Di tengah krisis pandemi saat ini, tindakan pencegahan sangat penting untuk mengurangi penyebaran covid-19 dan variannya. Sejumlah ilmuwan, profesional kesehatan, pejabat, guru, dan orang tua tanpa lelah mengingatkan masyarakat tentang pentingnya tindakan pencegahan seperti cuci tangan 20 detik dengan sabun dan air bersih yang mengalir serta tetap di rumah atau physical distancing. Mereka juga terus mendorong orang untuk lebih konsisten melakukan kegiatan pencegahan penting ini untuk melindungi diri mereka dari virus corona varian baru.
Namun, kemampuan orang untuk menerapkan tindakan perlindungan ini bervariasi berdasarkan keadaan sosial ekonomi mereka. Memang, ketidaksetaraan harus diperhitungkan secara serius karena sering menghambat kemampuan orang untuk menerapkan tindakan pencegahan.
Saat ini, tingkat ketimpangan yang tinggi diukur oleh Gini Ratio 0,38 di Indonesia, mengingatkan kita pada salah satu masalah sosial ekonomi yang berat sebelah. Ketimpangan di seluruh nusantara secara langsung atau tidak langsung membentuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terutama di masa krisis pandemi karena mempengaruhi kemampuan mereka untuk mematuhi tindakan pencegahan setiap hari.
Kita bisa mulai dengan melihat akses air bersih dan konsekuensinya untuk menjaga kesehatan. Mencuci tangan masih dianggap sebagai cara terbaik melawan jenis virus corona varian baru dan dapat mengurangi 40 persen risiko berbagai penyakit menular. Sayangnya, jutaan warga Indonesia menghadapi hambatan yang signifikan untuk mematuhi kegiatan pencegahan yang sederhana namun penting ini.
Faktanya, temuan riset Indonesia Water Institute (IWI) periode 15 Oktober-20 November 2020. Contoh perilaku yang berubah dan berkaitan dengan kebutuhan air bersih dalam riset tersebut, adalah mencuci tangan. Tercatat jumlah responden yang mencuci tangan lebih dari sepuluh kali sehari meningkat saat pandemi covid-19. Angkanya mencapai 82% dari yang sebelum pandemi hanya 18%.
Jumlah responden yang mengaku mandi lebih dari tiga kali sehari juga meningkat dari 27% menjadi 72%. Peningkatan kedua aktivitas tersebut dapat dipahami berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan dan pemahaman bahwa cara menangkal penularan Covid-19 adalah dengan menerapkan hidup bersih. Alhasil, seperti dalam temuan riset tersebut, volume air untuk mencuci tangan meningkat menjadi 20-25 liter per orang per hari. Volume tersebut lima kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi. Sementara volume air untuk mandi meningkat menjadi 150-210 liter per orang per hari. Padahal, sebelum pandemi hanya 50-70 liter per orang per hari.
Akan tetapi, kebutuhan yang meningkat selama pandemi belum beriringan dengan pemerataan akses air bersih. Misalnya untuk sumber air minum layak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 9,79% rumah tangga Indonesia yang belum memiliki akses ke sumber air minum layak pada 2020. Secara wilayah, rumah tangga di perdesaan lebih banyak yang belum mendapatkan akses air minum layak. Jumlahnya mencapai 17,26% dibandingkan di perkotaan yang 3,92%.
Sumber air minum layak, menurut BPS, adalah air minum yang terlindung. Ini meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran dan penampungan limbah. Kapasitas sistem penyediaan air minum (SPAM) di Indonesia baru sebesar 188.096 liter per detik atau dengan cakupan air perpipaan nasional baru sebesar 21,08% dari total penduduk negeri ini, berdasarkan data IWI.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, sebanyak 1 dari 4 orang masyarakat Indonesia tidak memiliki fasilitas cuci tangan di rumahnya. Jumlah ini merupakan 25% dari populasi atau 64 juta orang Indonesia tidak memiliki akses cuci tangan.
Realitas suram terkait minimnya akses air bersih ditemukan baik di perdesaan maupun perkotaan, di episentrum pandemi nasional yaitu ibu kota, dan ibu kota provinsi padat penduduk lainnya setelah Jakarta dalam jumlah terkonfirmasi yang tinggi. kasus covid-19 seperti Bandung di Jawa Barat, Surabaya di Jawa Timur dan Semarang di Jawa Tengah; serta Medan di Sumatera Utara dan Makassar di Sulawesi Selatan, dua kota besar di luar Jawa.
Keluarga berpenghasilan rendah di metropolitan di atas menghadapi tantangan sehari-hari dalam menjaga kebersihan karena mereka hampir tidak mampu untuk sering mencuci tangan, apalagi mendapatkan dan mengamankan akses ke air minum. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap infeksi virus corona baru atau infeksi kuman lainnya.
Dimensi lain dari ketidaksetaraan yang menghambat langkah-langkah pencegahan utama --- jarak fisik dan sosial --- adalah ekonomi informal dominan yang menyumbang sekitar 57 persen dari angkatan kerja. Ciri-ciri umum adalah kurangnya perlindungan atas tidak dibayarnya upah, pemutusan hubungan kerja tanpa pemberitahuan atau kompensasi, kondisi kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak memuaskan dan tidak adanya tunjangan sosial seperti pensiun, pembayaran sakit dan asuransi kesehatan.
Migran, perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tersisih dari kesempatan kerja layak lainnya memiliki sedikit alternatif selain mengambil pekerjaan informal berkualitas rendah yang tersedia di daerah pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Selain itu, banyak orang yang terlalu miskin untuk menganggur tidak punya pilihan selain bekerja dalam keadaan berbahaya di perekonomian informal.
Sifat pekerjaan mereka biasanya membutuhkan interaksi fisik yang dekat dan mereka tidak mampu untuk tinggal di rumah karena tabungan yang terbatas. Jika ada, banyak dari pekerja informal di kota-kota seperti Jakarta telah kembali ke desa karena perlambatan ekonomi. Kembali ke desa adalah semacam strategi yang mereka lakukan secara teratur pada saat kesulitan ekonomi --- meskipun biaya transportasi yang cukup besar terlibat. Keadaan seperti itu akan meningkatkan risiko covid-19 di pelosok daerah.
Oleh karena itu urgensi jaring pengaman untuk makanan, sewa dan akses ke air bersih, antara lain, untuk menjangkau pekerja informal tersebut untuk memungkinkan jarak sosial atau fisik dan untuk mencuci tangan secara memadai. Pemerintah baru-baru ini mengumumkan program jaring pengaman sosial untuk mendukung orang-orang yang bekerja di sektor informal sebagai bagian dari kebijakan "pembatasan sosial berskala besar" dan darurat kesehatan masyarakat.
Meskipun keputusan ini menandai kemajuan penting dalam perang melawan covid-19, pemerintah harus memperhatikan detail seperti mengamankan data yang andal dan mekanisme yang memungkinkan mereka untuk memberikan bantuan secepat mungkin kepada orang yang membutuhkan.
Pandemi telah memberikan pelajaran serius bagi kita tentang pentingnya kebijakan untuk mengurangi ketimpangan di Indonesia. Investasi dalam meningkatkan kebutuhan dasar seperti akses ke air bersih serta pekerjaan yang layak dan aman akan memungkinkan kita untuk mengurangi masalah kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H