Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kapan Kekerasan terhadap Perempuan akan Berakhir?

28 Januari 2022   09:53 Diperbarui: 30 Januari 2022   17:33 1873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IS (22), warga Tigaraksa dan GG (24), warga Cikupa, Kabupaten Tangerang di Banten. Sopir dan kernet angkot trayek Balaraja-Serang itu menganiaya, mencuri, memperkosa, dan hendak membunuh karyawati berinisial SP (24) pada Kamis (20/1/2022) dini hari. 

Korban mengalami luka-luka di kepala, memar di badan, paha, dan kaki, serta trauma pasca peristiwa nahas tersebut. 

Satreskrim Polresta Tangerang menciduk IS dan GG secara terpisah di pada Sabtu (22/1/2022) dan Minggu (23/1/2022) di Tigaraksa dan Balaraja. Bahkan, GG dihadiahi timah panas dikedua kaki karena hendak melarikan diri.

Kapolresta Tangerang Kabupaten Komisaris Besar Zain Dwi Nugroho mengatakan, IS alias U merupakan otak kejahatan. Ia memperkosa, mencekik, dan memukul korban dengan kursi kernet. Sementara GG alias A bertindak dengan memukul, mencekik, menginjak, dan menghantam korban dengan ban serep.

Dwi menuturkan, tersangka mengaku kalau ingin menguasai harta benda korban. Setelah memperkosa, mereka berupaya hilangkan jejal dengan membunuh korban dan membuangnya ke sungai.

"Perbuatan yang sadis dan keji. Korbannya trauma berat," tuturnya.

Atas beragam kejahatan itu, kedua tersangka dikenai pasal tentang pencurian, kekerasan, pemerkosaan dan percobaan pembunuhan yang direncanakan dan tidak direncanakan dengan ancaman hukuman mati.

Namun, tanpa undang-undang yang ditegakkan secara sistematis dan komprehensif, para penyintas seringkali mengalami kesulitan untuk melaporkan insiden semacam itu dan mengakses keadilan. Akibatnya, impunitas untuk tindakan kekerasan berbasis gender meningkat dan semakin sulit untuk menghilangkan momok ini.

Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.

Baca: 

Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM, Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendiri

Darurat Kekerasan Seksual di Kampus, di Mana Anda Tanya Korban

Kawal Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Anak di Manado, Korban Meninggal karena Kanker Darah

Fakta Baru Kasus Novia Widyasari Rahayu, Apa Kabar Randy Bagus?

Elegi Penegakan Hukum, Harnovia Fitriani Menuntut Keadilan

Pada masa-masa "normal", perempuan di Indonesia sudah mengalami tingkat kekerasan yang tinggi. Pandemi covid-19 semakin memperburuk keadaan. Rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman bagi wanita, dan yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). 

Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. 

Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

 Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%). 

Di tengah krisis pandemi, kekerasan dalam rumah tangga memang meningkat di seluruh dunia di bawah kondisi kehidupan karantina dan penguncian yang sempit dan terbatas, karena situasi yang sudah lemah semakin intensif, diperparah oleh ketegangan dan ketegangan yang berasal dari keamanan, kesehatan , dan masalah keuangan.

Situasi pandemi juga mempersulit pelaporan karena keterbatasan pergerakan dan ketersediaan layanan. 

Oleh karena itu, penting untuk ditegaskan kembali bahwa pada kenyataannya dari sisi jumlah mungkin lebih tinggi karena banyak kasus tidak dilaporkan karena hambatan akses, kurangnya informasi mengenai mekanisme pelaporan, norma sosial budaya yang menormalkan kekerasan, dan stigma yang menghalangi penyintas untuk melapor.

Kekerasan berbasis gender adalah krisis kesehatan yang nyata. Ini berdampak negatif pada kesehatan fisik wanita, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, serta kesehatan mental atau psikologis - dengan konsekuensi yang mencakup gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan depresi.

Pada bulan Juli 2020, ibu muda berusia 21 tahun warga Desa Bandang Laok, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Madura ditemukan tewas di dapur rumahnya pada Rabu malam, 1 Juli 2020. Ia tewas bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih lantai karena malu telah diperkosa tujuh pemuda beberapa hari yang lalu.

Korban adalah ibu tunggal dengan satu anak berusia enam tahun. Pemerkosaan terjadi pada Kamis dini hari 26 Juni 6 2020 di sebuah hutan di Desa Bungkek, Kecamatan Tanjung Bumi yang berjarak 600 meter dari rumahnya.

Kombinasi kekerasan seksual, verbal dan psikologis mendorongnya untuk bunuh diri. Dalam kasus kekerasan berbasis gender, perempuan seringkali menderita luka fisik yang parah, atau bahkan dibunuh. Mereka juga menghadapi risiko lain seperti kehamilan yang tidak diinginkan, komplikasi kehamilan dan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV.

Ketika seorang perempuan mengalami kekerasan, ia menderita berbagai lapisan ketidakadilan, yang meliputi pembatasan mobilitas, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berdampak negatif bagi perempuan tetapi juga bagi keluarganya, masyarakat, dan bangsa secara luas.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 37 tahun yang lalu. 

Sebagai bagian dari kewajiban internasionalnya, pemerintah Indonesia telah mempresentasikan tinjauan berkala kedelapan kepada Komite CEDAW di Jenewa pada Februari 2021, yang menyoroti kemajuan sekaligus tantangan. 

Selama bertahun-tahun, pemerintah telah melakukan upaya berkelanjutan untuk memajukan hak-hak perempuan termasuk antara lain, memberlakukan Undang-Undang tentang KDRT pada tahun 2004 dan merevisi Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019 untuk menaikkan usia legal minimum bagi anak perempuan untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. sama dengan usia minimum untuk anak laki-laki.

Ini adalah pencapaian yang patut dipuji oleh pemerintah, didukung oleh advokasi yang tak kenal lelah dari masyarakat sipil, anggota parlemen dan pemangku kepentingan nasional lainnya, sesuai dengan komitmen internasional dan nasional Indonesia. 

Namun, masih banyak lagi yang harus dilakukan. Tanggapan yang benar-benar komprehensif diperlukan untuk melindungi semua perempuan dan memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal, selama masa-masa yang penuh tantangan ini dan seterusnya.

Pertama, kita perlu menjaga agar layanan esensial dan terpadu bagi para penyintas kekerasan tetap berjalan dan tersedia di tengah pandemi yang sedang berlangsung. Ini termasuk rangkaian layanan kesehatan, polisi, tempat penampungan, saluran bantuan, psikologis, sosial, dan peradilan. 

Memastikan bahwa staf, dana, dan sumber daya lainnya tetap memadai untuk mendukung penyintas kekerasan berbasis gender, bahkan ketika protokol diperkuat untuk mencegah penyebaran virus harus menjadi prioritas tertinggi saat ini. 

Kedua, kita harus menyediakan kerangka hukum yang lebih komprehensif untuk memastikan penyintas kekerasan dapat mencari keadilan, seperti RUU anti kekerasan seksual yang diusulkan. 

RUU tersebut secara garis besar mengatur tindak kekerasan seksual dan mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang tidak diatur dalam UU KDRT dan KUHP. 

Hal ini memungkinkan berbagai jenis kasus kekerasan, seperti kekerasan berbasis gender di dunia maya dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, untuk dituntut. 

RUU tersebut juga menekankan pentingnya pencegahan, perlindungan dan pemulihan, yang merupakan aspek penting dari pendekatan berbasis hak untuk menangani kekerasan berbasis gender.

Terakhir, kita harus memprioritaskan penyintas kekerasan sebagai bagian mendasar dari rencana perlindungan sosial dan investasi untuk pemulihan jangka menengah dan panjang dari krisis pandemi covid-19. 

Ini adalah waktu yang kritis bagi perempuan dan anak perempuan, dan tindakan mendesak diperlukan karena kita dengan cepat mendekati tanggal kedaluwarsa untuk mencapai kesetaraan gender pada tahun 2030 sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. 

Untuk mengubah retorika menjadi kenyataan, untuk benar-benar mengubah kehidupan perempuan dan anak perempuan, untuk mengakhiri GBV dan KTP untuk selamanya.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri apa yang dapat kita lakukan sebagai manusia untuk berbicara dan mengambil langkah untuk membendung krisis ini, sebagai serta memetakan visi kolektif seperti apa Indonesia---dan dunia---yang kita inginkan.

Selama beberapa dekade perempuan Indonesia, seperti kebanyakan perempuan di seluruh dunia, telah memperjuangkan hak-hak mereka atas keadilan sosial, kesetaraan gender, dan perlindungan dari kekerasan. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun