Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Melihat Anak Jepang Menghargai Uang

17 Oktober 2014   16:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:40 2550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tentu kita sudah sering dengar ya kalau orang Jepang terkenal dengan sifat pelitnya. Ya, saya pun dulu beranggapan seperti itu, sampai akhirnya saya melihat sendiri dan merasakan suasana bagaimana orang Jepang menggunakan uangnya dengan cermat.

Pelit? Ah ternyata saya salah besar, bukan bermaksud membela tapi memang ini kenyataannya. Menurut saya mereka adalah masyarakat yang hemat, dalam arti selalu memperhitungkan segalanya dengan cermat dan teliti. Saya ambil contoh sehari-hari disini adalah, kalau saya pergi dengan ibu-ibu tetangga untuk makan siang bersama di warung makan. Mereka selalu mempersiapkan dan merinci biaya yang nanti akan dikeluarkan. Misalnya saja, adanya pemberitahuan kalau makan siang bersama di warung makan nanti akan memerlukan biaya sebagai berikut : Paket A Set menu Ayam goreng 750 yen, Paket B Set menu Ikan Bakar 700 yen, Paket C menu Sushi 850 yen, dan maksud dari pengumuman itu adalah kita harus menyiapkan dana sebesar itu sebelumnya kalau bisa uang pas saat membayar ketika join pada acara makan siang itu nanti. Ya, cara yang sangat terorganisir dan rapih.

Bukan dalam hal makanan saja, untuk urusan parkir pun, siapa yang membawa kendaraan yang dipakai beramai ramai, maka kita akan membayar dengan membagi biaya parkir perkepala dengan maksud agar tidak memberatkan si empunya mobil yang telah berbaik hati menyediakan transportasi. Mengajarkan untuk tidak egois dan mau enaknya saja.

Jadi sampai saat ini saya belum pernah melihat saat bon makan keluar ada yang pura-pura sibuk mainin HP, atau terlihat berat nyomot dompet dalam tas atau yang lebih parah pura-pura ke WC mendadak ingin pipis hihi ah lagu lama itu yah wkwk

Semua BS BS, bayar sendiri bayar sendiri, gak perlu cemas untuk ditodong suruh traktir atau dont expect too much akan ditraktir, karena memang tidak ada budaya seperti itu. Atau teman-teman yang sedang berlibur di Jepang, coba deh masuk ke supermarket atau convinient store dan beli makanan disana, saat dikasir, coba cek kembaliannya dan hitung semuanya, apakah ada permen atau coklat sebagai pengganti nilai receh? Kalau ada, jitak deh kepala sendiri hehe karena memang itu hal yang gak mungkin terjadi. Kenapa? Karena sampai nilai terendah yaitu 1 yen pun, itu akan kita terima tanpa terkecuali berbarengan dengan receipt dari petugas kasirnya. Melihat semua itu, saya bisa lihat bagaimana masyarakat sini sangat menghargai uang sampai pada nilai terkecil pun.

Kenapa sih bisa begitu? Saya yakin ini adalah suatu proses panjang dimana sudah ada budaya kalau masyarakat Jepang memang dididik untuk tidak menghamburkan dan menghargai uang sejak kecil.

Melihat anak-anak disini tidak begitu ijo melihat uang adalah sesuatu yang menarik. Saya sendiri tidak sadar, sampai saat mudik ke Indonesia saat lebaran beberapa bulan yang lalu ini, orang tua saya mengatakan kalau anak anak saya seperti tidak perduli dengan uang angpow lebaran yang diterimanya saat lebaran. (Alhamdulillah emaknya jadi panen angpow hehe). Padahal budaya bagi angpow itu ada juga loh di Jepang, yaitu saat tahun baru, namanya Otoshi Dama, yaitu uang yang diberikan kepada anak-anak kecil saat new year dengan amplop yang bergambar lucu dan menarik. Dan ada kebiasaan di sini uang itu ada yang sebagian digunakan langsung tapi banyak juga yang ditabung di bank atas nama mereka sendiri.

14135136001644243293
14135136001644243293
Budaya menabung sejak kecil, saya bisa rasakan suasana itu saat saya kumpul-kumpul dengan ibu-ibu disini. Maksud menabung ternyata bisa diartikan luas, dalam arti uang tidak hanya di setor ke bank saja, tapi banyaknya anak-anak kecil yang mempunyai chokin bako (celengan) yang bergambar lucu-lucu ditaruh diatas meja belajarnya.

Banyak cerita yang yang bisa membuat saya bergumam sangat salut kepada cara didik ibu-ibu disini saat mereka menceritakan bagaimana anak-anak mereka bersusah payah mengumpulkan uang koinan yang diberi oleh orangtuanya untuk dibelikan mainan kesukaannya itu. Kalau kita bisa pinjem istilah di Indonesia, marilah kita bersakit sakit dahulu, bersenang-senang kemudian!

Memasukkan koin demi koin untuk membeli sesuatu, karena memang orang tua disini tidak bisa diharapkan untuk membelikan anaknya mainan secara cuma-cuma, dalam arti harus ada special event, seperti ulang tahun, lulus tes/lomba atau hanya pada saat hari natal saja (budaya Jepang, setiap natal anak-anak akan terima hadiah dari orang tuanya). Dan kapan anak-anak itu akan menerima uang dari orang tuanya? Tentu saja, saat mereka menerima uang sakunya. Uang saku? Ya, di Jepang uang saku ini disebut Okozukai. Dan pemberian Okozukai oleh orangtua terhadap anak-anaknya pun beragam-ragam alesannya. Dari hasil dengar sahabat-sahabat saya adalah ada yang setiap hari diberikan uangnya apabila mereka membantu orang tuanya dan bersikap baik, jadi perhitungannya setiap tindakan (ambil koran, nyiram kembang, cuci piring, lipat baju, membereskan kamar,dll) itu setiap actionnya akan diberi 10 yen (ard 1000rph), ada yang setiap pergi les memberi uang ocha atau uang untuk membeli jus yang perbotolnya sebesar 130 yen (ard13rb rph), atau untuk anak yang sudah besar biasanya perhitungan biaya transport apabila kesekolahnya menggunakan bis atau kereta.

Nah hanya dari situlah mereka menyandarkan kehidupannya sehari-hari hehe jadi ya harus pinter pinter ngolah uangnya gimana. Kalau ada yang mereka inginkan, kata temen saya waduh anak-anaknya jadi rajin gak ketulungan, karena ya semakin rajin maka pundi pundinya pun akan semakin penuh hehehe

Ada ibu yang tidak suka dengan cara ini, alesannya berarti membantu orangtua itu ada pamrihnya dong hihihi duh saya jadi senyum sendiri, idealnya memang begitu bu, bener sekali adanya, tapi kenyataanya....coba lihat juga yuk latar belakang maksud dari cara ini, banyak nilai positifnya kalau saya lihat. Ini bukan masalah nilai uang yang digeber disitu, tapi untuk melatih anak terbiasa dengan pekerjaan. Melatih anak untuk mengerti dan merasakan sendiri bagaimana mencari atau mengumpulkan uang itu susah setengah mati dan perlu kerja keras.

Kalau menurut saya pribadi, anak-anak masih sangat susah kalau kita jelaskan tentang bekerja dengan kesadaran sendiri, males-malesan pasti. Jangankan membantu orang tua, untuk kepentingan dirinya sendiripun, susah sekali memyuruhnya, misalnya membereskan tenpat tidurnya, membereskan meja belajar, dsb. Ya, memang usia masih SD itu masanya memang begitu, masih ingin enaknya sendiri dan tidak ingin capek. Lagi-lagi selalu mengandalkan mamanya untuk turun tangan.

Jadi melihat cara didik yang cukup unik ini membuka mata saya terbuka untuk ikut mencoba menerapkan metode ini kepada si sulung. Dan saat naik ke kelas dua, sisulung pun mulai saya beri Okozukai (uang saku) setiap ada latihan karate. Uang sakunya pun tidak besar, cuma seharga satu botol minuman saja, karena memang maksudnya kalau haus, dia tinggal beli jus atau ocha di vending machine di depan tempat latihannya. Mendapat uang saku saat pertama kali, sekaligus memberikan tanggung jawab dan kebebasan dalam penggunaannya itu, membuat sisulung girangnya setengah mati!

Ia semakin semangat pergi latihan karate walau hujan deras sekalipun, saya pikir uangnya pasti akan dihabiskan membeli ocha/jus apel kesukaannya. Tapi usut punya usut ternyata tidak dipakai uangnya, lhoo? Ya, curangnya (?) dia jadinya membawa suito (termos minum) setiap latihan, dan uangnya dia simpan, karena kata adiknya ada game terbaru yang jadi inceran kakaknya itu, dan harganya sangat mahal, sehingga membuat dia terpacu untuk latihan karate biar bisa cepat bisa membeli mainannya itu dari hasil uang saku yang diperolehnya hehe

Jadi bisa terbayang sekarang, kenapa masyarakat sini suka bekerja keras dan sangat berhati-hati dalam pemakaian uang. Ya, karena sejak kecil mereka sudah merasakan berjuang dalam mengumpulkan uang itu. Mereka tidak mengharapkan seseorang untuk meminjamkan atau berharap uang jatuh dari langit! Ya, itu saya juga gak percaya wkwkwk kalau duren jatuh dari pohon, siap-siap saya tadangin hahaha

Segala sesuatu memang lebih baik diterapkan dan diajarkan sejak kecil, sang anak bisa belajar melakukan sambil melihat contoh-contoh yang ada disekelilingnya, contoh terdekat tentunya melihat tindak tanduk orangtuanya dan masyarakat sekitar. Mendidik untuk menggunakan uang secara hemat tentu saja akan bisa terlaksana, kalau memang kita sudah membiasakannya sejak dini.

Salam Hangat, wk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun