Ketika Indonesia berhasil mengkampanyekan kursi di Dewan Keamanan PBB 2019-2020 tahun lalu, Indonesia memasarkan dirinya sebagai "mitra sejati untuk perdamaian dunia" dan "pembangun jembatan". Bahkan, kata "damai" muncul 13 kali dalam brosur kampanyenya.
Namun, setelah satu bulan, Indonesia belum memimpin dalam membangun jembatan yang paling sulit, dan karena itu paling penting, dari semuanya: hubungan Yahudi-Muslim.
Misalnya, mengapa negara mayoritas Muslim terbesar di dunia itu belum secara resmi mengakui agama Ibrahim tertua dan terbesar kelima di dunia, Yudaisme? Jakarta sering memuji konstitusinya sebagai pelindung kebebasan beragama bagi semua, tapi sayangnya, Yudaisme belum diakui secara resmi.
Baca: Normalisasi Hubungan Indonesia-Israel, Mungkinkah Upaya Prabowo Subianto Berhasil?
Sedikit jika saya boleh menceritakan nostalgia saat kesan pertemuan pertama atas niat baik salah seorang pejabat di Kedutaan Amerika Serikat, dan sekarang sudah pensiun. Saya bertemu dengan seorang pengacara yang tak pernah bimbang menyebut dirinya sebagai keturunan Yahudi.
Mengaku diri sebagai Yahudi tentu perkara sensitif di Indonesia, di negara berpenduduk mayoritas muslim, lantaran kekerasan negara masih sering berkecamuk di Jalur Gaza dan Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Namanya, David Abraham. Ia fasih bahasa Jawa, dalam darahnya mengalir kakek dan nenek, dua-duanya-dari ayah dan ibu- berasal dari Baghdad, Irak. Dan, itu tampak dari wajah dan hidungnya mancung terkesan keturunan Arab.
Nenek moyangnya hijrah ke Indonesia sekisar tahun 1900-an. Ayah David lahir di Surabaya dan ibunya lahir di Singapura. Keduanya bertemu di Surabaya tahun 1954. Ia sendiri merasa tetap sebagai orang Indonesia. Mutlak, tidak bisa ditawar., kata pria kelahiran Surabaya tahun 1955.
Sebuah kesempatan paling berharga, saat saya makan bersama dengan keluarga besarnya di Jakarta. Kami berdiskusi seputar kebebasan beragama hingga kemungkinan adanya hubungan diplomatik Israel-Indonesia. David selalu mengatakan dirinya tidak pernah ada persoalan terhadap kebebasan beragama.
Ia tak pernah segan jika punya teman dengan pengacara-pengacara yang beragama Islam, bahkan dengan banyak orang dari pelbagai latar belakang, ras dan budaya. Ia selalu berharap agama Yahudi diakui di Indonesia. Untuk melakukan hal itu membutuhkan tenaga. Menurutnya, Islam dan Yahudi itu cukup dekat.
Soal hubungan diplomatik Israel-Indonesia, kata David, tak bisa dilepaskan dari Yahudi. Israel dibentuk oleh kalangan Yahudi. Ia mengungkapkan bahwa konflik Israel-Palestina adalah murni konflik wilayah antara orang Yahudi dan Arab Palestina. Bukan konflik agama. Ia selaku pengacara merujuk ke pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara. Indonesia anti segala bentuk penjajahan.
Selama masih ada penjajahan, Indonesia tidak boleh membuka hubungan diplomatik. Di sisi lain, ia mengakui bahwa tanah Kana'an diberikan untuk umat Yahudi berdasarkan kitab Taurat. Sebaliknya, jaman sudah modern, kita tidak bisa hanya membawa Taurat untuk dijadikan dasar hukum. Fakta di situ ada warga Palestina dan Israel.
Toleransi di Indonesia itu paling terbaik di dunia, kata David, yang menikahi perempuan muslimah asal Jawa. Kami pun sampai hari ini masih guyub rukun.
Secara internasional, orang Yahudi adalah kelompok etnoreligius yang telah memperkaya peradaban manusia selama ribuan tahun, mulai dari pertanian hingga psikiatri, kewirausahaan teknologi, hingga seni rupa.
Orang Yahudi telah tinggal di Indonesia sejak zaman penjajahan Hindia Belanda. Saat ini, diperkirakan 200 orang Yahudi, sebagian besar keturunan Yahudi Timur Tengah dan Belanda, aktif mengamalkan Yudaisme di Indonesia saat ini.
Kelemahan diplomatik utama Jakarta adalah bahwa ia terus-menerus menawarkan dua aspirasi yang saling bertentangan kepada dunia: yang pertama adalah aspirasi untuk kepemimpinan global menuju pembangunan jembatan damai dan solusi dua negara. Yang kedua adalah penolakan untuk secara resmi mengakui orang Israel dan Yahudi Indonesia, yang tidak mendekati penyelesaian kedua masalah tersebut.
Namun, di panggung global, apalagi di dalam Dewan Keamanan PBB, dua aspirasi yang saling bertentangan ini terlihat konyol. Solusi dua negara tidak dapat dinegosiasikan hanya dengan salah satu pihak, karena demarkasi batas yang diperlukan, pertukaran lahan, dan evaluasi kepatuhan terhadap perjanjian harus didiskusikan.
Kedua, sebagian besar orang Israel dan semua orang Yahudi Indonesia tidak bertanggung jawab atas nasib orang Palestina. Lebih jauh lagi, Israel bukanlah sebuah monolit: Adalah keliru bagi sebagian orang Indonesia untuk percaya bahwa orang yang serupa secara politis atau ideologis sama, hanya karena mereka berbagi satu properti (seperti budaya atau agama).
Keyakinan seperti itu juga sangat anti-Semit. Sebaliknya, kunci pembangunan jembatan yang efektif adalah agar orang Indonesia memandang baik Palestina maupun Israel sebagai "saudara" mereka, dan kemudian dengan tulus bercita-cita untuk melihat kedua belah pihak berhasil.
Jakarta harus memimpin dalam hubungan Yahudi-Muslim dalam beberapa cara yang berani dan positif. Pertama, di tingkat domestik, Indonesia harus memberi contoh dengan terlebih dahulu mengakui Yudaisme dan semua agama sebagai agama resmi, dan tidak lagi mewajibkan agama apa pun untuk dicantumkan di KTP.
Hari Raya Suci Yahudi, khususnya Rosh Hashanah dan Yom Kippur, Seorang presiden Indonesia berikutnya harus menyampaikan keinginan baik kepada semua orang Yahudi, dan mengumpulkan para pemimpin Muslim dan Yahudi di sekitar area yang menjadi perhatian bersama. Seperti Uni Emirat Arab, Indonesia juga harus mengangkat menteri toleransi, meningkatkan literasi agama siswa melalui pendidikan lintas agama, dan secara resmi mengakui semua agama minoritas, termasuk Yahudi. Ini akan menjadi pembangunan jembatan dan kepemimpinan sejati.
Sebuah resolusi yang mengutuk kebangkitan global anti-Semitisme dan Islamofobia. Indonesia juga harus secara resmi mengakui Israel dan Palestina, membuka hubungan diplomatik dengan keduanya, dan terlibat dalam negosiasi perdamaian multipihak untuk solusi dua negara. Rekomendasi-rekomendasi ini tidak terlalu berkaitan dengan "orang-orang Yahudi", dan lebih berkaitan dengan reputasi jangka panjang Indonesia: untuk melindungi kredibilitas Indonesia sebagai "pembangun jembatan" global.
Bukti kekuasaan tidak terletak pada sumber daya, tetapi pada kemampuan untuk mengubah perilaku negara. Sayangnya, kebijakan luar negeri terhadap Timur Tengah saat ini tidak efektif, dan benar-benar melemahkan kekuatan pertemuannya. Memang, kepemimpinan global Indonesia hanya akan berhasil jika sebagian besar dunia dengan tulus percaya bahwa Jakarta serius dalam mengakui dan mempertemukan Israel dan Palestina.
Namun demikian, Indonesia masih memiliki peluang yang kaya untuk memimpin dalam memajukan hubungan Yahudi-Muslim --- membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekuatan untuk membangun jembatan yang agak sensitif tetapi penting antara Israel dan Palestina, alih-alih secara pasif menunggu negara lain untuk memimpin dua negara. solusi negara.
Misalnya, alih-alih larangan tanpa tujuan terhadap semua orang Israel, Indonesia dapat menetapkan serangkaian kondisi yang dipertimbangkan dengan hati-hati dan bernuansa untuk memasukkan kedua belah pihak dalam uji coba perdamaian yang mencakup para pemimpin pemerintah dan non-pemerintah.
Memimpin dalam hubungan Yahudi-Muslim baik di dalam maupun di luar negeri akan menunjukkan kedewasaan dan kemajuan yang telah dibuat Indonesia, yang merupakan satu-satunya cara yang kredibel untuk mengamankan masa depan Indonesia sebagai pembangun jembatan internasional dan pembawa perdamaian.
Harapan saya adalah bahwa tindakan-tindakan ini akan membantu Indonesia lebih sepenuhnya memenuhi cita-cita perdamaian yang dideklarasikannya sendiri di panggung global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H