Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Pernahkah Merasa Menjadi Ibu Tak Berguna?

14 April 2016   15:43 Diperbarui: 14 April 2016   18:06 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sichigosan, Perayaan Hari Anak Umur 3,5,7 tahun"][/caption]Hiro, adalah anak pertama saya. Kedatangannya ke dunia sangatlah kami nanti nantikan. Persiapan penyambutannya kami lakukan walau kehamilan saya masih terbilang masih muda. Perlengkapan bayi, seperti stroller, mainan, bahkan baju kami sudah siapkan walaupun saat itu belum tahu jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan.

Kelahirannya, membuat kebahagiaan tersendiri untuk orang tua saya dan suami karena Hiro adalah cucu laki-laki pertama untuk mereka semua. Tentu saja saya dan suami pun sangat senang, bahkan suami saya menangis karena terharu saat menggendong tubuh mungil Hiro yang terbungkus kain bedongan warna biru muda bergambar anak panda.

Saat umur 6 bulan, kami sekeluarga hijrah ke Negeri Sakura, negara di mana suami dilahirkan. Bagaimana sibuknya mengasuh bayi yang sudah mulai makan membuat saya terpaksa harus membuka buku-buku panduan makan dan mencarinya di internet.

Asupan ASI dan makanan halus yang saya berikan membuat Hiro menjadi bayi yang chubby dan lucu. Tiap sore saya membawa jalan-jalan ke taman dekat rumah. Kadang saya jongkok disamping stroller-nya dan berbicara dengannya, walaupun saat itu Hiro masih belum bisa berbicara. “Hiro, ini namanya bunga Panji, kawaii ne... Hiro mo kawaii yo..hiro daisuki dayo.." Dibalasnya dengan cekikikan anak saya karena pipinya yang gembil saya mainkan..

Saat berumur hampir satu tahun, saya dilanda kecemasan yang amat sangat. Kenapa? Karena Hiro belum juga tumbuh giginya. Tapi dokter menenangkan kalau itu bukan masalah besar, kita harus sabar dan perbanyak memberi makanan yang mengandung kalsium, seperti susu, yogurt dan ikan.

Tahap demi tahap perkembangan Hiro, syukurnya saya lihat dengan mata kepala sendiri, dulu saya rajin menuliskan pada sebuah diary, saat Hiro mulai bisa berjalan, berbicara kata M..A..M..A sampai saat Hiro menguncikan saya di balkon apartemen!!!

Ya, Bulan Mei udara sudah mulai sejuk karena sudah masuk musim semi. Saya baru melahirkan anak kedua. Hiro masih berumur 1.5 tahun, dan suka bermain dengan kunci, baik kunci rumah ataupun kunci-kunci yang terpasang di jendela. Sore hari saat saya harus mengangkat jemuran pakaian, tak sengaja Hiro memainkan kunci jendela daaann...ceklekk..terkuncilah saya dengan manis di balkon tanpa bisa berbuat apa-apa. Anak 1.5 tahun yang masih lugu itu hanya melihat mamanya yang berteriak agar dibukakan kuncinya dengan muka bingung, dan akhirnya malah melambaikan tangan dan duduk di sofa menonton TV! Saya hanya bisa duduk pasrah dan menyelimuti kaki saya dengan handuk karena hari sudah mulai malam dan udara pun terasa mulai dingin. Jalan satu satunya saya bisa masuk ke dalam rumah adalah hanya menunggu suami saya pulang kerja.

Kejadian demi kejadian yang ada, akan jadi memori tersendiri yang nanti harus saya ceritakan kalau Hiro sudah besar. Terutama saat Hiro mulai masuk TK. Bagaimana mulai gabung bermain dengan teman-temannya. Saya pun sedikit demi sedikit mengajari nama-nama benda, warna, huruf, dan kata-kata Jepang.

Hiro suka sekali membaca buku bergambar. Setiap bulan kami pergi ke Toko buku untuk membeli buku dengan gambar yang lucu-lucu dengan tulisan yang besar dan masih sedikit. Tahapan anak mengenal buku memang ada urutannya, saya masih ingat dulu saat belum masuk TK, Hiro saya berikan buku yang bergambar dan bertekstur, tanpa ada kata-katanya.

Ini dengan maksud agar anak bisa meraba dengan tangannya, kasar dan halus itu yang bagaimana. Gambar yang menarik dan warna yang cerah juga membuat anak lebih antusias untuk membolak balik dan mengamati gambar yang ada.

Agak besar sedikit Hiro mulai saya berikan buku gambar dengan tulisan yang besar tapi masih sedikit ceritanya. Mengajari Hiro untuk mulai mengenai huruf Hiragana dan Katakana, serta angka-angka. Mengajar anak sendiri dan mendengarnya mengeja huruf demi huruf jadi suatu hiburan sendiri buat saya, apalagi kalau Hiro akhirnya berhasil membaca walau hanya satu kalimat saja! Ganbatte ne..

Setiap malam, saya membacakan Hiro dan adiknya buku cerita sebelum mereka terlelap tidur. Jatah satu anak adalah satu buku, Hiro satu buku dan adiknya satu buku. Kadang belum selesai dua buku saya bacakan, terlihat anak-anak sudah lelap berada di alam mimpi. Suatu kenangan indah yang tak akan saya lupakan seumur hidup dimana saya begitu dekat dengan mereka dan saya masih bisa lugas menjawab pertanyaan lugu dari kedua anak-anak saya tentang tokoh-tokoh dalam buku cerita itu.

Tahun berganti tahun, pertumbuhan anak sangatlah cepat hingga anak laki-laki saya sekarang tak terasa sudah duduk di kelas 4 SD, dan adiknya duduk di kelas 2 SD. Kepinaeran mereka akan segala hal sudah jauh dan lebih di atas saya. Di sekolah mereka bisa mendapatkan hal-hal yang ternyata tak bisa didapatkan di rumah. Guru-guru nya pun adalah sosok penting yang membuat anak-anak saya mengetahui segalanya dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik.

Bahasa Jepang mereka yang sangat lancar kadang membuat saya bingung berkomunikasi dengan mereka apabila terselip satu kata yang saya belum pernah dengar. Biasanya saya akan tanyakan ke mereka apa itu artinya. Mereka berdua akan semangat menjelaskan secara detil sampai saya mengerti maksudnya. Arigatou ya sayang..

Merasa Menjadi Orang Tua yang Tak Berguna?

Perasaan ini pernah ada dan sangat hebat berkecamuk dalam dada karena saya merasa useless menjadi orang tua yang baik. Kejadian awal yang membuat saya bermuram durja dan sedih berkepanjangan, saat anak-anak saya menanyakan kanji-kanji dan tulisan-tulisan yang ada di dalam bis, kereta atau di jalan-jalan. Keingintahuan anak-anak yang semakin besar menandakan kalau anak-anak semakin pintar dan pandai, dan harusnya membuat senang setiap orang tua. Namun saat itu, tidak buat saya, kepandaian anak-anak saya justru membuat saya semakin tertekan dan merasa malu bahkan bingung harus bagaimana.

“Ma..kono kanji tte nani..?" Ma, ini kanji apa?

“Ma..kore douiu koto..?" Ma, ini maksudnya apa?

“Ma..kore nani..douyatte...nandee..??" Ma, ini apa, bagaimana dan kenapa..?

Pertanyaan demi pertanyaan terus menghujani saya tanpa henti, kapan dan di mana pun bahkan saat berada dalam kerumunan orang yang akhirnya saya mendapat tatapan aneh dari sekitar. Anak-anak yang saat itu masih lugu dan merasa kalau seorang mama pastilah tahu akan segala hal tanpa sadar terus menanyakan kepada saya sesuatu yang sama sekali tidak saya mengerti, tanpa mereka mau mengerti perasaan mamanya yang selalu diliputi perasaan bersalah saat harus menjawab, “Gomen, mama chotto wakaranai ne, atode uchi ni kaettara shirabemashou ne..." Maaf, mama gak ngerti, nanti sampe rumah kita cari ya artinya...

Perasaan malu sebagai orang tua yang tidak bisa segera memberikan penjelasan kepada buah hatinya saat itu juga membuat saya diliputi penyesalan karena tidak belajar Bahasa Jepang saat kedua anak saya belum terlahir ke dunia. Ya selain persiapan baju dan stroller anak dalam menyambut kelahirannya ternyata persiapan BAHASA JEPANG jauh lebih penting dari segalanya!

Sedikit demi sedikit saya menanamkan perasaan simpati, empati dan pengertian akan kekurangan seseorang kepada kedua anak saya. Kedua anak saya saya beri pengertian kalau mamanya berasal dari Indonesia. Tentu saja bahasa yang sangat dikuasainya adalah Bahasa Indonesia, jadi mereka tak perlu heran kalau ada Bahasa Jepang yang mamanya belum mengerti dengan baik. Kalaupun ada yang mau ditanya, harus catat, ingat dan bisik dengan suara kecil ke telinga mama, agar saat mamanya tak bisa menjawab mamanya tidak perlu malu karena terdengar oleh orang lain. Mereka pun mulai menerapkan cara itu.

Menanamkan bersikap tidak memandang rendah orang tua walau kepintarannya sekarang berada jauh di bawah mereka, dan bersikap menghormati serta berempati sendainya mereka yang dalam posisi seperti ini. Anak-anak saya sadar kalau mamanya bukan orang Jepang dan mulai tertinggal jauh untuk masalah bahasa bahkan pelajaran sekolah mereka pun saya mulai merasa kesulitan untuk mencernanya, dan bisa memakan waktu serta harus konsentrasi penuh mengajarinya.

Namun, syukurnya mereka tidak pernah menyesal mempunyai mama yang dulu selalu merasa tak berguna ini. Mereka memaklumi saat saya harus menjawab pertanyaan mereka sambil membuka kamus, tablet atau bahkan telepon ke mertua dan suami. Mereka pasrah saat harus membawakan tas mamanya yang berat karena terselip kamus elektronik Jepang-Inggris berwarna pink. Dan akhirnya merekapun bangga saat foto-foto mereka saya abadikan dalam buku saya sebagai rasa cinta saya yang sangat dalam.

Daisuki dayo, zutto..zuttoo..

Mama mo ganbaru..

Salam hangat,
wk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun