”Semper avarus eget. Orang yang serakah selalu menuntut.”
Serakah selalu memiliki konotasi negatif. Orang yang serakah hampir selalu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya. Ia meminta lebih dari yang lain. Bahkan, orang lain harus rela tidak mendapat apa-apa demi kepuasan dirinya.
Salah satu nasihat yang diberikan oleh orangtua kepada kita anak-anaknya adalah ”jangan serakah”, ”harus bersedia berbagi dengan orang lain”.
Pada saat itu, orangtua memberikan contoh yang amat jelas dan praktis bagaimana mempraktikkan hidup yang tidak serakah. ”Ini ada 5 buah mangga, ayo bagi secara merata dengan kawanmu itu. Kamu beri kawanmu 2 buah, kamu ambil 2 buah dan sisanya 1 buah itu untuk kawan lain jika nanti ia datang. Jika sekarang kamu ambil 3 buah dan kawanmu kamu berikan 2 buah, itu berarti kamu serakah!”
Nasihat yang diberikan oleh orangtua kita pada waktu kita kecil tentang ”serakah” masih tetap terngiang-ngiang, bahkan terbawa saat kita dewasa dan menjadi orangtua. Serakah, rakus, loba, tamak adalah sifat-sifat orang yang cinta kepada hal-hal duniawi yang mewujud dalam bentuk harta benda yang berlebihan. Orang serakah selalu mengingini harta benda itu tanpa memedulikan lagi aturan-aturan yang ada, bahkan yang juga bertentangan dengan hukum agama.
Dalam kehidupan praktis sekarang ini, sifat-sifat tamak, serakah, loba, dan rakus sangat jelas hadir di depan kita. Ada banyak orang yang gelisah karena merasa bahwa apa yang ia miliki tidak seberapa nilainya. Padahal, kawan-kawan lain yang sebaya dan sekampung dengan dia malah sudah amat maju, kendaraannya ada beberapa buah, lahannya ada di beberapa tempat, hartanya tak terhitung banyaknya.
Kegelisahan seperti itu yang kemudian melahirkan nafsu korupsi. Korupsi, sogok, suap, mark up proyek, semuanya dilakukan demi memenuhi hasrat kerakusan dan ketamakan. Semua agama menentang sifat serakah, loba, rakus, dan tamak yang ditampilkan oleh manusia.
Manusia sebagai khalifah Allah, dan dalam kapasitas sebagai imago Dei seharusnya tidak dalam posisi menjadi manusia yang serakah. Manusia harus mengembangkan hidup ugahari, hidup sederhana, cukup dengan yang ada, mensyukuri apa yang sudah Tuhan anugerahkan. Sikap iri hati, sikap ”mumpungisme”, sikap menyalahgunakan jabatan demi keuntungan pribadi dan para kroni harus ditinggalkan.
Sifat nonserakah harus menjadi gaya hidup kita sebagai umat beragama. Sifat ugahari, mencukupkan diri dengan yang ada, harus menjadi kebiasaan. Jika hal itu sudah menjadi kebiasaan maka dalam periode berikutnya akan bisa menjadi bagian integral dari kepribadian kita.
Pepatah yang dikutip di awal bagian ini mengingatkan bahwa orang serakah itu selalu menuntut. Ya, menuntut, komplain, merasa kurang,
adalah tipikal orang serakah. Mari tinggalkan sifat serakah yang mungkin masih ada dalam kedirian kita.
Orang serakah itu takmau mengalah, dan tidak menghargai berkah yang Allah anugerahkan. Ia selalu iri hati dengan apa yang dimiliki orang lain. Kita harus belajar mensyukuri apa yang ada, yang Tuhan sudah beri. Atau dengan bahasa Alkitab edisi tahun 1960-an, kita harus "berpada dengan yang ada".
Sifat serakah, yang tidak puas terhadap apa yang ada pada kita juga meningkatkan libido korupsi, hasrat mengambil yang bukan hak kita dengan cara melawan hukum.
Jika kita warga bangsa yang konon 99,9% adalah beragama, hidup terus dalam tindakan berkorupsi dan serakah, apa kata dunia?
Selamat Berjuang. God Bless!
Weisa, 22/11/20
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI