Dampaknya akan menyeluruh khususnya pada masyarakat setempat, tetapi keputusan itu tidak mungkin membawa perdamaian kembali ke wilayah paling timur dalam waktu dekat seperti yang kita semua inginkan.Â
Baca: Wanita Papua Sejati, Yohana Yembise di "Provinsi Matahari Terbit"
Penegakan hukum di Papua, salah satu dari sedikit daerah di mana Muslim adalah penduduk minoritas, dapat membantu pemerintah membuktikan bahwa perang melawan terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu.
Namun dengan stigmatisasi terhadap orang asli Papua yang menyuarakan haknya yang masih merajalela, label baru teroris hanya akan menambah hinaan yang melukai dan membangkitkan sumber kebencian baru terhadap orang Papua.
Tidak mengherankan jika diskriminasi rasial terhadap orang Papua memburuk. Selama bertahun-tahun pemerintah belum mempertimbangkan dialog sebagai alternatif pendekatan keamanan untuk menyelesaikan keluhan Papua tanpa keraguan.
Presiden datang dan pergi, tetapi Papua tetap terkenal karena tingkat kemiskinannya yang tinggi. Bulan Maret 2021, tingkat kemiskinan di Papua masih jadi yang tertinggi di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di provinsi paling timur tersebut mencapai 26,86% atau 920 ribu jiwa dari total penduduk. Â Provinsi Papua Barat memiliki tingkat kemiskinan terbesar kedua, yakni 21,84%. Dengan demikian, satu dari lima penduduk di Papua Barat masuk kategori miskin.Â
Padahal kekayaan sumber daya alam dan dana otonomi khusus yang besar dan kuat disuntikkan ke Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir.
Dialog akan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi pemerintah untuk mengidentifikasi akar masalah yang dihadapi Papua dan mencari solusinya. Pendekatan keamanan, termasuk melabeli Papua sebagai sarang terorisme, tidak akan dilakukan.
Selanjutnya, munculnya media sosial telah merevolusi cara informasi yang disebarluaskan dan diserap. Ini memiliki kemampuan yang tidak menguntungkan untuk memperkuat prasangka dan membuat pinggiran menjadi arus utama. Ini juga membuka perdebatan domestik terhadap campur tangan asing.Â
Tuntutan pengembalian marwah intelijen BIN adalah hal yang sangat serius. Indonesia ke depan membutuhkan badan intelijen dengan mandat hukum untuk mengadopsi strategi antisipatif dan preemptive untuk memastikan stabilitas nasional. Kita sudah bisa melihat awan badai menjulang, Â tidak ada gunanya membiarkan dan mengumpulkan angin tanpa tanggapan.