuk menyebut dan menyembah Allah.  Sejak penerjemahan Alkitab pada 1629 oleh A.C. Ruyl,  kata Allah sudah digunakan. Kata Allah ini sudah digunakan umat Kristen berbahasa Arab bahkan sebelum kelahiran agama Islam itu sendiri dan selama 4 abad kata Allah telah dipakai dalam terjemahan Alkitab di Indonesia.

Allah sumber pengharapan dunia, Allah dasar pengharapan dunia. Maka gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia harus mampu menjadi persekutuan yang proaktif, kreatif dan dinamik menyuarakan suara kenabian dengan lantang di tengah zaman. Ketika bom dan senjata ditembakkan kepada umat yang sedang beribadah di gereja, ketika korupsi makin merajalela menggerogoti kehidupan masyarakat,  termasuk birokrat dan legislatif, ketika agama sedang dijadikan kendaraan politik sebab itu acap direndahkan dan mengalami desakralisasi, tatkala HAM tidak ditegakkan, diskriminasi makin terwujud dan orang-orang kecil  makin terpinggirkan,  KKN makin merasuki manusia,  maka inspirasi Natal harus mewarnai tindakan gereja dan umat kristiani.

Umat Kristen merayakan Natal harus dengan penuh rasa syukur karena Allah memenuhi janji-Nya yang menjadi landasan harapan. Kepercayaan dan harapan di tengah suka-duka hidup ini bukanlah melulu suatu optimisme tanpa dasar, melainkan  bertumpu pada sabda dan tindakan-Nya. 

Allah sungguh merupakan harapan kita (bnd.Yer. 14:22). Allah bukan Allah yang jauh, melainkan dekat dengan kita. Dalam diri Yesus Kristus, Allah mendatangi kita dan hadir di tengah-tengah umat manusia. Allah yang Mahaagung dan Mahakuasa rela menjadi senasib dengan manusia dalam segala hal, termasuk kerelaan untuk bekerja keras  dan berkorban demi suatu cita-cita. Kesenasiban Yesus dalam kerelaan berkorban  mempunyai nilai rekonsiliasi dan pemulihan ciptaan ke arah terciptanya langit dan bumi yang baru.  

Natal adalah tatkala fajar harapan baru bersinar, mekar berbinar, menembus kegelapan hidup. Pengharapan yang bersemi di hari Natal melalui kelahiran Yesus Kristus,  adalah dasar yang kukuh bagi kita dan bangsa kita  untuk mengukir sejarah baru yang bermakna untuk menyongsong masa depan gemilang.

Allah yang kita panggil Bapa dalam Yesus Kristus adalah Allah yang Imanuel, Allah yang bersama kita. Allah yang Imanuel adalah yang bergelut bersama manusia; Allah yang menopang kita tatkala Covid  19 menyerang kehidupan kita; Allah yang menguatkan kita dalam derita karena didera KDRT, Allah yang menghibur kita tatkala kita sulit membangun gedung gereja, Allah yang solider dengan seluruh pergumulan hidup umat manusia.

Kita bersyukur kita masih bisa merayakan Natal di tengah pandemi yang selama berbulan-bulan menguasai kehidupan kita.Allah turun ke dunia fana melalui Yesus Kristus agar kita memiliki hidup baru, bahkan hidup kekal.

Ia adalah Allah Imanuel, Allah yang terus bersama kita, memberi pengharapan sejati  bukan pengharapan palsu.

Selamat Natal 2020!

Weinata Sairan, 24 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun