[caption id="attachment_358385" align="aligncenter" width="500" caption="http://japanesestation.com/"][/caption]
Saya baru merasakan begitu indahnya kata pepatah yang mengatakan Dimana bumi di pijak di situ langit di junjung, adalah setelah saya pindah jauh dari Tanah Air. Dulu sebelum pindah ke Jepang, orangtua saya juga mengatakan, jaga diri baik-baik di tempat baru, bergaulah dengan baik di tempat dimana kamu tinggal nanti.
Ya, pindah ke Jepang mengharuskan saya bergaul dengan tetangga dan teman-teman sekolah anak-anak saya. Kalau dibilang apakah saya menghadapi banyak kendala? Buru-buru akan saya jawab kenceng, banyaak!... hehehe Sama seperti Indonesia, Jepang mempunyai bahasa sendiri dan tulisan sendiri, bahasa jepang dan tulisan kanji yang asal muasal tulisan keriting itu sebenarnya adalah dari China yang suka membuat kepala saya nyut-nyutan walaupun itu hanya melihatnya saja haha. Untungnya Jepang mempunyai karakter-karakter huruf sendiri, yaitu hiragana dan katakana yang sangat membantu saya dalam pelafalannya, karena kedua karakter Jepang itu bisa menguraikan kanji menjadi huruf per huruf sehingga mudah untuk dimengerti dan dicari ke kamus artinya. Saya suka menyebut kalau mereka itu (hiragana dan katakana) adalah alfabet made in Jepang.
Menghadapai kendala bahasa yang bikin kepala puyeng walau sudah minum paramex dan panadol itu, akhirnya saya memakai prinsip yang sangat pasrah terlihat, yaitu learning by doing sajalah hehe dan syukurnya sedikit demi sedikit kendala bahasa sudah mulai saya sikapi dengan baik, walau masih ada mbalelo-nya. Lalu, selain kendala bahasa, masalah apa yang buat kita harus berjuang untuk bisa survive hidup di Jepang? Nextnya adalah, bergaul!
Ya, bergaul dengan orang Jepang bisa dikatakan gampang-gampang susah. Banyak teman-teman Indonesia yang mengatakan kalau orang Jepang susah menerima orang baru dan sangat tertutup. Ya pendapat itu saya katakan benar adanya. Dulu saya sempet bingung juga dengan tetangga-tetangga saya disini, mereka selalu bergerombol, kemana mana bersama sama, dari yang mengantar anak sekolah sampai ketika bermain di taman dekat rumah.
Makanya, dulu pernah sangat santer di Jepang kalau ada sebutan KOUEN DEBUT, artinya banyak ibu-ibu yang bergerombol di taman dan sudah membentuk suatu kelompok itu akan susah untuk didekati atau dimasuki, kecuali kita sebagai orang baru yang ingin main di taman itu harus permisi dan mengenalkan diri kepada mereka agar diterima dan bisa menjadi salah satu grup disana. Keadaan Kouen Debut ini sempet membuat saya ketar ketir, secara anak-anak saya waktu itu masih kecil-kecil dan biasanya mereka suka ngacir langsung main ke taman saat sore hari. Syukurnya, keadaan taman di dekat rumah saya, tidak terlalu ekstrim dengan kouen debut-nya sehingga saya bisa tenang untuk mendekati salah satu ibu-ibu yang sedang menjaga anaknya untuk pelan-pelan dan natural mengenalkan diri saya baik itu sebagai orang asing dan sebagai penghuni baru di lingkungan ini.
Mencoba masuk dalam kehidupan pertemanan orang Jepang, terkadang kita harus melepas atribut kita sebagai orang asing. Karena orang Jepang agak sungkan kalau saja ada satu yang berbeda dari mereka. Melepas atribut bukan diartikan sebagai menanggalkan identitas diri kita sebagai orang Indonesia loh. Sebagai contoh saja, di Jepang makan ramen/mie kuah dengan sruputan yang berisik itu adalah hal biasa bahkan suatu pujian kepada orang yang memasaknya karena itu menandakan makanan itu sangat lezat. Dan bagi kita sebagai orang Indonesia apalagi suku jawa ya, itu adalah hal yang sangat tidak sopan dan tidak baik. Tapi ini bukan Indonesia, jadi hendaknya budaya menyeruput mie dengan suara keras itu harus kita hargai dan hormati. Syukur-syukur kalau kita pun ikutan melakukan yang sama, mereka pasti akan senang dan kita pasti sudah dianggap satu hati dengan mereka, tapi jangan khawatir karena itu bukan suatu keharusan, gak usah dipaksakan kalau memang tidak sreg di hati.
Masuk dalam pergaulan disini, mau tak mau kita jadi memperhatikan tingkah laku orang-orang Jepang yang ada di sekeliling kita. Dan ada satu fenomena yang sangat unik, sampai saya pernah mendiskusikannya dengan suami dan sahabat Jepang saya disini. Fenomena yang tumbuh dari satu kebiasaan mereka yaitu orang jepang susah untuk bilang TIDAK. Aneh ya? mosok susah sih ya? kenapa susahnya? karena takut kah??
Saya ambil kasus yang terjadi dari kejadian saat anak-anak masuk sekolah sampai sekarang pun, suasana ini masih sering saya dapati. Yaitu, suasana dimana ibu-ibu dari temannya anak-anak saya yang harus mengambil suatu keputusan untuk menghadiri acara-acara sekolah. Sebut saja acara itu bersifat bebas, bagi yang bisa hadir silahkan datang yang tidak bisa karena bekerja atau ada urusan lain, ya bisa kok minta ijin tidak hadir. Tapi kenyataan yang ada dilapangan, mereka kan saling dengar pendapat satu sama lain. Dan kalau ternyata semua pada bisa hadir, ya terpaksa ibu yang sebenernya tidak bisa hadir itu, karena merasa tidak enak akan mengikuti pendapat teman-temannya. Perasaan tidak enak, merasa akan jadi lain sendiri, merasa akan terlihat aneh, serta pikiran-pikiran yang seakan akan membuat imej diri sendiri terlihat `beda`dimata teman-temannya itu masih terlihat jelas dan kuat dalam pergaulan sehari hari disini. Dan suami saya pun mengamini kalau imej dan citra seseorang itu sangat penting dalam pergaulan disini. Kenapa? karena masyarakat Jepang masih menjunjung tinggi norma-norma sosial yang mengakibatkan mereka begitu sangat takut kepada yang namanya 'sanksi sosial' dalam masyarakat.
Coba lihat deh di berita-berita TV Jepang, dimana para pejabat yang korupsi atau para public figure yang nyeleneh akan terpaksa digelandang oleh masyarakat Jepang untuk meminta maaf didepan publik, baik itu melalui pernyataan tertulis ataupun bersimpuh didepan kamera TV! Sanksi sosial di Jepang masih sangat ampuh untuk mengepruk orang-orang yang `bandel` ini untuk mempertanggung jawabkan langsung kepada masyarakat. Dan lebih anehnya lagi kok ya sanksi sosial disini lebih ampuh dan mujarab untuk membuat orang pada kapok pada akhirnya untuk berbuat yang neko-neko apalalagi yang bisa merugikan bangsa dan negara. Ya, kapok karena sanksi soal hukumannya tidak terbatas, berkesinambungan dan kadang sangat kasat mata, sebagai contoh pejabat korupsi itu ya sebelum dijerat hukum, mereka harus minta maaf di depan TV, jadi kita bisa lihat tuh muka-muka bandel mereka yang kadang suka terlihat lebay nangis pakek kejer segala, dan aksi minta ampun ini hebatnya tidak boleh diwakilkan! dalam artian kalau sudah terbukti bersalah jangan harap bisa kabur. Belum lagi habis itu karir mereka hancur lebur, dan yag lebih mengenaskan keadaan keluargapun kemungkinan bisa menjadi morat-marit karena masyarakat Jepang yang sangat strict akan membully mereka habis-habisan karena dianggap sudah keluar dari norma-norma yang telah disepakati. Dan seandainya para koruptor ini sudah keluar penjara pun nantinya, saya pikir untuk kehidupan sosialnya jangan harap untuk bisa kembali normal seperti sedia kala. Ya, begitulah gambarannya kalau sanksi sosial itu masih terlihat lebih ganas dari sanksi hukum sendiri di negeri sakura ini.
Dan dari latar belakang ini semua, maka tak heran kalau masyarakat Jepang adalah masyarakat yang tidak mau menanggung resiko untuk menjadi orang yang beda dari masyarakat pada umumnya. Mengungkapkan pendapat sendiri kadang suka jadi suatu masalah yang rumit, apalagi kalau pendapatnya itu beda dengan orang-orang disekitarnya. Dalam hal ini, saya sering sekali mengambil resiko karena kadang pendapat saya beda dengan mereka.
Keengganan orang Jepang untuk mengungkapkan keinginan yang sebenernya, berbicara terus terang, membuat mereka mengambil jalur aman dan saya merasa mereka bisa ngumpet di dalam satu kata Jepang yaitu, DAIJYOUBU! Apa sih kata daijyoubu itu? Daijyobu atau dengan kanji 大丈夫 ini mempunyai arti `tidak apa-apa` atau bahasa Londonya it`s okay!
Saya hampir membuat teman saya menderita karena ulah kata Daijyoubu ini loh. Begini ceritanya, kadang-kadang saya suka undang teman Jepang baru untuk main ke rumah saya. Biasanya saya suka masak soto ayam dan nasi goreng untuk menu andalan, selain gampang lumayan cepet dan ringkes juga bikinnya. Sebelumnya saya sudah tanya sama ibu jepang ini, apakah ia suka dengan rasa pedas? karena saya sangat suka pedas, dan itu kalau dalam level makanan Jepang sudah pada level 5, paling pedas (level 1-5). Oh oke, karena teman Jepang saya sudah confirmed kalau ia pun DAIJYOUBU, tidak apa-apa dengan level saya itu, makanya saya bikin nasi goreng yang lumayan pedas. Tapi setelah saya suruh mencicipi dulu sebelum ia santap nasi gorengnya, tahu tidak itu yang mukanya kayak kepiting rebus, merah membara, keringet ngucur, dan menenggak banyak minum air putih. Sejak saat itu saya suka pastikan kalau ada orang Jepang yang selalu ditanya dan jawabannya Daijyoubu, saya akan berali kali memastikan kembali kalau mereka pun akan Daijyoubu (tidak apa-apa, dalam arti imej) dimata saya kalau mereka bilang tidak suka pedas hehe Ya, itu semua karena takutnya mereka bilang TIDAK yang pada akhirnya membuat mereka mengambil jalan tengah dengan kata-kata yang menurut mereka `aman` dan tidak menimbulkan citra buruk dimata orang lain, walau justru itu terkadang malah menyulitkan atau membuat susah dirinya sendiri.
Be Yourself & Salam hangat selalu, wk
Artikel yang terkait :
http://unik.kompasiana.com/2013/11/23/sruput-mie-brisik-suatu-pujian-613460.html
http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/10/20/ijime-bully-di-jepang-603317.html
http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/12/27/cara-usir-tamu-ala-orang-kyoto-623099.html
arigatou!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H