Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005, yang menjamin hak rakyat "untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas".
Salah satu pasal UU baru yang paling banyak dikritik adalah Pasal 1, yang kini mewajibkan seluruh pegawai KPK menjadi pegawai negeri sipil, yang sebelumnya adalah pekerja independen. Para ahli dan aktivis memperingatkan  bahwa persyaratan seperti itu berpotensi mengganggu independensi KPK, sehingga kurang efektif dalam menyelidiki pejabat pemerintah dan politisi lainnya. Namun, hanya sedikit yang dapat memperkirakan bagaimana artikel tersebut telah mengakibatkan pelemahan serius terhadap perjuangan melawan korupsi.
Pada Maret 2021 , Pasal 1 dijadikan dasar untuk mengamanatkan agar pegawai KPK mengikuti tes "kewarganegaraan" sebagai bagian dari perubahan status menjadi pegawai negeri. Namun, tes tersebut ternyata tidak ada hubungannya dengan kewarganegaraan, apalagi dengan kompetensi pegawai sebagai pejabat antikorupsi. Beberapa karyawan mengatakan bahwa ujian tertulis dan wawancara lisan yang merupakan bagian dari proses pengujian mencakup pertanyaan tentang pribadi, Â politik ("Haruskah demokrasi dan agama dipisahkan?") dan keyakinan agama ("Apakah Anda bersedia melepas jilbab Anda?" ?"), serta pilihan gaya hidup mereka ("Apa yang kamu lakukan saat berkencan dengan pacarmu?").
Pada 25 Mei 2021, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengumumkan bahwa 24 dari 75 pegawai yang tidak lulus tes kewarganegaraan akan diberikan pelatihan lebih lanjut sebelum diangkat sebagai pegawai negeri. 51 sisanya akan dipecat, dengan Alexander mengklaim bahwa mereka telah melakukan tes dengan sangat buruk sehingga mereka tidak dapat dilatih kembali.
Pegawai-pegawai yang dianggap tidak bermoral ini termasuk beberapa personel KPK yang paling terkenal dan terhormat. Karyawan yang diberhentikan sejak itu melaporkan proses pengujian dan pemecatan yang dihasilkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dengan alasan proses tersebut melanggar hak mereka atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama di bawah hukum Indonesia serta standar hak asasi manusia internasional.
Di luar dampak terhadap orang-orang ini -- yang mungkin mendapat stigma karena dipecat -- konsekuensi yang lebih luas dari pelemahan KPK akan dirasakan oleh 270 juta orang Indonesia yang hidup di bawah sistem yang terperosok dalam korupsi.
Skandal korupsi e-KTP yang terkenal , misalnya, menunjukkan betapa beraninya para legislator top negara itu menggelapkan dana dari sebuah program yang implementasinya ceroboh mengakibatkan penantian berbulan-bulan bagi banyak pemohon e-KTP -- yang jauh dari ketidaknyamanan, menghalangi akses ke pelayanan publik yang esensial untuk memperoleh jaminan sosial dan perawatan kesehatan publik, serta hak-hak sipil lainnya termasuk partisipasi dalam pemilihan umum .
Klaim korupsi bantuan Covid-19, yang mengakibatkan penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara pada bulan Desember, memberikan contoh bagaimana dugaan korupsi di Indonesia dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial, dan peran penting KPK berperan dalam menyikapi kekhawatiran tersebut. Juliari diduga menerima suap hingga Rp 32 miliar (A$3 juta) dari sejumlah perusahaan pemasok komponen paket bantuan sosial -- yang meliputi makanan, sabun, dan kebutuhan pokok rumah tangga lainnya -- yang disalurkan pada tahun 2020 selama gelombang pertama pandemi.
Menurut lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 56,7 triliun pada tahun 2020, empat kali lipat dari jumlah kerugian negara pada tahun 2019. Itu lebih banyak dari anggaran masing-masing untuk program jaminan kesehatan negara (Rp 48,8). triliun), cek stimulus Covid-19 bulanan untuk pekerja berpenghasilan rendah (Rp 37,9 triliun), dan bantuan pangan pemerintah (Rp 47,2 triliun).
Tak kalah pentingnya, pengelolaan dana desa rawan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Sejak 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 14 potensi persoalan dalam pengelolaan dana desa. Meliputi empat aspek, yaitu regulasi dan kelembagaan, tatalaksana, pengawasan, dan sumber daya manusia.Â
Aspek regulasi dan kelembagaan, KPK mempersoalkan belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa. Kerap terjadi potensi tumpang-tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).