Â
Baru-baru ini saya baca artikel saudara Felix yang berjudul Pertanian Presisi untuk Swasembada pangan dimana penulis menceritakan secara detil dan gambang usaha-usaha apa yang harus dilakukan agar swasembada beras yang kita impikan itu bisa terwujud dan berkesinambungan. Entah kenapa saya jadi tergelitik untuk berkomentar kalau ada yang hubungannya sama beras (ketahuan suka makan banyak wkwkwk) apalagi dikaitkan dengan lemahnya kemampuan petani di Indonesia untuk bisa berdikari, karena kalau lihat kenyataan adanya bantuan pemerintah pun gak bisa mendongkrak kehidupan petani, kenapa? Karena prioritas harus lebih dulu memikirkan berapa keuntungan yang akan didapat untuk sipengurusnya baru si-penghasilnya, ngenes ya? Terima atau tidak itulah kenyataan.
Tanggapan atas artikel om Felix ini mendapatkan balasan gimana irinya beliau terhadap kehidupan petani di Jepang, bukan saja tergantung sama pemerintah saja untuk distribusi hasil taninya, tapi adanya tindakan dari para pengusaha swasta yang bergerak dalam bidang penjualan bahan makanan, misalnya saja supermarket-supermarket di kota yang mau membantu para petani lokal ini.
Kalau terus dikilik kilik, penasaran gak sih memang beneran peran pemerintah Jepang sama sekali gak ada tahu menahu tentang kegiatan petani lokal yang menitipkan hasil kebunnya di supermarket kota? Ternyata ada! Yaitu dalam hal pengesahan tentang brand hasil tani lokal ini yang malahan mendapat legalisasi dari bapak walikotanya sendiri, selebarannya terpampang indah dalam bentuk print out yang di pajang disebelah foto-foto para petaninya.
Jujur sejujur-jujurnya, hati saya juga sakit dan perih saat melihat bagaimana kehidupan petani di jepang yang kehidupannya dianggap sebelah mata apalagi kalau dibandingkan dengan kenyataan kehidupan petani di tanah air. Padahal sama-sama negara asia, sama-sama negara agraris, makanan pokoknya nasi, dsb nya namun kenyataannya kita sangat tertinggal jauh kebelakang, dan tidak perlu kita kuak saya yakin teman-teman sudah tahu kenapa alasannya.
Â
Saya adalah ibu rumah tangga, hampir setiap hari saya berhubungan dengan sayuran untuk konsumsi sehari-hari. Saat membeli sayuran dan buah untuk kita konsumsi sendiri, apa sih yang kita perhatikan saat membeli sayuran? Selain harga yang murah, tentu saja kwalitasnya bukan? Caranya kita tahu tentang kwalitas wortel atau ketimun ini baik bagaimana? Ya kita bolak balik itu sayurannya, kita pegang satu-satu, kalau tidak ada yang penyok atau busuk, ya langsung kita masukkan keranjang belanjaan. Saya jadi berkenalan akrab dengan yang namanya kwalitas barang sejak tinggal disini, kalau dulu anggapan saya barang bagus tentu yang mahal harganya, kalau mahal harganya tentu saja kwalitasnya juga baik. Di Jepang hampir semuanya sayuran dan buah yang dijual dengan kualitas yang baik, lalu apakah semuanya mahal? Ternyata tidak, adanya saingan ketat dari para petani disini membuat konsumen menjadi semakin diuntungkan. Ingin memuaskan pembeli dengan menghasilkan hasil tani yang baik tapi juga ingin cepat laku barang dagangnnya yaitu dengan cara menurunkan sedikit harganya jadi lebih rendah dari harga sayuran lainnya.
Namun, ada satu yang unik. Untuk corner mungil yang isinya beras, telur, buah dan sayuran dari para peternak dan petani lokal ini kadang harganya bisa loh diatas rata-rata, semua tergantung iklim dan cuaca. Harga akan melonjak mahal apabila musim hujan dan musim dingin. Karena petani lokal ini berdikari tidak bergabung dalam JA (Japan Agriculture) maka harga ditentukan oleh perorangan. Dan lucunya, ini tidak menciutkan para konsumen untuk membelinya. Kenapa? Tentu saja ada unsur kepercayaan antara petani lokal yang terpampang fotonya itu dengan para penduduknya yang bermukim satu daerah dengan petaninya itu, serta rasa aman bagi para pembelinya bila mengkonsumsi hasil taninya itu.