Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Melihat Potret BIN di Negara yang Berubah

31 Januari 2022   08:35 Diperbarui: 31 Januari 2022   09:17 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badan Intelijen Negara (BIN) meluncurkan tiga akun resmi di media sosial.(ANTARA/HO-BIN via kompas.com)

Badan intelijen adalah cerminan dari masyarakat di mana mereka beroperasi. Selama Perang Dingin, ia dapat membedakan antara otoriter dan demokrasi: dalam sistem otoriter, satu badan intelijen meliputi operasi domestik dan asing; dalam demokrasi, mereka dibagi antara lembaga yang terpisah.

Negara seperti Inggris memiliki MI-5 untuk tugas internal dan MI-6 untuk tugas eksternal. Badan investigasi utama dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat atau FBI tetap berada di dalam, sementara CIA, salah satu badan intelijen pemerintah federal Amerika Serikat, melihat ke luar.

Rusia, menutupi segalanya --- secara internal dan eksternal --- Federal'naya Sluzhba Bezopasnosti Rossiyskoy Federatsi atau biasa disingkat FSB adalah badan keamanan utama Rusia dan badan penerus utama dari KGB di era Uni Soviet (Komite Keamanan Negara). Indonesia juga condong ke arah itu. 

Dikutip dari tulisan Pengamat Intelijen Prayitno Ramelan berjudul Pimpinan Intelijen di Indonesia Sebaiknya Non-partisan diungkapkan bahwa Presiden Biden menegaskan bahwa prioritas utama Burns adalah memastikan pengumpulan bahan keterangan dan analisis intelijen yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik setelah muncul kritikan keras Presiden Trump terhadap badan-badan intelijen AS. Presiden Biden menegaskan kepada Burns saat pemilihan itu, hari Senin (11/1/2021) dan menyatakan "Shares my profound belief that intelligence must be apolitical and that the dedicated intelligence professionals serving our nation deserve our gratitude and respect." Biden juga menegaskan hal serupa kepada penasihat keamanan nasional dan badan intelijen lainnya tentang posisi intelijen yang profesional menghindari kepentingan politik. Maksudnya agar informasi serta analisis intelijen lebih murni tidak bias karena conflict of interest.

Jika boleh merunut dari belakang, persepsi publik bahwa Presiden Joko Widodo cenderung mencadangkan pos-pos strategis di pemerintahannya untuk partai-partai politik yang mendukung pemilihannya tahun lalu sulit dibantah, meski siapa pun yang berkuasa kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama. Seorang presiden akan lebih memilih orang-orang yang dapat dipercaya dan bekerja dengannya untuk mengisi jabatan-jabatan agar dapat memerintah secara efektif.

Pemilihan Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), pensiunan jenderal Angkatan Darat dan mantan gubernur Jakarta, adalah ketua petahana Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia (PKPI), satu dari lima partai politik yang mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden 2014. Ia pernah menjabat sebagai Kasi Intel Satgas di Kopassus, Sutiyoso memilih nama Manix. Ia pernah menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya pada tahun 1996 ketika terjadi pertumpahan darah 27 Juli 1996 yang menandai pengambilalihan paksa kantor Partai Demokrasi Indonesia (sekarang PDI-P) di Jakarta Pusat. Anehnya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjadi presiden, mendukung terpilihnya kembali Sutiyoso sebagai gubernur Jakarta pada 2002.

Sejarah menunjukkan BIN yang dulu bernama Bakin selalu dipimpin oleh seorang jenderal Angkatan Darat sejak era Orde Baru, kecuali pada 2009 hingga 2011 saat mantan Kapolri Sutanto menjabat Kepala BIN, kemudian pada tanggal 2 September 2016, Presiden Jokowi menunjuk Budi Gunawan menjadi Kepala BIN menggantikan Sutiyoso. Ia pernah menjabat sebagai Wakapolri mendampingi Jenderal Polisi Badrodin Haiti sejak 22 April 2015 dan Jenderal Polisi Tito Karnavian sejak 13 Juli 2016. 

Oleh karena itu, gaya BIN yang militeristik tidak dapat dihindari, tetapi di era demokrasi ini setiap pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan operasi intelijen negara dengan dalih keamanan nasional tidak dapat diterima. Sebagai otoritas spionase, citra BIN sebagai musuh HAM tetap terjaga. Mungkin Sutiyoso  saat itu bisa membuat perbedaan.

Dewasa ini, globalisasi agak mengaburkan perbedaan. Banyak ancaman tidak menghormati batas-batas negara. Radikal agama, misalnya, mengobarkan pertempuran regional terlepas dari perbatasan. Akibatnya, FBI dan CIA sekarang duduk bersama. Kantor FBI di luar negeri juga telah menjamur. Namun, tetap satu kebenaran: korelasi terbalik antara kebebasan dan operasi intelijen. Semakin sedikit kebebasan pribadi yang diberikan kepada warga negara, semakin luas mandat untuk badan intelijennya. Sebaliknya, semakin besar kebebasan pribadi, semakin jelas batasan pada badan intelijen.

Insan intelijen senantiasa dibimbing idealisme marwah intelijen yang dijustifikasi oleh kepentingan dan keamanan nasional. Bila insan intelijen kehilangan idealismenya, maka ia akan menjadi pengabdi kepentingan pimpinan atau kelompok tertentu yang sangat jauh dari kepentingan nasional.

Beberapa waktu lalu, publik kembali dihebohkan dengan manuver Badan Intelijen Negara (BIN)  melalui penampilan pasukan Rajawali. Dari banyak komentar menanggapi acara tersebut, beberapa orang bertanya-tanya mengapa pasukan Rajawali tidak secara jelas ditentukan oleh profil, kualifikasi, dan penunjukan mereka. Masyarakat hanya tahu pasukan itu unjuk kebolehan saat acara pelantikan yang digelar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). 

Dari fakta-fakta tersebut, diperlukan pengamatan yang tajam untuk mengidentifikasi masalah di balik gelar pasukan. Pertama, apakah BIN berwenang membentuk pasukan atau satuan khusus yang memenuhi syarat sebagai kombatan? Kedua, apa yang membenarkan pembentukan pasukan? Akhirnya, solusi seperti apa yang tersedia?

Pasal 30 UU No.17/2011 tentang BIN menyebutkan, lembaga tersebut menjalankan serangkaian kewenangan, salah satunya kewenangan membentuk satuan tugas. Hal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Presiden Nomor 90/2012, Pasal 4 Huruf e yang menyebutkan bahwa BIN berwenang membentuk satgas. Kedua peraturan tersebut memberikan pemahaman bahwa satgas yang dibentuk memiliki kapasitas untuk menjalankan tugas BIN.

Setiap badan intelijen yang baik idealnya harus mematuhi prinsip-prinsip dan yang paling sakral ke dalam mottonya:  Velox et Exactus  (tepat waktu dan akurat). Prinsip ini harus menjadi landasan bagi badan intelijen mana pun dan pengguna akhir produk intelijen adalah kepala negara, dan ia hanya dilayani dengan baik jika mereka mendapatkan informasi yang tepat waktu dan akurat. 

Baca: 'Operasi Intelijen Hitam' dalam Muktamar ke-34 NU

Sementara tantangan Indonesia saat ini sedang meningkat menjelang tahun-tahun politik ke depan. Sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998, kegiatan kontra terorisme BIN pernah mencapai masa kejayaan pada era kepemimpinan AM Hendropriyono yang banyak bersandar kepada agen-agen planted yang sungguh berada digaris terdepan kontra terorisme Indonesia. Pada saat itu hanya BIN yang tahu persis gerak gerik kelompok teror baik JI maupun yang lainnya. BIN berulangkali menyampaikan keinginan untuk dapat menangkap pelaku teror karena polisi lambat bergerak dan dibatasi oleh hukum perlunya barang bukti dan informasi intelijen tidak cukup dibawa ke ranah penegakkan hukum. Saat itu, tidak ada sedikitpun rekayasa proyek terorisme radikalisme dalam BIN. Tradisi tersebut berlanjut dibawah kepemimpinan Syamsir Siregar, Sutanto, dan Marciano Norman, agak sedikit melemah dibawah Sutiyoso dan kemudian publik menilai dan memahami langsung bagaimana respon intelijen yang selalu tergagap-gagap dengan berbagai dinamika sosial politik yang sesungguhnya mudah saja diatasi bila BIN sungguh melaksanakan operasi yang profesional.

Belakangan ini, publik bisa menyaksikan kampanye politik di seluruh dunia memicu tribalisme sayap kanan. Sayangnya, Indonesia belum kebal terhadap kecenderungan ini. Selain itu, sebagai salah satu negara paling religius di dunia, tidak mengherankan jika agama menjadi isu kampanye utama --- digunakan oleh beberapa kelompok dan kandidat sebagai alat yang ampuh dalam konflik langsung dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang kita hargai.

Saat ini, bila kita ingin tahu tentang terorisme, maka bertanyalah kepada BNPT serta Densus 88  dan apakah karena BIN tidak tahu apa-apa? Silahkan dibuktikan sendiri. Bukti nyata terakhir adalah klaim BIN Menyusup ke Taliban yang disampaikan secara gamblang oleh Deputi VII BIN yang kemudian diralat bahwa BIN berkomunikasi dengan Taliban. Jadi apakah menyusup yang diartikan berkomunikasi ataukah memang salah bicara? 

Apakah Pimpinan BIN tahu bahwa ada beberapa anggota BIN yang memiliki akses di Afghanistan? Dimanakah mereka semua? Mengapa pernyataan Pejabat Utama BIN kepada publik sama sekali tidak mencerminkan fakta kehebatan operasi intelijen BIN di Afghanistan? 

Hubungan baik yang dibangun agen BIN dengan Pemerintah Afghanistan dan Taliban tersebut tidak terjadi dalam waktu semalam, tetapi bertahun-tahun. Hal inilah yang menjadi dasar dari langkah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu untuk mengambil inisiatif menggagas perdamaian di Afghanistan dengan dialog serta mengajak sejumlah elemen Taliban faksi politik untuk melihat bagaimana Islam di Indonesia. Seluruh kegiatan tersebut berlangsung senyap dan bahkan pimpinan BIN saat inipun sampai lupa.

Kemudian terkait dengan kisah sukses pemulangan WNI dari Afghanistan paska penguasaan Ibukota Kabul oleh Taliban. Dalam seluruh berita media massa, peranan BIN juga tidak tampak. Mereka yang tampil dalam media massa dan mendapatkan pujian adalah Kementerian Luar Negeri dan TNI serta bahkan secara resmi tampak dalam Konferensi Pers Menlu Retno Marsudi dalam bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu 21 Agustus 2021. Bagaimana agen BIN berupaya mengamankan jalur evakuasi menuju bandara yang kacau balau tersebut tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia. Siapa yang dapat membantu evakuasi dalam situasi genting saat itu?

Kemudian soal isu Papua,  baku tembak antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua di Distrik Gome, Kabupaten Puncak kembali menimbulkan korban jiwa. Total, sebanyak tiga personel TNI tewas dalam kontak senjata itu hingga Kamis 27 Januari 2022. Peristiwa yang melibatkan KKB Papua dengan aparat TNI atau Polri tak kunjung reda--termasuk yang menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Papua, Brigjen Gusti Putu Danny, kemudian pemerintah mengumumkan kelompok pemberontak bersenjata di wilayah itu sebuah organisasi teroris.

Dampaknya akan menyeluruh khususnya pada masyarakat setempat, tetapi keputusan itu tidak mungkin membawa perdamaian kembali ke wilayah paling timur dalam waktu dekat seperti yang kita semua inginkan. 

Baca: Wanita Papua Sejati, Yohana Yembise di "Provinsi Matahari Terbit"

Penegakan hukum di Papua, salah satu dari sedikit daerah di mana Muslim adalah penduduk minoritas, dapat membantu pemerintah membuktikan bahwa perang melawan terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu.

Namun dengan stigmatisasi terhadap orang asli Papua yang menyuarakan haknya yang masih merajalela, label baru teroris hanya akan menambah hinaan yang melukai dan membangkitkan sumber kebencian baru terhadap orang Papua.

Tidak mengherankan jika diskriminasi rasial terhadap orang Papua memburuk. Selama bertahun-tahun pemerintah belum mempertimbangkan dialog sebagai alternatif pendekatan keamanan untuk menyelesaikan keluhan Papua tanpa keraguan.

Presiden datang dan pergi, tetapi Papua tetap terkenal karena tingkat kemiskinannya yang tinggi. Bulan Maret 2021, tingkat kemiskinan di Papua masih jadi yang tertinggi di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di provinsi paling timur tersebut mencapai 26,86% atau 920 ribu jiwa dari total penduduk.  Provinsi Papua Barat memiliki tingkat kemiskinan terbesar kedua, yakni 21,84%. Dengan demikian, satu dari lima penduduk di Papua Barat masuk kategori miskin. 

Padahal kekayaan sumber daya alam dan dana otonomi khusus yang besar dan kuat disuntikkan ke Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir.

Dialog akan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi pemerintah untuk mengidentifikasi akar masalah yang dihadapi Papua dan mencari solusinya. Pendekatan keamanan, termasuk melabeli Papua sebagai sarang terorisme, tidak akan dilakukan.

Selanjutnya, munculnya media sosial telah merevolusi cara informasi yang disebarluaskan dan diserap. Ini memiliki kemampuan yang tidak menguntungkan untuk memperkuat prasangka dan membuat pinggiran menjadi arus utama. Ini juga membuka perdebatan domestik terhadap campur tangan asing. 

Tuntutan pengembalian marwah intelijen BIN adalah hal yang sangat serius. Indonesia ke depan membutuhkan badan intelijen dengan mandat hukum untuk mengadopsi strategi antisipatif dan preemptive untuk memastikan stabilitas nasional. Kita sudah bisa melihat awan badai menjulang,  tidak ada gunanya membiarkan dan mengumpulkan angin tanpa tanggapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun